Selasa, 05 Juli 2011

Pentingnya KKR di Aceh

NASIB Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh belum jelas juntrungnya. Hal itu dikarenakan pembatalan UU No. 27 tahun 2004 Tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan dengan Nomor Perkara 006/PUU IV/2006 dan 020/PUU IV/2006 yang menyatakan UU KKR bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945 dan UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Pembatalan tersebut berdampak terhadap kehadiran KKR Aceh. Sebab, KKR Aceh yang disebut dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UU PA) pasal 229 ayat 2 dan ayat 3, bahwasanya KKR Aceh merupakan bagian dari KKR (nasional) dan diatur dengan perundang-undangan.

Hal tersebut dijadikan dasar pijakan pemangku kebijakan di Aceh (eksekutif dan legislatif), untuk tidak segera merealisasikan KKR di Aceh. Tidak adanya lagi landasan KKR secara nasional menjadikan landasan pembentukan KKR Aceh tidak lagi memiliki legitimasi. Hal inilah yang laten dijadikan pegangan, sehingga kebutuhan percepatan pemenuhan keadilan selalu saja dikalahkan dengan tidak adanya basis perundang-undangan yang memerintahkannya. Sehingga pemenuhan urusan substansial atau inti dari persoalan, dikalahkan oleh debatable aturan teknis.

Jika dicermati bunyi pasal pada UU Pemerintahan Aceh (UU PA) yang mengatur tentang pembentukan KKR di Aceh, pasal 229 ayat 1 s/d 4 menyeluruh; (1) Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh; (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan; (4) Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dapat memertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat.

Maka, UU PA sebenarnya sudah membentuk KKR di Aceh, tinggal teknis pembentukan dan mekanisme kerjanya saja yang harus dipersiapkan. Untuk pasal yang menegaskan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari KKR Nasional dengan mekanisme kerja sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2004 (UU yang sudah dibatalkan), dapat dipandang sebagai pasal yang tidak mengikat lagi. Saat mekanisme Nasional dan KKR Nasional tidak ada, maka ruang bagi Aceh untuk mengaturnya sendiri melalui aturan level Provinsi Aceh semakin terbuka.

Kemudian, muatan dalam kesepakatan (MoU) damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia (RI) di Helsinki, Finlandia, adalah juga tentang Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dalam Bagian Hak Asasi Manusia; Point 2.1 Pemerintah RI akan mematuhi Konvenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Point 2.2 Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh; Point 2.3 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

Saat legitimasi pembentukan KKR Nasional sudah tidak ada-karena ada pembatalan UU KKR, apakah juga harus menunggu pembentukan KKR Nasional terlebih dahulu, baru membentuk KKR di Aceh?. Sedangkan proses pengusulan RUU KKR tersebut dicermati masih harus melalui proses panjang-masih pada pembahasan direktorat di bawah Dirjen perundang-undangan di Departemen Hukum dan HAM-. Serta dalam Program Legislasi Nasional tidak masuk pada prioritas tahun 2010, maka untuk tahun 2011 KKR Nasional belum juga akan terbentuk. Jika pun akan masuk prioritas Prolegnas tahun 2011, maka KKR secara Nasional akan terbentuk tahun 2012, dan untuk Aceh paling cepat tahun 2013. Maka pengakuan dan reparasi terhadap korban akan tertunda paling tidak 3-4 tahun lagi.

Sebenarnya Keberadaan KKR merupakan lembaga yang bertugas menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa-lalu, dengan cara: pengungkapan kebenaran, memberikan pengakuan kepada korban bahwa mereka adalah korban, menyediakan reparasi kepada korban, serta melakukan reformasi terhadap institusi yang dianggap bertanggung-jawab atas pelanggaran HAM masa lalu untuk memastikan pelanggaran HAM tersebut tidak terulang dimasa-datang (non-recurrence), tetapi tidak ada penghukuman terhadap Pelaku (Ifdal Kasim, apakah komisi kebenaran Itu/ELSAM). Sehingga ketakutan banyak pihak bahwa KKR akan membuka luka lama dan menambah dendam, terbantahkan.

Perhatian khusus bagi korban konflik menjadi persoalan terpenting dalam proses transisi Aceh pascakonflik. Korban konflik adalah komunitas yang sangat dirugikan pada masa konflik panjang Aceh. Sehingga mereka sudah berada pada kondisi tertinggal dari aspek ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan, serta jauh dari kemapanan. Tentunya butuh perhatian lebih agar mereka bisa setara dengan warga lain yang bukan menjadi korban langsung konflik Aceh.

Untuk kondisi seperti inilah seharusnya pemerintahan Aceh mengambil sikap lebih bijak. Pemerintah Aceh yang dimotori Irwandi Yusuf dan M. Nazar, adalah orang-orang yang cukup erat kaitannya dengan para korban konflik, bahkan mereka juga adalah bagian dari korban konflik. Anggota DPRA baru periode 2009-2014 mayoritasnya berasal dari Partai Aceh yang didirikan mayoritas anggota GAM juga orang-orang yang cukup erat kaitannya dengan para korban konflik. Seharusnya menjadi kewajiban mereka untuk membentuk KKR sebagai bentuk upaya pengungkapan kebenaran dan reparasi bagi korban konflik, yang merupakan bentuk dari pemberian perhatian dan kepedulian lebih bagi korban konflik.

Belum dimasukannya rencana pembentukan qanun KKR dalam draft program legislasi Aceh (prolega) prioritas 2010, merupakan realitas yang cukup disayangkan. Padahal kebutuhan agar pemerintah mengakui bahwa mereka yang telah dirugikan pada masa konflik adalah korban konflik, merupakan kebutuhan mendesak. Karena itu semua akan menjadi pintu masuk untuk mendorong partisipasi korban dalam proses pembangunan. Sehingga proses pelaksanaan pembangunan akan lebih sukses.

Sebenarnya Aceh tercatat sudah beberapa kali menjadi pelopor untuk perbaikan demokrasi dan sistem pembangunan di Indonesia. Bank Pembangunan Daerah, Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), diawali dari Aceh, kemudian diadopsi konsepnya oleh banyak daerah, bahkan Bappeda Aceh, kemudian menjadi stimulus terbentuknya Bappenas; untuk Pilkada secara langsung secara aturan juga didahului Aceh dan kemudian berlaku untuk daerah lain dan juga secara nasional, calon independen untuk Pilkada juga didahului Aceh dan kemudian mendobrak sistem nasional sehingga berlaku untuk seluruh proses pilkada di Indonesia; terakhir, sekarang Aceh juga punya Partai Lokal yang juga berpotensi untuk menjadi pemicu berubahnya sistem kepartaian di Indonesia, sehingga partai lokal juga akan ada di seluruh daerah Indonesia.

Saat aturan secara Nasional untuk KKR Nasional sudah tidak ada, maka ruang bagi Aceh untuk mengaturnya sendiri melalui aturan level provinsi Aceh seharusnya semakin terbuka. Seiring dengan pengalaman Aceh menjadi pelopor perbaikan sistem politik, demokrasi dan pembangunan di Indonesia, serta juga merupakan aktualisasi dari semangat perdamaian yang ingin membangun Aceh lebih baik dari daerah lain dan untuk menjadikan Aceh sebagai model seluruh wilayah di Nusantara dan Dunia. Sehingga KKR Aceh akan menjadi pemicu percepatan pembentukan KKR Nasional. Kemudian Aceh kembali menjadi pelopor untuk proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi di Indonesia, dengan model KKR Aceh yang mungkin akan dipakai sebagai model KKR di Nasional dan Dunia. Seperti model damai Aceh yang sekarang sedang marak dipakai sebagai model perdamaian di beberapa daerah konflik diberbagai belahan dunia.

* Penulis adalah T Banta Syahrizal
(Aktifis ACSTF dan Konsorsium Aceh Baru)

Sumber http://www.serambinews.com 

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails