Selasa, 29 November 2011

Partai Aceh: Politik Marah Tanpa Arah

Pembaca yang Budiman,
Pilkada Aceh yang sedianya dilaksanakan pada pertengahan tahun ini telah gagal dan tertunda hingga akhir tahun 2011. Hal ini saya yakini merupakan kelumpuhan elemen legislatif domestik yang sarat dengan kepentingan politik kelompok sehingga mengorbankan kepentingan yang jauh lebih besar yaitu rakyat. Sementara itu, eksekutif di Aceh juga kerap kali bermasalah dengan berbagai kebijakan yang cenderung korup dan berantakan sehingga menjadi cerminan buruknya kinerja eksekutif dalam membawa Aceh menuju arah yang lebih baik.

Partai Aceh selaku partai pemenang pilkada tahun 2006 dimana berhasil menempatkan kader-kadernya di lembaga legislatif secara mayoritas sekaligus pemilihan kepala daerah termasuk gubernur di hampir separuh daerah di Aceh menunjukkan kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap Partai lokal ini. Namun demikian, harapan dan kepercayaan rakyat yang begitu tinggi harus menelan pil pahit akibat konflik berkepanjangan dalam tubuh partai sehingga meluas pada tingkat persaingan politik lokal di antara para kadernya sendiri.

Pembaca sekalian,
Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Partai Aceh Muzakkir Manaf yang akrab dipanggil Mualem menyatakan kepastiannya bahwa Partai Aceh tidak akan maju dalam Pemilukada tahun ini sebagai bentuk penghormatan kepada perjanjian. Saya yakin yang dimaksud dengan beliau atas perjanjian adalah MoU Helsinki. Hal ini tentunya terkait dengan keputusan MK 24 November 2011 lalu untuk tetap melanjutkan pilkada Aceh dan memperbolehkan calon independen untuk kembali maju dalam pilkada. Saya berpendapat bahwa sikap dan keputusan Ketua Peralihan Aceh (KPA) ini menunjukkan konsistensi perjuangan maupun sikap dalam menanggapi perbedaan dalam menerima suatu keputusan yang kurang menguntungkan bagi pihaknya. Meskipun dinyatakan oleh beliau bahwa dirinya bukan pihak yang sedang berperkara, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa konflik internal sesama kader Partai Aceh atau apabila dikerucutkan konflik antara Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh yang dipimpinnya.

Mengapa konflik ini meluas?
Konflik ini meluas karena masing-masing kader yang berseteru menggunakan kekuasaan lembaga yang dipimpinnya/dipengaruhinya  untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan satu sama lain. Irwandi Yusuf menggunakan kekuasaannya sebagai kepala eksekutif lokal yaitu Gubernur yang berwenang untuk menandatangani semua keputusan maupun UU/qanun yang dibuat oleh legislatif. Sementara itu, Partai Aceh menggunakan mekanisme legislatif dimana sebagai Partai mayoritas yang menguasai kursi DPRA membuat dan merancang UU yang jelas-jelas bertentangan dengan garis yang ditetapkan oleh eksekutif di pusat, dalam hal ini MK. Konflik tanpa kompromi ini terus berlanjut hingga pada akhirnya diperlukan campur tangan pemerintah pusat (Kemendagri) untuk mengatasi hal ini. Namun, dengan melalui mediasi-mediasi dan pertemuan internal kompromi yang diharapkan tidak menghasilkan keputusan yang dapat menyenangkan semua pihak, sebagaimana yang dinyatakan oleh ketua MK, bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat.

Apa yang akan terjadi?
Sebenarnya, keputusan MK tersebut sudah dapat diramalkan bahwa tidak akan dapat diubah sebab MK tidak bisa membatalkan putusan yang sudah dikeluarkan terkait sengketa kewenangan antar lembaga menyangkut penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Hal ini yang harus dipahami oleh pihak-pihak yang berseberangan dengan putusan MK tersebut. Sehingga konflik regulasi terkait pemilukada akan menjadi ganjalan bagi pihak yang tidak mendukung. PA tentunya akan bersifat apolitis dengan menyatakan untuk tidak ikut dalam pemilukada tahun ini. Sikap tersebut menurut saya juga cukup merugikan bagi PA karena animo masyarakat yang sebelumnya mendukung PA akan terpecah belah atau ditarik ke partai-partai lainnya baik lokal maupun nasional. Dari segi keamanan, harapan terhadap pemilukada yang aman dan damai juga dikhawatirkan akan terganggu sebab sangat dimungkinkan terdapat pihak-pihak yang bertentangan dengan pemilukada ini akan melakukan kegiatan-kegiatan sabotase yang jelas-jelas akan merugikan jalannya pemilukada Aceh.
 
Bagaimana seharusnya kehidupan politik di Aceh saat ini?

Harapannya tentunya politik di Aceh adalah politik akal sehat yaitu politik yang memperhitungkan masa depan Aceh dan rakyat Aceh bukan politik yang di nina bobokan untuk kembali ke masa lalu. Partai Aceh dalam hal ini seharusnya tidak perlu bersikap apolitis (mutung) sebab dengan bertindak sebagai partai yang oposisi terhadap pemerintahan, PA dapat dengan bebas menawarkan alternatif kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat. Di sanalah kebijakan akan diadu dan rakyat Aceh akan bertindak sebagai pemilih. Selain daripada itu, PA juga dapat mengontrol kebijakan pemerintah melalui pengawasan terhadap RAPBD, sebab melalui APBD dapat dengan jelas dilihat mana kebijakan yang pro rakyat dan atau kebijakan yang justru mengutamakan kepentingan pemerintahan. Melalui pengawasan oposisi yang bermutu, apatisme publik dapat disalurkan dalam bentuk harapan sebab dengan kebijakan tandingan/oposisi suhu politik dapat terpelihara dalam perdebatan yang sehat, rasional dan produktif.

Pembaca yang budiman,
Demikianlah ulasan saya terkait dengan situasi politik di Aceh saat ini yang cenderung memanas pasca keputusan MK tanggal 24 November yang lalu. Di dalam setiap konflik memang pada akhirnya diperlukan adanya kompromi, namun apabila kompromi tidak dapat tercapai maka sikap apolitis atau marah tanpa arah bukanlah pilihan yang tepat, karena bagaimanapun kita memerlukan politik sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari sebab dengan politik akan muncul suatu kebijakan dan dalam kebijakan selalu bermuatan keadilan.
Salam hormat,
Rafli Hasan

Sumber: politik.kompasiana.com

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails