Robert Adhi Kusumaputra/KOMPAS Hendardi, Ketua BP Setara Institute |
JAKARTA, KOMPAS.com- Keputusan Komite Etik dinilai cenderung berhasrat untuk menyelamatkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tidak bersikap tegas terhadap semua bentuk pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan komisi itu. Padahal, sekecil apa pun pelanggaran etik semestinya diberi sangsi demi menjaga integritas lembaga tersebut.
Penilaian itu disampaikan Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi untuk menanggapi kesimpulan Komite Etik KPK yang antara lain menyatakan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Haryono Umar tidak bersalah meski ada tiga dari tujuh hakim yang memberikan pendapat berbeda, Rabu kemarin.
"Keputusan Komite Etik telah menciptakan preseden buruk bagi KPK di masa mendatang, karena pertemuan pimpinan lembaga itu dengan pihak-pihak, termasuk petinggi partai politik yang kadernya diduga bermasalah, dianggap bukan pelanggaran," katanya.
Sebagaimana diberitakan, Komite Etik KPK memutuskan bahwa Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan Sekjen KPK Bambang Praptono Sunu telah melanggar etika ringan. Sedangkan Chandra M Hamzah dan Haryono Umar dianggap tidak bersalah.
Hendardi mengungkapkan, sebagaimana keterangan petinggi Demokrat yang diperiksa, Chandra telah bertemu dengan M Nazaruddin. Namun, hal itu justru diabaikan oleh Komite Etik, bahkan dianggap bukan pelanggaran etik. Chandra hanya dinasehati agar berhati-hati. Hal serupa juga diterapkan pada Haryono Umar.
Padahal, Pasal 36 butir 1 Undang-undang (UU) No. 30 tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, "Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun."
Pasal 65 UU itu berbunyi, setiap anggota KPK yang melanggar Pasal 36 di atas, dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun. "Artinya, dalam konstruksi UU KPK, 'pertemuan' semacam itu adalah tindak pidana. Perlu diingat, perkara korupsi tidak selalu menyangkut diri pihak yang bertemu, tetapi dapat berarti membicarakan dan dealing perkara yang melilit kader-kader partainya," katanya.
Dengan begitu, Hendardi menilai, produk Komite Etik KPK justru bisa menciptakan preseden buruk bagi penguatan integritas KPK. Para pimpinan KPK dianggap sah untuk bertemu dengan pihak-pihak, termasuk petinggi partai politik yang kader-kadernya diduga terlibat perkara korupsi.
"Komite Etik, yang sejak awal diharapkan mampu memulihkan kepercayaan publik pada KPK justru semakin memperkuat dugaan publik bahwa Komite Etik hanya ditujukan untuk 'menyelamatkan' pimpinan KPK dengan semangat kolektivisme," katanya.
Pembiaran pelanggaran etik tanpa pertanggungjawaban, kecuali nasehat untuk berhati-hati, kata Hendardi, menunjukkan bahwa kerja Komite Etik tak lebih dari sekadar binatu bagi sejumlah pimpinan KPK yang diduga melanggar kode etik.
Sumber: kompas.com