DampakKisruh Pilkada Terhadap Pembangunan Politik Aceh
Oleh Safrizal
Acehmerupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berifatprovinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dandiberikan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusanpemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorangGubernur.
StatusProvinsi Aceh saat ini adalah otonomi khusus yang diatur dalam Undang-UndangNomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dimana urusan pemerintahpusat terhadap Aceh meliputi bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar,keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dankebebasan beragama. Selebihnya merupakan kewenangan Aceh dalam melaksanakansemua sektor publik, yang diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipildan peradilan.
Sesuaiyang diamanatkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) dan UUPA, maka pembangunanpolitik dapat tumbuh berdasarkan kepentingan rakyat Aceh melalui transformasipolitik Aceh paska konflik berkepanjangan dengan dapat membentuk partai-partaipolitik lokal (parlok) yang memenuhi persyaratan nasional.
Dimanaarah pembangunan politik (PoliticalDevelopment) Aceh untuk kedepan selama masih utuhnya MoU dan UUPA tetapharus dijadikan sebagai pedoman dalam dinamika sosial politik Aceh, arahpembagunan ini terlebih dahulu dengan memperhatikan nilai-nilai islam, sosialbudaya dan keadilan atau pemerataan atau demokrasi yang menyeluruh serta SumberDaya Manusia (SDM) yang mapan termasuk SDA yang. Pembangunan diarahkan untukmenciptakan proses “Perdamaian Aceh Paska Konflik”, sehingga pemerintah sebagaisupra-struktur yang mengendalikan infra struktur. Partai politik yang dalamsystem demokrasi menjadi kekuatan pembentuk pemerintahan, dengan instrumenpolitik yang sangat kuat dan menjadi kepanjangan kepentingan masyarakat dan negara.
Arahpembangunan politik untuk masa depan Aceh dapat tumbuh berdasarkan pemerintahanyang pro rakyat, tidak melanggar pada perjanjian yang telah mendapatpersetujuan bersama (MoU-pen), sehingga tujuan dari persetujuan damai tersebutdapat diimplementasikan oleh rakyat secara luas tanpa intervensi atau tekanadari pemerintah pusat. Tidak salah juga bila pemerintah melanggar dariperjanjian maka rakyatpun akan terus bersuara.
Sebagaiimplementasi partisipasi politik masyarakat Aceh terhadap perilaku sistempolitik di Indonesia, terlihat pada pemilihan kepala daerah (pilkada) yang disertaidengan berbagai kasus tak terkecuali menjelang pilkada Aceh, terutama multitafsir dari hukum-hukum yang berlaku di Indonesia dan Aceh, mendukung danmenolak untuk dilaksanakan pilkada, membaikot pilkada serta menolak untukmencairkan dana penyelenggaraan pilkada. Itulah bagian dari sistem demokrasiyang dianut negara kita tanpa melakukan konsesus yang matang dengan mengartikulasikankepentingan konstituen (masyarakat) secara menyeluruh dengan mempertimbangkangejala-gejala sosial yang akan timbul setelah kebijakan hukum ataupun kebijakanpolitik ditetapkan. Dimana pembangunan politik dalam kerangka menciptakan pembangunanpolitik yang kokoh disuatu daerah sangat dipengaruhi oleh elit politik (Parlementaria)birokrasi dan militer.
Tidakheran bila kita menganalisa terhadap pilkada Aceh yang dijadwalkan awal tahun2012 ini mendapat perhatian serius dari semua pihak, terlebih mengenai efek-efekyang akan timbul ditengah suasana damai yang sedang dirasakan masyarakat Aceh paskakonflik berkepanjangan, tak terkecuali ada penafsiran akan menimbulkan konflik barudi Aceh menjelang pilkada baik itu fertikal maupun horizontal.
Namunsejauh ini pemahaman politik yang dihadapi manyoritas masyarakat Aceh belumsepenuhnya tersentuh pada akar permasalah yang sebenarnya terjadi menjelangpilkada, yaitu apakah mengenai kepastian hukum atau kebijakan politik tertentu.Sehingga masalah ini merupakan satu kendala yang harus dihadapi pemerintahterutama dalam hal keamanan terhadap mobilisasi massa atau aksi, kecaman secaratersembunyi-tersembunyi, teror, danlain-lain sebagainya dalam menjaga keamanan dan stabilitas politik Aceh yangkhususnya ditujukan kepada masyarakat.
Dengandemikian masalah tersebut bisa berdampak pada arah pembangunan Aceh beberapatahun kedepan yang sifatnya kurang efektif baik setelah pilkada diselenggarakanoleh Komisi Penyelenggaraan Pilkada (KIP) Aceh maupun setelah ditetapkankandidat terpilih. Dalam hal ini terutama elit politik dan partai politik yangtidak setuju pilkada dilanjutkan mengingat kisruh pilkada tersebut belum menemukansatu persetujuan yang dapat diterima semua pihak, terlebih Dewan PerwakilanRakyat Aceh (DPRA) yang manyoritas di parlemen adalah Partai Aceh (PA).
Sehinggapersepsi-persepsi yang timbul baik ditingkat elit politik maupun dalam masyarakatlebih mengarah ke radikalisasi massa serta ketidakpercayaan publik terhadap mekanismehukum antara UUPA dan produk hukum diluarUUPA dalam kapasitas payung hukum pilkada. Persepsi bisa juga timbul melalui opini-opinipublik yang bervariasi yang kemudian melahirkan sebuah gerakan baru di Acehbaik itu mendukung maupun menolak kandidat terpilih periode 2012-2017.
Efekdari kisruh pilkada juga menimbulkan ketidakharmonisan antara eksekutif danlegislatif, yang seharusnya peran utama dalam pilkada adalah lembaga-lembaga tersebut.Disisi lain akan menghambatnya pembentukan, perumusan serta pengesahan qanun-qanun, serta kurangnya efektifitas kinerja lembagatersebut akibat tidak sejalannya gagasan-gagasan yang disampaikan melalui rapatparipurna DPRA seperti paripurna pengesahan qanun pilkada yang berujung pada ketidaksepakatanantara eksekutif dan legislatif.
Kisruhpilkada yang selama ini belum ada pihak penegah sebagai konsensus yang mampumeredakan pihak berkonflik antara eksekutif, legislatif, serta partai politik, jugatelah merambah ke kondisi stabilitas politik Aceh dan nasional. Dimana situasimulai mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam menghadapi kebijakan-kebijakanpolitik tertentu, terlebih dalam menghadapi putusan Mahkamah Konstitusi yangmencabut pasal 256 UUPA sebagaimana diketahui bersifat final dan mengikat.
Namunsayangnya konsep politik yang ada pada sebagian masyarakat belum seharusnyadiikutkan dalam mengambil langkah-langkah politik karna manyoritas rakyat Aceh belummemahami politik secara menyeluruh, maka akan lebih baik terlebih dahulu diberikanpendidikan yang matang sehingga pada implementsinya nanti tidak ada penyesalan yangmengakibatkan pada radikalisme atau fertikal.
Dalampraksis politik di negara demokrasi terlebih pilkada Aceh, maka kisruh atauperbedaan kepentingan, persepsi, interpretasi terhadap mekanisme pilkada tidaksaja mengandung nilai-nilai positif dalam implementasi politik, melainkan jugamerupakan strategi politik yang sering dipraktikkan banyak negara demokratis didunia. Konflik dalam praksis politik sebenarnya tidak mungkin dikesampingkan,apalagi bagi negara Indonesia yang memiliki multipartai politik plus parlok diAceh.
Secaraumum akibat timbulnya kisruh atau konflik pilkada di Aceh dapat kita golongkanke dalam beberapa katagori yang mendasar yaitu kekuasaan, kepentingan, dankelompok sosial yang mendukung dan menolak untuk diselenggarakan pilkada.
Daripandangan penulis dampak kisruh pilkada ini secara umum dapat memberikanpemahaman-pemahaman atau konsep politik kepada masyarakat secara menyeluruh,dapat membangkitkan motivasi masyarakat dalam berpartisipasi terlebih masyarakatAceh baru beberapa tahun bebas berbicara setelah adanya Memorandum ofUnderstanding (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia,masyarakat dapat menganalisa mekanisme politik para elit politik baik ditingkatdaerah maupun luar daerah, masyarakat tidak mudah menerima ideologi-ideologipihak tertentu, masyarakat dapat dengan mudah mengetahui siapa-siapa sutradaradibalik kisruh pilkada ini, serta masyarakat tidak begitu mudah diadu dombaantara kelompok pendukung dan kelompok menolak pilkada, walaupun masyarakattidak diajarkan konsep politik berdasarkan teori namun pemahanan tersebut sudahmelekat dalam diri masyarakat.
Dengandemikian arah pembangunan Aceh sangat tergantung pada stabilitas politik Acehsendiri, dan pembangunan politik tersebut juga harus didukung oleh ekonomi yangefektif serta sejalan dengan adat dan budaya Aceh. Jalannya pembangunan bila kondisiAceh kondusif aman, pendidikan dikedepankan, serta memperhatikan rakyat denganmenyeluruh, pembangunan yang melibatkan rakyat paling bawah, menciptakanpertumbuhan ekonomi rakyat melalui pembukaan lapangan kerja baik melalui sektorpertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, perindustrian dan lain-lainsebagainya dengan memperhatikan lingkungan.
InsyaAllah arah pembangunan Aceh lima tahun kedepan akan berlangsung kondusif danefektif bila kebijakan-kebijakan yang dituangkan pemerintah sejalan denganperaturan. Namun mengingat kisruh pilkada yang belum menemukan satu keputusan yangefektif, maka mengingatkan kita untuk terus memahami dan mengkaji dari kisruh pilkada tersebut serta menghindaridari hal-hal yang dapat merusak perdamaian serta menggu keamanan.
* Penulis Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh - Aceh