Minggu, 11 Desember 2011

Pembangunan Politik Aceh

2427905168_705fc910f1Harus diakui bahwa makna “pembangunan” sekarang berbeda dengan masa lalu. Di era Orde Baru, apa yang disebut sebagai pembangunan tidak lebih dari sebuah proses terencana (oleh Pemerintah Pusat) yang ditujukan untuk mendukung penyelenggaran pemerintahan yang bersifat sentralistik. Oleh karena itu tidak terlalu keliru bila ada yang mengatakannya sebagai “perubahan yang direncanakan” (Planned Change) oleh sebuah rejim pemerintahan yang kurang menghargai prinsip-prinsip demokrasi: partisipasi secara luas dan otonom, transparansi serta percaya kepada pihak lain (trust).  Hampir dapat dipastikan bahwa peran Pemerintah Pusat menjadi sangat menonjol, dan bahkan dalam banyak hal terlalu dominan dalam proses perubahan dan pembentukan negara (state formation) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tersebut. Negara, bukan hanya berperan sebagai regulator, melainkan juga aktor pembangunan (agent of development), dan “kasir” (cash registrar) pembangunan itu sendiri. Dapat difahami bila kemudian negara dianggap sebagai pusat kekuatan (power house) yang mampu menggerakkan unsure yang ada di sekitarnya. Dari perspektif ekonomi, negara telah berperan sangat efektif untuk memobilisasi sumberdaya pembangunan. Ibarat gula, negara Orde Baru telah mampu mengundang semut-semut yang ingin mendapatkan berkahnya. Siapa yang jauh dari negara, akan mendapatkan sedikit berkah pembangunan. Sebagai akibatnya, semua kekuatan yang berada di luar pusat dan negara, dimarjinalisasikan. Termasuk di dalamnya adalah politik local, hampir-hampir tak terdengar di masa sentralisasi itu.


Dalam bidang politik -termasuk politik local – pembangunan diarahkan untuk menciptakan proses “Demokrasi Pancasila”. Model pembangunan ini menafikan kebebasan dan kesetaraan, dan sebaliknya mengutamakan harmoni, dengan pemerintah sebagai pengendali dan penentu nilainya. Untuk sampai pada tujuan tersebut, disusunlah sebuah system politik yang mengidolakan korporatisme negara (state corporatism) secara massif baik di pusat maupun daerah. Negara dianggap sebagai supra-struktur yang mengendalikan infra struktur. Partai politik yang dalam system demokrasi menjadi kekuatan pembentuk pemerintahan, diperlemah, dan digantikan oleh sebuah instrumen politik yang sangat kuat dan menjadi kepanjangan kepentingan negara. Deparpolisasi dan deideologisasi berlangsung tanpa terasa lewat pembangunan politik yang meniscayakan pada perlunya pengembangan sebuah kekuatan yang seolah-olah hanya peduli pada pembangunan, yakni kekaryaan. Disinilah Golongan Karya mendapat legitimasi untuk terus menjadi single majority yang menentukan proses “demokrasi’ di parlemen, baik pusat maupun daerah.

Kekuatan masyarakat, juga dimobilisasi dan digiring ke arah yang sama dengan Golkar. Melalui Kebijakan Massa mengambang dan Organisasi Kemasyarakatan, berbagai kekuatan social terpenting dikooptasi, bila belum ada diciptakan. Karena pendekatan penyeragaman itulah kemudian muncul berbagai organisasi massa yang seolah-olah mengakar ke bawah, tapi dalam kenyataannya menggantung ke atas. Sebagai konsekuensinya, negara menyediakan imbalan, baik dana maupun kedudukan bagi para elitenya. Partisipasi masyarakat secara otonom digantikan dengan peranserta yang dimobilisasi. Pers dan kampus dibatasi peran politiknya, dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan organisasi massa terdahulu. Sumber kekuatan politik negara digunakan untuk memberikan payung politik kepada rector maupun pemimpin redaksi. Tidak mengherankan bila di masa lalu, peluang untuk menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat (DPR dan MPR) terbuka lebar bagi para pemimpin kampus maupun pers di tanah air.

Untuk sekian lama, system ini bertahan dan dipertahankan sebagai sebuah system politik yang khas Indonesia. Dapat dimengerti apabila kemudian untuk sekian lama pula tidak terjadi perguliran kepemimpinan, karena hal ini dianggap akan menganggu pola yang sedang dibangun. Garis-Garis Besar Haluan negara (GBHN) dirancang oleh elite – bukan politisi atau wakil rakyat – dan dijadikan buku suci, yang sering kali hanya dihormati pada tataran simboliknya, bukan empiriknya.

Terlepas dari penilaian kritis terhadapnya, yang pasti, Orde Baru telah berhasil menciptakan sebuah Budaya Politik yang anti persaingan, dan sebaliknya mengutamakan penyeragaman. Budaya politik komando terasa lebih menonjol ketimbang partisipatoris. Konsekuensinya, peran komandan sangat dominan dalam penerapannya. Struktur politik yang demikian, mengharamkan adanya persaingan secara bebas dalam berbagai lini politik. Apalagi dalam pemilihan pimpinan pemerintahan dan organisasi politik serta ormas sekalipun, kalau bisa dicapai consensus, bukan persaingan. Pada gilirannya, tentu suara Pemerintah yang harus diutamakan. Oleh karenanya, hampir di setiap pemilihan kepala daerah – kecuali Pemilihan Gubernur Riau pada 1980an yang terkenal itu – semuanya berlangsung secara mulus, aman dan terbebas dari pertikaian politik. Seluruh jajaran aparatur negara, baik sipil maupun militer berperan aktif dalam mengamankan kebijakan (baca: kehendak) Pemerintah (baca: Pusat). Pada saat yang sama, barisan akan kacau ketika komandannya tidak ada atau tidak fungsional. Inilah yang dialami Indonesia dalam beberapa tahun selepas Presiden Soeharto.

Problema Konsolidasi Demokrasi
Perubahan politik dari otoritarianisme menuju demokrasi, tidaklah dapat berlangsung secara cepat dan bebas (in-vacuum) dari faktor-faktor di sekelilingnya. Setidaknya dalam proses konsolidasi demokrasi tersebut – dengan mengutip pikiran Samuel Huntington – terdapat tiga persoalan mendasar yang harus diselesaikan. Pertama, kesadaran bersama untuk secara pasti melewati “transition problems”. Karena yang lama masih berusaha untuk terus berkuasa, penguasa baru harus dapat secara elegan menggeser pengaruh mereka. Kedua, contextual problems yang dihadapi negara-bangsa merupakan sebuah fenomena yang sudah given. Persoalan komunal menjadi faktor potensial bagi munculnya disintegrasi bangsa. Artinya, abai untuk mendekatinya secara arif, akan mendorong lahirnya persoalan baru. Sementara yang lama belum tersingkirkan, masalah lain – misalnya kesenjangan ekonomi – muncul kemudian. Ketiga, systemic problems dihadapi sehubungan dengan adanya kesenjangan antara aturan yang ada dengan menguatnya tuntutan masyarakat. Aturan hukum merupakan produk politik. Artinya, bukan hanya nuansa, melainkan substansinya pun sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik rejim lama. Sementara tuntutan demokrasi yang makin meluas, tidak akan dapat direspons oleh ketentuan yang sudah dibuat sebelumnya.

Menurut Stephen Carter, “Civility” dapat dijadikan pegangan bagi masyarakat di dalam menyelesaikan perbedaan pandangan secara demokratis. Terutama ketika problem sistemik di atas belum teratasi, civility dapat dianggap sebagai modal social (social capital) yang ampuh untuk mengantisipasi akibat yang muncul dari problema transisi politik dan masalah kontekstual di atas. Tanpa harus menghilangkan penghargaan terhadap pihak lain, konsep ini menjauhkan nuansa “saya” dan menggantikannya dengan “kita”. Dengan kata lain, civility merupakan “manners, morals and the etiquette of democracy”.  Sebagai sebuah “proper standards of moral conduct”, civility, harus dijadikan pegangan bagi setiap warga masyarakat di dalam menyelesaikan pertikaian yang muncul di antara mereka. Konsekuensinya, “pengorbanan (sacrifices)” menjadi kunci penentu di dalam mempertahankan kebersamaan di antara sesama warga. Sebagai aturan mainnya adalah “rules of morality” atau dalam perspektif Islamnya adalah ahlaqul karimah. Pentingnya ahkal untuk dikedepankan dimaksudkan untuk menetralisir kebenaran demokrasi prosedural. Jangan karena mendapat dukungan rakyat saja, seorang harus dianggap sebagai pemimpin, tanpa mempersoalkan kualitas dukungan itu. Pada jaman sekarang, uang adalah segala-galanya, jadi banyak pihak yang berkepentingan untuk mencapai segala macam tujuan dengan mengorbankan uang (money politics), termasuk dalam pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadasung) ini.

Dalam konteks Indonesia, ketiga persoalan demokratisasi yang diungkapkan Huntington di atas jelas kita hadapi sekarang. Perubahan yang begitu cepat dan unpredictable sebagai akibat dari “Revolusi Mei” 1998, tidak dengan sendirinya melapangkan jalan menuju Indonesia yang semakin demokratis. Persyaratan awal untuk membangun sebuah sistem politik yang menghargai kemajemukan, memang sudah dipenuhi. Lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan yang telah dikuasainya sekitar tiga dasawarsa telah memberi kesempatan kepada kita semua untuk mengganti sistem yang sudah sekian lama mempengaruhi kehidupan kita dalam bernegara.

Seandainya mekanisme kerja negara-bangsa ini dapat disamakan dengan otomotif, dengan mudah saja kita dapat mengganti sistemnya. Asal ada biaya untuk membeli mesin yang baru, akan selesai sudah persoalannya. Tapi, karena yang menjadi obyek adalah politik, tentu tidak semudah itu melakukannya. Ketiga masalah konsolidasi demokrasi yang dikemukakan Huntington kita hadapi secara simultan. Penerapan etiket demokrasi di atas akan sangat membantu kualitas demokratisasi yang ada. Kendati ketiga persoalan masih belum terselesaikan, kesadaran kolektif untuk mengacu pada civility sebagai fatsun berdemokrasi, nampaknya akan mempercepat konsolidasi demokrasi tersebut.

Sudah empat presiden yang memimpin kita di dalam mencoba menjalankan roda organisasi yang namanya negara-bangsa ini dengan cara yang baru. Secara ideal, kita membayangkan adanya sistem baru yang lebih demokratis menggantikan sistem politik lama yang otoriter. Tapi prakteknya tidak semudah itu. Perubahan berjalan begitu lamban – untuk tidak mengatakan jalan di tempat. UU Politik bahkan UUD yang untuk sekian lama disakralkan, baru di era Reformasi berhasil di amandemen. Terutama dalam kaitannya dengan soal kedaulatan rakyat, aturan perundangan baru sangat memberi tempat. Dalam konteks pemilihan umum, misalnya, rakyat diberi hak sepenuhnya, bukan hanya memilih anggota DPR dan DPRD seperti di masa lalu, melainkan juga memilih anggota DPD dan Presiden.

Kini untuk kepala daerah pun, sudah dibuat aturan baru yang menyerahkan kepada seluruh pemilih untuk menentukannya. Dengan kata lain, aturan pemilu yang lebih demokratis, memang, sudah dibuat dan dijadikan dasar bagi penyelenggaraan pembentukan elite politik yang berazaskan persaingan dan keadilan. Berbeda dengan enam kali pemilu Orde Baru, Pemilu 1999 dan 2004 diakui banyak pihak sebagai memenuhi ketentuan normatif bagi sebuah kontes demokrasi. Dari pemilu pula kemudian lahir anggota lembaga perwakilan rakyat yang pada gilirannya memiliki independensi untuk melakukan pemilihan pimpinan Lembaga Tinggi Negara, mulai dari Ketua MPR sampai Presiden RI dan Wakilnya. Mulai 2005 sesuai dengan perubahan aturan perundangan yang ada, Kepala Daerah pun harus dipilih secara langsung oleh rakyat (Pasal 56, 57, 58, 59 UU No 32 menyatakan secara eksplisit prinsip-prinsip Pilkadasung secara demokratis: mulai dari cara pemilihan, KPUD sebagai Penyelenggara, Lembaga Pengawasannya yang juga berasal dari berbagai unsure. Calon bisa berasal dari mana saja sejauh diusulkan oleh partai politik – baik secara individual maupun gabungan- yang memiliki dukungan suara 15 % dari kursi di lembaga perwakilan rakyat.

Pilkadasung dan Reformasi Birokrasi
Namun, sampai sekarang, kita masih menyaksikan begitu kuatnya pengaruh sistem politik lama dalam kehidupan politik mutakhir, baik pada tingkat nasional maupun regional. Kendati secara kuantitatif kita sudah berhasil menyelenggarakan Pilkadasung di sebagian daerah (lebih dari 200an kabupaten, kota dan provinsi) dan 92% dilakukan tanpa menimbulkan masalah, namun dari sisi kualitatif, masih perlu dicermati betul hasilnya.

Kesadaran untuk mengakui adanya kemajemukan dan apalagi makna kepemimpinan, masih terbatas pada retorika. Power struggle dalam arti sempit – lebih mengandalkan instinct dan nafsu (desire) ketimbang morality – tetap menjadi sumber persolan politik di daerah di era pilkadasung sekarang. Gonjang-ganjing pertikaian politik berlangsung kian terbuka, dan cenderung menggunakan massa. Sesama partai politik muncul pertikaian yang mengarah pada perpecahan. Ironinya, itu lahir dalam sebuah kongres atau muktamar yang semestinya menjadi ajang demokrasi partai yang paling paripurna.  Konsekuensinya, dalam situasi yang “incivility” semacam ini, jangan berharap ada ruang bagi yang lemah sumberdaya politik dan ekonominya untuk dapat ikutserta di dalam proses yang sedang dibangun.  Karena begitu kuatnya budaya politik istana, setiap kekuatan alternatif yang datangnya dari luar, dipandang secara negatif. Siapa pun yang melakukan evaluasi kritis terhadap pusat kekuasaan, akan dituduh sebagai ingin mengganti penguasa.

Ada sejumlah kiat yang ditawarkan Huntington dalam menghadapi ketiga persoalan konsolidasi di atas. Bila kemauan untuk mengadakan perubahan didasari pada pikiran-pikiran yang mendukung prinsip gradual and peaceful changes, maka cara-cara transformasi dan penggantian (transplacement) harus dilakukan. Secara kultural, peran dan teladan pemimpin masih sangat menentukan dalam proses perubahan. Di mana pun, masyarakat kita masih sangat menghargai esensi seorang pemimpin. Pepatah “raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”, nampaknya tetap dapat dijadikan rujukan para pemimpin kita. Kemudian, konsistensi dalam melakukan perubahan juga harus ditunjukkan oleh mereka. Sesuai dengan norma-norma demokratis, transparansi dan kompetensi hendaknya dijadikan pegangan juga di dalam melakukan fungsi yang terakhir ini. Unsur-unsur like – dislike harus dibuang jauh-jauh bila ingin melakukan pembaharuan. Dengan cara ini, political supports dan legitimasi seorang pemimpin akan terus dipertahankan.

Dalam kaitannya dengan Pilkadasung, UU No 32/2004 dan PP No 6/2005 yang mengatur soal Pilkada ini saja tidak cukup operasional. Untuk itu perlu dibuat aturan pelaksanaan yang lebih rinci dan konstekstual, yang mendorong pengutamaan moralitas sebagai pertimbangan utama dalam memilih pemimpin, bukan semata-mata demokrasi prosedural. Peraturan Pemerintah dan Tata Tertib Pemilihan, sangat menentukan pelaksanaan Pilkada yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral di atas. Sejauh mana Perpu No 3/2005 dan PP No 17/2005 yang merupakan perbaikan atas kedua aturan perundangan di atas dapat dijadikan dasar hokum yang lebih demokratis bagi penyelenggaraan Pilkadasung, perlu ditunggu implementasinya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla adalah generasi pemula yang kemunculannya di dasarkan pada paradigma politik baru. Bila sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden RI hanya dipilih oleh segelintir orang, sejak memasuki Pemilu 2004, seluruh rakyat yang memiliki hak pilih diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendukung keduanya. Asumsinya adalah bahwa legitimasi politik Presiden RI sekarang jauh lebih kuat dibandingkan Presiden sebelumnya. Namun pada saat yang sama, optimisme tersebut dengan mudah dipatahkan. Seandainya SBY didukung oleh kekuatan partai politik besar, barangkali memang demikian.

Sayangnya, kedua tokoh yang kemudian memimpin bangsa ini dicalonkan oleh partai kecil Jadi ada defisit dukungan politik, yang pada prakteknya dapat berubah menjadi anomaly politik di sini. Untuk menghilangkan defisit keseimbangan kekuasaan dengan Lembaga Perwakilan Rakyat tersebut, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah memecah Koalisi Kebangsaan yang secara potensial dapat menjadi pengganjal Pemerintah. Dan ini berhasil lewat terpilihnya Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas Golkar Oktober 2004 yang lalu. Bila mungkin, Pemerintah harus dapat memperbesar dukungan di Parlemen dengan “menguasai” tokoh-tokoh partai yang duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Bagaimana fragmentasi pendapat terjadi di antara anggota DPR dalam kaitannya dengan kebijakan pengurangan subsidi harga minyak bumi per 1 Maret 2005 yang lalu, mencerminkan keberhasilan politik kooptasi Pemerintah terhadap sejumlah partai politik di Parlemen. Apakah memang perkembangan politik ini mencerminkan pertarungan nurani atau sekedar kekuasaan politik belaka, tetap menjadi pertanyaan politik.

Setiap partai politik atau gabungan partai politik  yang memiliki kursi 15% di DPRD Provinsi dan Kabupaten serta Kota mempunyai kebebasan untuk menggandeng calon yang diperkirakan layak untuk dipersandingkan dalam pilkada di daerah terkait. Tidak ada jaminan bahwa pasangan calon yang akan muncul sebagai pemenang adalah mereka yang diusung oleh partai politik besar atau terbesar dalam konstelasi politik di suatu daerah.

Masalahnya, pertama, dalam pilkada langsung yang diasumsikan berjalan memenuhi standar “luber” dan “jurdil”, pemilihlah yang secara otonom menentukan kemana suara hendak diberikan. Popularitas pasangan dimata pemilih serta pertimbangan rasional pemilih sangat menentukan hasil pilkada kelak. Kedua, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi korelasi yang amat kuat antara partai politik pengusung dengan pasangan calon yang diusungnya. Hal ini disebabkan kuatnya mesin politik dan jaringan partai dalam mengkampanyekan pasangan yang didukungnya. Ketiga, lemahnya pengawasan di lapangan – baik oleh panwaslu maupun saksi-saksi – akan menimbulkan dampak negatif terhadap hasil pilkada. Artinya, bila praktik pencoblosannya tidak memenuhi kedua prinsip jurdil dan luber, serta proses pencatatannya menyimpang dari ketentuan yang berlaku, hasil pilkada dapat saja berbeda dengan prakiraan awal.

Pada tataran Pemimpin Negara, tingkah laku para pemimpin diharapkan menghargai prinsip-prinsip negara modern. Bila di masa Orde Baru stabilitas dijadikan paradigma dalam memerintah, sekarang kemajemukan dan pelaksanaan check and balances harus dikembangkan di antara ke tiga cabang kekuasaan yang ada: Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.

Hal ini mengandung konsekuensi perlunya membuat sebuah lembaga perwakilan rakyat yang lebih jelas fungsinya. Kecenderungan untuk membentuk sistem Dua Kamar (bicameral) dalam lembaga perwakilan rakyat kita – mewakili suara pemilih dan wilayah – nampaknya semakin mengkristal. Walau akhirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terbentuk, namun tidak mencerminkan sebuah lembaga baru yang setara dengan DPR. Sejauh ini, baru quasy bicameral yang kita terapkan. Sebab, DPD samasekali tidak memiliki kewenangan untuk membuat UU.

Untuk mengurangi kekuasaan Presiden yang kerap kali dipersonalkan, dan tidak dipandang sebagai puncak piramida kekuasaan telah diwujudkan lewat pemilihan presiden secara langsung. Dibandingkan dengan tiga Presiden yang mendahuluinya, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputeri, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memiliki basis dukungan yang jauh lebih kuat. Ia bukan saja dipilih oleh rakyat, melainkan pula mendapatkan kemenangan yang sangat mencolok dari lawannya, Megawati Sukarnoputeri dalam Pemilu 20 September 2004 yang lalu.

Demikian pula dengan pemimpin daerahnya. Sejalan dengan implementasi otonomi daerah, sudah barang tentu akan lebih demokratis bila kepala daerah dipilih rakyat secara langsung, bukan oleh anggota dewan. Selain akan mengurangi peran uang di dalamnya (money politics) secara vulgar, rakyat diajak untuk secara terbuka menentukan pemimpinnya. UUD hasil amandemen pun menentukan sistem pemerintahan yang kita anut selanjutnya, yakni memperkuat sistem Presidensial. Demikian pula halnya dengan bentuk negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti berlaku sekarang telah dijadikan pilihan terakhir.

Pada tataran aktor negara, pemerintah harus sungguh-sungguh melaksanakan “amanat penderitaan rakyat baru”, yakni mengatasi kesulitan ekonomi dan mempercepat pemerataan pendapatan. Reformasi birokrasi mesti dilakukan dengan semangat membangun tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Selain memperhatikan unsure-unsur demokratis di dalamnya, yang juga tidak kalah pentingnya adalah menjadikan birokrasi pemerintah yang kredibel, efisien serta mampu menjalankan programnya (deliverable).

Sementara para anggota lembaga perwakilan rakyatnya harus berpikiran ke depan, tidak hanya membahas persoalan-persoalan politik kekinian (baca: kekuasaan), melainkan mengembangkan fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi dalam arti yang luas. DPRD bukanlah sekedar lembaga pengawasan politik yang ditujukan hanya untuk menekan eksekutif. Siapa pun yang duduk pada posisi yudikatif, sudah sepantasnya untuk secara obyektif dan jujur melakukan terobosan hukum yang mendukung penegakan keadilan dan sistem hukum nasional yang lebih demokratis.

Bagi pemimpin masyarakat, berbagai rekayasa sosial hendaknya ditingkatkan untuk membangun sebuah masyarakat yang lebih mandiri dan tidak tergantung kepada negara. Partai politik dan berbagai Kelompok Penekan, hendaknya dapat menjadi fasilitator bagi pengembangan masyarakat madani.

Partai politik mestinya tidak semata-mata dijadikan medium bagi mobilitas vertikal para aktivisnya, melainkan sungguh-sungguh didorong untuk mengembangkan dua fungsi utamanya: inputs dan outputs. Fungsi inputs berupa: artikulasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi dan pendidikan politik rakyat. Fungsi outputsnya berupa keterlibatan dalam pembuatan keputusan serta pengawasan pelaksanaan kebijakan. Sejauh ini, nampaknya, peran partai politik masih jauh dari fungsi tersebut, dan tertinggal di belakang ketimbang Kelompok Penekan atau pun organisasi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Jujur harus diakui bahwa Revolusi Mei (1998) pun, sebagian besar dipengaruhi oleh maraknya pikiran demokratisasi yang ada di organisasi yang disebutkan belakangan, bukan partai politik.
——
“Pilkada Langsung dan Reformasi Birokrasi Pemerintahan Daerah: Pembangunan Politik Lokal Pasca Orde Baru”.
Oleh: Indria Samego (Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik dan Pemikiran Pembangunan, LIPI.)
Disampaikan pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Negeri Riau, Pekanbaru, 10 Februari 2007.


 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails