Oposisi merupakan sebagai penyeimbang penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya. Para analis politik seperti Dahl, Lonescu, dan Madaraiga berpendapat bahwa hadir tidaknya oposisi menentukan apakah suatu Negara itu Liberal atau Diktator.
Oposisi berasal dari bahasa laten yaitu opponere, yang berarti to set against, menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk, cara, dan alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada kepentingan pribadi dan kelompok (Taliziduhu Ndraha “Oposisi Perspektif Kybernologi”).
Lazimnya lahir oposisi di Indonesia dan Aceh khususnya adalah pada partai politik yang tidak bisa meraup suara pada pemilu baik legeslatif maupun eksekutif. Sehingga mereka memposisikan diri sebagai partai politik yang akan selalu mengkritisi pemerintah, bahkan ada yang menamakan diri sebagai “oposisi kritis”. Oposisi Kritis adalah sekelompok orang atau partai politik yang diluar kekuasaan menjadikan diri sebagai kelompok yang akan selalu mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat.
Oposisi memang harus di bangun dalam jiwa setiap partai politik maupun organisasi politik agar kebijakan pemerintah benar-benar untuk kepentingan rakyat. Bukan berlandaskan hanya untuk kepentingan kekuasaan semata.
Partai politik memang dirikan untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi bukan semata - mata untuk berkuasa, setelah berkuasa selesailah perjuangannya. Namun sejauh mana partai politik itu setelah berkuasa menjadikan rakyatnya sejahtera, harus mampu menciptakan lapangan kerja untuk seluruh rakyat, meningkatkan taraf hidup masyarakat menuju yang lebih baik untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal.
Namun bila dalam sebuah daerah tidak ada oposisi, maka tidak ada check and balance dalam menjalankan roda pemerintah, dan demokrasipun akan terancam keberlangsungannya. Menurut Lawson, adanya oposisi politik merupakan syarat mutlak bagi sebuah rezim untuk di sebut demokratik.
Selain itu fungsi partai politik adalah memberikan pendidikan politik kepada anggotanya dan juga kepada masyarakat umumnya. Oleh sebab itu sudah selayaknya partai politik itu harus memberikan contoh yang baik.
Bila awalnya sebagai oposan, maka komitmenlah selalu tetap sebagai oposan sampai kekuasaan bisa di raih untuk tujuan kesejahteraan rakyat. Sehingga memberikan contoh pendidikan politik yang baik pada seluruh lapisan masyarakat di aceh.
Bila selanjutnya bergabung kembali kepada penguasa yang sedang memerintah, namun sebelumnya selalu mengkritik kebijakannya. Hal ini bisa di anggap pecundang oleh masyarakat dan lawan politiknya. Orang akan menganggap oposisi yang di bangun itu hanya kepentingan kekuasaan, setelah diberikan sedikit kue kekuasaan, maka partai oposisi tersebut akan diam.
Sejatinya oposisi itu lahir bukan karena perbedaan daerah, suku, agama, partai politik, berkuasa atau tidak berkuasa.
Tetapi opisisi itu lahir untuk kepentingan bersama menuju yang lebih baik. Baik itu untuk menegakkan hukum yang adil, menciptakan kesejahteraan bersama dan untuk kebersamaan demi terwujudnya rakyat yang bermartabat dan mandiri.
Oposisi Tak Bisa Bediri Sendiri
Di Negara — Negara tradisi demokrasinya sudah berlangsung lama, oposisi kurang di sukai, karena di anggap sebagai orang barisan sakit hati yang tidak mendapatkan kue kekuasaan. Ada juga di anggap sebagai penghambat pembangunan, terlalu mengada — ada, bahkan bisa di tuduh melakukan sabotase terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh sebab itu oposisi itu tidak bisa berdiri sendiri, harus di landasi oleh kepentingan ideologi.
Bila berlandasankan ideologi terbentuknya opisisi, maka partai oposisi tersebut akan terus beroposisi selama lawan antagonisnya itu masih berkuasa. Artinya beroposisi secara programatik bukan di landaskan pada kekuasaan semata.
Bila suatu organisasi politik maupun partai politik masih berpegang teguh pada ideologi, maka dia akan komit memperjuangkan kepentingan orang banyak. Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat (Karl Marx ).
Sikap konsistensinya dalam beroposisi di landasi ideologi yang jelas, tidak di tuduhkan sebagai pecundang atau di anggap sebagai provokator oleh penguasa. Karena yang beroposisi tersebut ada sesuatu yang di capai untuk memperjuangankan kepentingan orang banyak menuju baik kemandirian secara ekonomi maupun politik, dan merdeka dalam bersikap tanpa ada yang mengintervensi urusan domestik.
Dari sudut pandang lain, oposisi merupakan media penggerak perubahan menuju yang lebih baik dari masa lalu. Sebagai alat untuk memperbaiki sesuatu yang sudah usang untuk di ganti dengan yang baru. Sejarah di Indonesia dari fase dictator menuju Reformasi melalui gerakan oposisi yang sistemik.
Walaupun banyak orang menganggap reformasi di Indonesia gagal, karena Indonesia pasca reformasi masih di kuasai oleh politisi — politisi lama. Pelaku pelotik masih di kuasai oleh wajah — wajah lama dimasa orba, bahkan menjadi actor utama dalam pengambilan kebijakan.
Membangun oposisi tidak akan mampu ketika organisasi maupun partai politik itu tidak memiliki nilai bargaining yang kuat.
Oposisi itu harus mempunyai kekuatan yang bisa membuat penguasa merasa segan bahkan takut bila berhadapan dengan oposisi tersebut. selain itu oposisi itu juga harus memperkuat basis ekonomi untuk pembiyaan organisasi, kader organiasi dan lainnya.
Kalau tidak, partai oposisi tersebut akan terjebak kedalam lingkaran penguasa. Sehingga tujuan — tujuan pragmatis maupun tujuan kepentingan ekonomi individu elit partai yang terlihat di permukaan. Karena saat partai kecil, apa lagi partai yang dulunya beroposisi dan masuk kedalam penguasa, maka yang menikmati nikmatnya kekuasaan tersebut adalah hanya beberapa orang elit partai saja. Bukan tujuan bersama untuk menciptakan masyarakat yang mandiri dan sejahtera serta mendapatkan hak — hak dasar.
Partai politik oposisi bisa itu di pastikan tidak bisa bicara banyak saat berada dalam lingkaran kekuasaan. Makanya saat oposan masuk kedalam kekuasaan, bukan perubahan yang mau di harapkan, tetapi hal lebih untuk mendapatkan logistic untuk kepentingan sesaat. Akhirnya partai tersebut akan di tinggalkan juga oleh masyarakat saat suara kritisnya tidak lagi terdengar.
Penguasa sangat berkepentingan untuk merekrut siapapun yang beroposan dengannya, hal ini untuk memuluskan rencana — rencana kerja tidak ada yang memprotes, apa lagi menjelang pemilihan umum. Saat pemiliham umum itu semua akan di rangkul untuk bisa memenangkan dirinya kembali.
Bila kita memandang dari sudut pandang lain, ada partai politik maupun organisasi politik yang menjadi oposisi tanpa mau bergabung kedalam lawan politiknya. Biasanya ini partai politik maupun organisasi politik yang konsisten mempertahankan ideologinya tanpa tergiur dengan kekuasaan. Ini memang sangat jarang kita temukan di era liberalisasi politik.
Ingin cepat berkuasa menjadi factor runtuhnya nilai — nilai ideologi yang di anut oleh suatu partai politik maupun organisasi politik yang merapat kepada penguasa yang beda ideologi. Hal ini biasa di dorong oleh pelaku politik partai tersebut yang ingin segara berkuasa. Hasyrat untuk berkuasa tidak dapat di kendalikan lagi, sehingga mempertaruhkan komitmen ideologi untuk pemenuhan birahi kekuasaan dan pemenuhan ekonomi elit partai politik itu sendiri yang tidak siap lagi miskin.
Tidak mudah menjadi oposan, banyak godaan dan rintangan yang harus di hadapi. Salah satu rintangan yang nyata adalah saat segelintir elit politik tergiur dengan hidup mewah. Terjadi penggeseran nilai — nilai dalam kehidupannya, juga terjadi peningkatan kelas sosial yang baru.
Sumber: theglobejournal.com