Minggu, 11 Desember 2011

Sejarah Perdamaian Aceh - Indonesia

Pemerintah Indonesia
Sejak kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1949 Indonesia masih terus berjuang untuk melepaskan politik dari pengaruh militer dan kecenderungan sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Di bawah pemerintahan dua presiden pertama Indonesia, Soekarno (1945-1967) dan Soeharto (1967-1998), the country menjadi semakin otoriter. Periode Soeharto secara khusus ditandai dengan pemusatan kekuasaan pada eksekutif (dan di ibukota Jakarta), besarnya pengaruh militer dalam politik, dan pembatasan terhadap organisasi-organisasi politik dan kebebasan berekspresi, termasuk pemilihan umum (pemilu)


Reformasi secara luas diperkenalkan di bawah pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999), yang menggantikan Soeharto setelah pengunduran dirinya pada Mei 1998 setelah menghadapi protes masyarakat di tengah krisis keuangan Asia. Di bawah pemerintahan Habibie, berbagai pembatasan terhadap partai politik dihapuskan, pemilihan umum demokratis pertama sejak 1955 dilaksanakan, undang-undang otonomi daerah diperkenalkan, dan Timor Timur diizinkan untuk menyelenggarakan referendum mengenai kemerdekaan. Namun, di bawah pemerintahan yang tidak terlalu efektif dari presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan Megawati Soekarnoputri (2001-2004), transisi Indonesia ke arah politik yang lebih demokratis masih tidak menentu dan inkonsisten. Pensiunan jenderal TNI, Susilo Bambang Yudhoyono, memenangkan pemilihan presiden langsung yang pertama di negeri ini pada September 2004.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Setelah kesuksesan karier militernya, termasuk penugasan di Timor Timur pada tahun 1970an, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu menteri cabinet pada tahun 1999 di bawah pemerintahan Presiden Wahid. Ia kemudian mencalonkan diri menjadi presiden bersama dengan wakilnya Jusuf Kalla pada tahun 2004, mengalahkan Megawati Soekarnoputri di putaran kedua. Latar belakang militer Yudhoyono menyumbangkan legitimasi bagi pernyataannya bahwa konflik di Aceh tidak akan dapat diselesaikan melalui jalur militer semata; pengaruh dan kontak-kontaknya di jajaran militer juga memungkinkannya untuk mengamankan proses perdamaian dari gangguan-gangguan dari dalam tubuh TNI.

Selama karir militernya Yudhoyono dikaitkan dengan faksi pro-reformasi. Meskipun ua diperikan mandate yang kuat untuk memerintah melalui pemilu 2004 partainya, Partai Demokrat, merupakan partai minoritas, menjadikan Yudhoyono tidak hanya rentan terhadap pengaruh wakilnya yang juga merupakan Ketua Partai Golkar, Jusuf Kalla, namun juga terhadap sejumlah partai politik yang memiliki perwakilan besar di parlemen dan cabinet.

Wakil Presiden Jusuf Kalla
Sebagai salah seorang menteri dalam kabinet Presiden Megawati, Jusuf Kalla memfasilitasi perundingan damai di konflik-konflik lokal di Maluku dan daerah asalnya Sulawesi. Setelah terpilih sebagai wakil presiden ia juga terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar, partai terbesar dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Ini memberikan posisi yang kuat bagi Kalla untuk membujuk partai-partai politik nasional lainnya untuk menyetujui inisiatif Helsinki. Kalla berupaya meletakkan dasar bagi legalisasi partai politik lokal di Aceh, dalam rangka memberikan saluran yang sah dan damai bagi institusionalisasi aspirasi rakyat Aceh. Namun, sinergi yang tampak dalam hubungan Kalla-Yudhoyono selama proses Helsinki sejak awal dibayangi oleh spekulasi tentang persaingan di antara dua sosok ini.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Menurut konstitusi, MPR adalah lembaga tertinggi negara memiliki fungsi-fungsi termasuk menentukan kebijakan negara dan mengubah Undang-undang Dasar, dan sampai tahun 2004, ketuka pemilihan presiden langsung diperkenalkan, memilih presiden dan wakil presiden. Majelis ini beranggotakan 695 orang, termasung 550 yang juga merupakan anggota DPR dan 130 perwakilan daerah yang dipilih oleh legislatif dari 26 provinsi dan sampai tahun 2004, 65 orang anggota yang ditunjuk dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk militer dan kepolisian Indonesia. Pada tahun 2004, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk; anggota DPD dipilih melalui sistem pemilihan tunggal dan tidak dapat dialihkan yang mengalokasikan empat orang perwakilan dari masing-masing provinsi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan institusi legislative utama, terdiri dari 550 anggota yang dipilih melalui sistem perwakilan proporsional terbuka. Sampai tahun 2004 DPR juga terdiri dari 38 orang anggota yang ditunjuk dari militer dan kepolisian Indonesia, sebuah ketentuan yang berakhir dengan adanya pemilu parlemen tahun 2004. Meskipun presiden masih merupakan kekuatan yang menentukan dalam perpolitikan Indonesia, salah satu aspek dari era Reformasi sejak tahun 1998 adalah penguatan lembaga legislative, dengan DPR saat ini menjadi aktor yang memiliki kekuasaan untuk mengawasi keputusan eksekutif dan mengajukan perundang-undangan.

Kekuatan Keamanan Pemerintah
The Indonesian military (Tentara Nasional Indonesia(TNI)
Militer Indonesia merupakan kekuatan utama dalam perpolitikan Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, ia sendiri adalah seorang jenderal. Sebelumnya dikenal dengan singkatan ABRI, melalui keberadaannya TNI telah diterjunkan untuk berbagai operasi kemanan internal dan anti-pemberontakan daripada pertahanan terhadap ancaman eksternal. Pejabat-pejabat militer memainkan peran penting dalam politik sejak kemerdekaan sampai pada tahun 2004 TNI (dengan Kepolisian Republik Indonesia) diwakili tidak hanya di DPR namun juga di legislatif daerah di seluruh Indonesia. Berbagai pembatasan terhadap posisi-posisi di dalam pemerintahan lokal bagi pejabat karya juga dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh militer dalam pemerintahan daerah. Di bawah reformasi, pejabat karya tidak lagi ditunjuk untuk mengisi posisi-posisi penting di dalam birokrasi sipil. Reformasi di beberapa aspek, seperti pendanaan militer, tidak terlalu berhasil, dan tidak terlalu banyak kemajuan dalam mengakhiri impunitas bagi pejabat-pejabat militer yang disangka melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Sampai pada tahun 1999 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan bagian dari TNI; pemisahan Polri secara resmi dilakukan pada Juli 2000. Kekuatan Polri banyak diterjunkan untuk peran-peran paramiliter, seringkali (seperti dalam kasus Aceh) dalam operasi-operasi gabungan TNI-Polri. Brigade Mobil (Brimob) adalah pasukan operasi khusus milik Polri, awalnya didirikan pada tahun 1945 untuk melucuti senjata tentara Jepang dan kemudian menjalankan fungsi-fungsi paramiliter.


Dengan pengurangan secara substansial dalam hal pendanaan (dilaporkan mencapai 75%) TNI terlibat secara luas dalam berbagai aktivitas bisnis dalam rangka membiayai institusi ini. Perusahaan-perusahaan asing yang memiliki profit yang besar, seperti ExxonMobil di Lhokseumawe, Aceh, masuk ke dalam wilayah ‘kebijakan perlindungan’ TNI. Melimpahnya sumber daya alam di Aceh juga menarik keterlibatan illegal TNI dalam bidang perikanan, pembalakan, lalu lintas obat-obat terlangan, kopi, minyak kelapa sawit, dan perdagangan hewan liar. Kepentingan finansial seperti ini dipercayai signifikan dalam memperkuat keengganan TNI untuk menarik diri dari Aceh.

Berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan yang dilakukan oleh TNI tercatat selama periode ini, terutama selama berbagai operasi di Timor Timur, Aceh, Papua, dan operasi menumpas gerakan komunis di tahun 1960an. Operasi anti-pemberontakan di Aceh dengan target rakyat sipil dan gerilyawan GAM, berakibat pada banyaknya korban yang jatuh di pihak sipil.

Partai-partai Politik
Selama masa pemerintahan Soeharto sampai sistem multipartai murni diperkenalkan pada tahun 1999, hanya ada tiga partai politik yang diakui di Indonesia, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan dari beberapa partai-partai Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan gabungan dari partai-partai nasionalis dan Kristen, dan Golkar, partai pemerintah di bawah Soeharto, yang didominasi fungsionaris pemerintahan dan personil militer. Sejak tahun 1999 arena partai politik telah lebih terfragmentasi, dengan adanya 17 partai yang memiliki wakil di DPR melalui Pemilu Legislatif tahun 2004 dan tujuh di antaranya masuk dalam kategori ‘partai besar’ yang mendapatkan suara lebih dari 5%. Partai-partai besar lainnya adalah partai-partai yang berorientasi Islam yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan partainya Presiden Yudhoyono, yaitu Partai Demokrat

Para pemimpin Golkar, banyak dari mereka yang disangka melakukan korupsi, mendominasi pemerintahan provinsi Aceh sebelum ditandatanganinya undang-undang otonomi khusus oleh DPR pada tahun 2001. Ketua Golkar Abdullah Puteh terpilih sebagai gubernur pada bulan November 2000 oleh DPRD Aceh namun pada tahun 2005 dipecat dan dipenjara dengan tuduhan melakukan korupsi. Partai Persatuan Pembangunan juga memiliki pendukung yang signifikan di Aceh. Dengan dimungkinkannya partai politik lokal di Aceh, Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki menghapuskan pelarangan terhadap partai lokal atau daerah di Indonesia.

Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Struktur pemerintah lokal Aceh sama seperti provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, terdiri dari seorang gubernur dan wakil gubernur yang dipilih langsung sejak tahun 2006. Provinsi ini terbagi menjadi 23 kabupaten dan kota. Pemerintahan lokal Aceh sempat dikenal sebagai salah satu yang paling korup di negeri ini, mendorong gerakan anti-korupsi di bawah Presiden Yudhoyono dan pemecatan Gubernur Abdullah Puteh. Pada Desember 2006 mantan anggota GAM Irwandi Yusuf memenangkan pemilihan gubernur Aceh.
Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki membuka ruang bagi pemerintahan sendiri yang lebih luas bagi Aceh relative terhadap provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, memberikan otoritas bagi pemerintah Aceh atas semua bidang kecuali hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan nasional, kebijakan moneter dan fiskal, hukum dan kebebasan beragama (meskipun kenyataannya ketentuan ini identik dengan apa yang terdapat di dalam undang-undang otonomi yang berlaku di seluruh wilayah di Indonesia). Namun, Undang-undang Pemerintahan Aceh mengaburkan ketentuan-ketentuan ini dan melemahkan otoritas yang diamanahkan kepada struktur pemerintahan lokal.

Milisi Pro-pemerintah
Sejumlah kelompok pembela diri dan milisi pro-pemerintah, yang direkrut, didukung, dan dipersenjatai oleh militer Indonesia, aktif di Aceh. Aktivitas mereka meningkat pasca-penerapan darurat militer di Aceh pada Mei 2003. Delapan belas ‘front anti-GAM’ terbentuk antara periode Desember 2003 hingga Maret 2004 di bawah paying Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG); front-front ini berfungsi untuk membantu intelijen untuk komando lokal TNI. Milisi-milisi pro-pemerintah juga bertanggung jawab atas tiga penyerangan terhadap kantor Komite Keamanan Bersama yang bertugas untuk mengawasi Perjanjian Penghentian Permusuhan (CoHA)

Gerakan Aceh Merdeka, (GAM)
GAM didirikan pada 4 Desember 1976 dan awalnya dikenal dengan Acheh-Sumatra National Liberation Front (Front Nasional Pembebasan Acheh-Sumatra/ASNLF). Pendiri GAM adalah Tengku Hasan Muhammad di Tiro (secara luas dikenal sebagai Hasan di Tiro), berasal dari keluarga ulama ternama di Kabupaten Pidie dan terlibat dalam revolusi nasional Indonesia di daerah ini. Pada awal 1950an Hasan di Tiro pindah ke Amerika Serikat di mana ia kemudian menjadi mahasiswa, pembela internasional untuk pemberontakan Darul Islam dan juga seorang pengusaha. Agenda perjuangan GAM berbeda dari tuntutan yang lebih religius pemberontakan Darul Islam dengan secara eksplisit merangkul ideology nasionalis yang bertujuan untuk kemerdekaan yang berdaulat.

Operasi untuk menumpas pemberontakan yang dilancarkan oleh militer segera mengakhiri usaha pertama GAM untuk memulai pemberontakan pro-kemerdekaan. Pada tahun 1979 Hasan di Tiro terpaksa melarikan diri dari Indonesia. Hasan di Tiro akhirnya tiba di Swedia di mana ia membentuk pemerintahan dalam pengasingan (GAM Swedia) menempatkan dirinya sebagai ‘kepala negara’. Dengan dukungan dari Libya, GAM berhasil untuk kembali berkumpul pada akhir 1980an dan memulai kembali pemberontakannya di Aceh, menimbulkan respons militer untuk jangk waktu yang panjang dengan kekerasan dan represi pada awal 1990an.

Selama masa konflik, GAM memalui sayap militernya (dikenal sejak tahun 2002 sebagai Tentara Nasional Aceh/TNA), menggunakan taktik strategi gerilya kota dan hutan untuk menyerang berbagai posisi TNI dan Brimob. GAM menerapkan struktur yang membagi Aceh ke dalam 17 wilayah, yang masing-masing memiliki komandan lokal yang memiliki kontak langsung dengan GAM Swedia. GAM juga dikritik atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penculikan terhadap rakyat sipil, pengeboman tanpa pandang bulu, terutama sekolah-sekolaj, dan perlakuan terhadap migran Jawa di Aceh. GAM juga menangani dengan kejam penentangan internal, menghancurkan tantangan internal di selatan Aceh pada tahun 2001. Namun, para pendukung GAM membantah dengan menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh GAM jauh tidak signifikan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh TNI, dan bahwa perlakuan terhadap etnis Jawa didorong oleh keterlibatan kelompok ini dalam milisi pro-pemerintah.

GAM memasuki perundingan dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2000 dalm perundingan yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue (HDC). Kegagalan perundingan ini dan kemudian Kesepakatan Penghentian Permusuhan mengarah pada munculnya kembali permusuhan yang secara serius melemahkan kapasitas militer GAM. Ketika tsunami menghantam Aceh pada akhir 2004 GAM berada dalam posisi bertahan. Pasca-tsunami GAM menyatakan gencatan senjata secara sepihak dan organisasi ini kemudian menghentikan penggunaan kekerasan sebagai bagian dari Nota Kesepahaman (MoU) Agustus 2005 dengan Pemerintah. Malik Mahmud, ‘Perdana Menteri’ GAM, memimpin tim perunding GAM. GAM selanjutnya dihadapkan dengan keharusan baru: pembentukan struktur yang efektif untuk terlibat di dalam perpolitikan sipil dan reintegrasi pejuang GAM ke dalam kehidupan sipil. Untuk menanggapi tantangan ini GAM membentuk struktur-struktur baru, yang paling menonjol adalah Komite Peralihan Aceh (KPA), yang dirancang untuk mengoordinasikan aktivitas mantan kombatan TNA. KPA merupakan instrument untuk memobilisasi dukungan untuk mantan anggota GAM yang bersaing dalam pemilu-pemilu lokal tahun 2006, terutama di daerah-daerah pedesaan.

Keretakan mulai muncul di dalam tubuh GAM terkait strategi pemilu dan isu-isu terkait lainnya menjelang pemilu. Sebagian pemimpin senior yang berbasis di Swedia dan para pendukung mereka mengesampingkan para pemimpin dari generasi muda di Aceh, terutama mereka yang ada di dalam KPA. Transformasi GAM menjadi kekuatan politik sipil dengan bersaing dalam proses politik in terlihat cukup berhasil dengan penampilan yang menonjol dari para mantan anggota GAM atau calon-calon dalam berbagai pemilu lokal tahun 2006. Sampai akhir 2007 hampir setengah wilayah Aceh di tingkat kabupaten dipimpin oleh individu-individu yang berafilasi dengan GAM. Namun, meskipun gubernur dan mantan anggota GAM, Irwandi Yusuf, masih popular dan bebas dari keterkaitan dengan korupsi, citra pergerakan ini secara keseluruhan mulai menurun akibat dari berbagai skandal korupsi, meningkatnya angka kriminalitas, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi terkait proses reintegrasi dan penyediaan lapangan kerja bagi para mantan anggota GAM.

Irwandi Yusuf
Lahir di Aceh pada tahun 1960, Irwandi Yusuf bergabung dengan GAM pada 1990. Ketika menempuh studi di bidang ilmu kedokteran hewan di Amerika Serikat pada 1993 ia mengaku pergi ke Amerika Latin untuk dilatih perang gerilya. Sekembalinya ke Aceh ia menjadi ahli strategi dan propaganda GAM. Tertangkap pada tahun 2003 dan dihukum tujuh tahun penjara di Banda Aceh, Irwandi berhasil melarikan diri ketika penjaranya terkena tsunami tahun 2004. Meninggalkan agendanya terdahulu yang pro-kemerdekaan, Irwandi mencalonkan diri sebagai gubernur dalam pemilu 2006 sebagai calon independent dan menang dengan 38 persen suara.
Aktor Masyarakat Sipil
Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dipimpin oleh Muhammad Nazar, didirikan pada 1999. SIRA dibentuk dari koalisi organisasi mahasiswa yang menuntut hak masyarakat Aceh untuk mengadakan referendum untuk memilih apakah tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka. SIRA memainkan peran yang signifikan dalam mendukung Irwandi Yusuf dan kandidat-kandidat lainnya yang berafiliasi dengan GAM dalam pemilu 2006. Didirikan pada tahun 2989 Flower Aceh adalah organisasi perempuan Aceh pertama yang memperjuangkan hak-hak perempuan dalam konteks konflik. Organisasi ini bekerja dengan wanita-wanita pengungsi dan terlibat dalam advokasi terkait kekerasan gender oleh negara maupun aktor-aktor non-negara. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh merupakan dua organisasi hak asasi manusia yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh semua pihak di dalam konflik.

Mekanisme Pemantauan
Komite Keamanan Bersama (JSC) awalnya dibentuk di bawah paying Kesepakatan Bersama untuk Jeda Kemanusiaan di Aceh bulan Mei 2000. Badan ini diaktifkan kembali pada 20 Desember 2002 dalam kerangka Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) untuk memantau pelaksanaan perjanjian ini dan menginvestigasi berbagai pelanggaran. Badan ini memiliki 150 tim pemantau yang terdiri dari unsur-unsur TNI, GAM dan tim internasional yang terutama berasal dari tentara Thailand dan Filipina.

Misi pemantau internasional ditarik setelah serentetan serangan terhadap kantor-kantor JSC oleh milisi pro-pemerintah yang didukung oleh TNI. Misi Pemantau Aceh (AMM) dibentuk dan didanai oleh Uni Eropa melalui Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Eropa, bekerja sama dengan lima negara anggota ASEAN. Tim ini diterjunkan pada September 2005 dengan mandat selama enam bulan untuk memantau segala aspek dalam Perjanjian Damai Helsinki, termasuk pemusnahan senjata, relokasi militer ‘non-organik’, reintegrasi anggota GAM yang telah didemobilisasi, perubahan-perubahan peraturan, dan situasi hak asasi manusia. AMM juga diberi mandat untuk memediasi berbagai sengketa terkat amnesti dan mengatur berbagai keluhan terkait pelanggaran terhadap perjanjian Helsinki. Misi ini merupakan misi pemantau Uni Eropa pertama di Aceh dan terdiri dari 226 tim pemantau yang berasal dari Uni Eropa, Norwegia, Swiss, dan lima negara anggota ASEAN (Thailand, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Singapura), yang diterjunkan ke 11 kantor. Tim pemantau ini dianggap secara luas mampu menegakkan kesepakatan damai secara efektif dan menjaga reputasi netralitas, meskipun tim ini lemah dalam hal sumber daya untuk menginvestigasi berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Pada bulan Maret 2006 mandat AMM diperbaharui namun dengan jumlah tim yang dikurangi, dan kemudian berakhir setelah pemilu lokal di Aceh bulan Desember.
Badan Reintegrasi Aceh (BRA)
Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk pada bulan Februari 2006 dengan tujuan untuk menyalurkan dana untuk program-program yang membuka mata pencaharian bagi mantan anggota GAM yang usulannya disampaikan oleh Komite Peralihan Aceh (KPA). Dana BRA juga disalurkan untuk mantan anggota milisi pro-pemerintah dan anggota GAM yang telah menyerahkan diri sebelum Nota Kesepahamaman (MoU) Helsinki. Upaya reintegrasi memiliki kelemahan akibat dari ketiadaan mekanisme akuntabilitas dan evaluasi, inefisiensi dan definisi BRA yang sangat luas dari target penerima bantuan. KPA memiliki kekuasaan dan jaringan patronase yang signifikan melalui kontrol atas proses pengajuan nama-nama penerima bantuan ke BRA, dan pada 4 April 2007 Gubernur Irwandi menunjuk Nur Djuli, mantan juru runding GAM, sebagai Ketua BRA yang baru. Meskipun Nur Djuli kemudian melakukan reorganisasi BRA, masih terdapat berbagai persoalan terkait dengan jangka waktu penyaluran dana dari Jakarta dan distribusi di tingkat daerah.

Aktor Internasional
Crisis Management Initiative
Crisis Management Initiative (CMI) didirikan pada tahun 2000 oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari sebagai sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang bergerak di bidang advokasi untuk keamanan yang berkelanjutan dan berbagai dimensi lainnya dari resolusi konflik.
CMI diminta untuk memfasilitasi perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM melalui kontak personal antara Farid Husain, Deputi Menteri Kesejahteraan Sosial dan pengusaha Finlandia, Juha Christensen. Perundingan dimulai setelah tsunami Desember 2004 dan menghasilkan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada Agustus 2005

Martti Ahtisaari
Martti Ahtisaari mulai bekerja untuk Kementerian Luar Negeri Finlandia pada akhir 1960an. Pertama kali ditempatkan sebagai duta besar untuk Tanzania pada awal 1970an, ia kemudian memainkan peran penting dalam transisi Namibia menuju kemerdekaan pada tahun 1990. Ahtisari terpilih sebagai Presiden Finlandia pada tahun 1994. Keterlibatannya dalam menyelesaikan sejumlah konflik, di antaranya membujuk Slobodan Milosevic untuk menarik pasukannya dari Kosovo tahun 2000, memberikan Ahtisaari reputasi yang baik sebagai mediator internasional dan pada akhir masa kepresidenannya ia mendirikan Crisis Management Initiative. Ia pertama kali bertemu dengan Farid Husain pada Februari 2004 dan mempersiapkan untuk mengundang perwakilan dari Pemerintah Indonesia dan GAM ke Finlandia ketika tsunami melanda Aceh.

Henry Dunant Centre/Centre for Humanitarian Dialogue
The Centre for Humanitarian Dialogue (masih digunakan di Indonesia dengan nama aslinya, the Henry Dunant Centre (HDC)) merupakan yayasan yang berbasis di Jenewa yang didirikan pada tahun 1999 untuk menyediakan bantuan fasilitasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. HDC mulai melakukan mediasi antara GAM dan Pemerintah Indonesia pada tahun 2000, pasca-kejatuhan Soeharto dan ketika militer Indonesia sedang dalam keadaan kacau dan kesempatan bagi perdamaian di Aceh meningkat. Perundingan ini menghasilkan Kesepahaman Bersama tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh (Joint Understanding on a Humanitarian Pause for Aceh) pada bulan Mei 2000 dan kemudian Perjanjian Penghentian Permusuhan

(Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)) pada Desember 2002, yang merupakan sebuah kesepakatan tentang kerangka kerja menuju perjanjian damai yang menyeluruh. Perundingan yang difasilitasi oleh HDC ini mengalami kebuntuan pada April 2003 setelah kegagalan dalam proses demiliterisasi yang diamanatkan oleh CoHA.

Badan-badan Pembangunan dan Rekonstruksi
Organisasi Migrasi Internasional (International Organization for Migration/IOM) memainkan peran yang penting secara khusus di awal-awal proses perdamaian, memastikan bahwa dukungan reintegrasi tersedia bagi para mantan kombatan dan tahanan. IOM mendukung berbagai program reintegrasi eks-kombatan GAM, pembebasan dan reintegrasi tahanan politik yang mendapatkan amnesti dan program-program untuk masyarakat. Program-program ini dikelola melalui sebuah jaringan dari sembilan kantor Pelayanan Informasi, Konseling, dan Pengarahan di Aceh yang disponsori oleh IOM. Kantor-kantor ini terus menyediakan dukungan mata pencaharian bagi kelompok pemuda yang menganggur di wilayah-wilayah sensitif konflik dan dataran tinggi tengah.

Bank Dunia (World Bank/WB) telah melakukan program-program pembangunan di Indonesia pada tahun 1998. Setelah tsunami Bank Dunia merangkul 15 donor bersama ke dalam wadah Multi-Donor Fund untuk Rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara (MDF), yang diketuai oleh Bank Dunia sendiri bersama dengan Uni Eropa dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (BRR). Bank Dunia juga telah terlibat dalam mendukung program-program yang memberikan perhatian pada—dari sekian banyak isu—dukungan kesehatan, reintegrasi dan pemulihan pasca-penyelesaian melalui asistensi kepada Badan Reintegrasi Aceh dan pemberdayaan perempuan. Bank Dunia akan menginisiasi lebih lanjut MDF kedua untuk pemulihan pasca-penyelesaian.

Pada bulan Agustus 2005 Bank Dunia juga meluncurkan proyek Rekonstruksi Sistem Administrasi Agraria Aceh (RALAS) yang bertujuan untuk membentuk kembali kepemilikan tanah di berbagai wilayah yang hancur oleh tsunami sebagai pendahuluan bagi rekonstruksi properti. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan NGOs lokal mengelola proyek ini, menimbulkan sengketa terkait cara yang paling pantas untuk secara sistematis menentukan kepemilikan tanah di mana banyak tanah yang belum memiliki sertifikat sebelum tsunami atau dimiliki secara bersama. Para NGOs lebih memilih sistem partisipatif yang memungkinkan adanya penentuan secara kolektif dalam hal perbatasan yang bersengketa dan konsolidasi berbagai plot, sementara BPN lebih berorientasi pada identifikasi hak atas tanah sebelum tsunami. Status tanah yang sebelumnya dimiliki secara bersama masih menjadi sumber potensial bagi konflik di masa yang akan datang.

Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP) bertanggung jawab dalam mengimplementasikan sejumlah 33 proyek secara keseluruhan di Indonesia, berorientasi pada lima dasar tematik di mana rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh adalah salah satunya. UNDP terlibat dalam implementasi Aceh Justice Project (Proyek Keadilan Aceh), sebuah inisiatif dalam tema Dukungan Proses Perdamaian Aceh Uni Eropa. Salah satu komponen dari proyek ini adalah program dua tahun untuk peningkatan kapasitas peradilan di Aceh, diluncurkan pada Februari 2008 dan diimplementasikan berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Korporasi Internasional
ExxonMobil merupakan perusahaan hasil merger antara perusahaan gas dan minyak bumi Exxon dan Mobil pada bulan November 1999. ExxonMobil Oil Indonesia adalah subsidiari dari ExxonMobil yang dalam inkarnasi sebelumnya adalah Mobil Oil Indonesia (MOI) yang mulai beroperasi di Indonesia pada akhir 1960an. Pada tahun 1971 MOI menemukan salah satu cadangan gas alam terbesar di dunia di utara Aceh, yang kemudian diikuti dengan pembangunan fasilitas ekstraksi besar-besaran di area tersebut, yang dikenal sebagai Lhokseumawe. Pada tahun 2002 fasilitas ExxonMobil di Lhokseumawe mempekerjakan kurang lebih 2000 masyarakat setempat; operasi di Lhokseumawe ini menyumbang jumlah yang signifikan pada pendapatan global Mobil Oil (dilaporkan sebesar 25 persen dan sekitar 20 persen dari ekspor luar negeri Indonesia.

Pada bulan Juni 2001, sebelas orang Indonesia, melalui Dana Hak Buruh International (International Labor Rights Fund), mengajukan tuntutan hukum terhadap ExxonMobil atas tuduhan pembunuhan, penyiksaan, kekerasan seksual, penculikan, dan pelanggaran lainnya yang diduga dilakukan oleh staf keamanan yang dipekerjakan oleh ExxonMobil berasal dari anggota TNI.

Aktor Multilateral
Hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa (EU) dimulai sejak era 1970an. Uni Eropa telah menyediakan beberapa bentuk dukungan terhadap proses perdamaian di Aceh melalui Mekanisme Reaksi Segera Uni Eropa (EU RRM, digantikan oleh Instrumen Stabilitas pada 2007), juga merupakan donor penting dalam proses pemulihan dan rekonstruksi pasca-tsunami. Dukungan Uni Eropa terhadap proses perdamaian terdiri dari lima bentuk: mendanai upaya mediasi Crisis Management Initiative (CMI), mendanai dan menerjunkan Misi Pemantau Aceh (AMM), pengadaan misi pemantau pemilu untuk pemilu lokal pada 11 Desember 2006, asistensi untuk reintegrasi eks-kombatan GAM dan paket dukungan untuk mendukung penegakan hukum dan demokrasi di Aceh.

Sejak 2005, Komisi Uni Eropa telah berkomitmen menyalurkan ?285 juta untuk upaya pemulihan pasca-tsunami di Aceh, dukungan ini disalurkan melalui Multi-Donor Fund (MDF) untuk rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara. Sejak tsunami EU juga telah mendirikan ‘Rumah Eropa’ (Europe House) sebagai perwakilan resmi EU di Aceh.

Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) didirikan pada tahun 1967 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas regional, dan Indonesia merupakan salah satu negara pendiri. Anggota-anggota ASEAN memegang prinsip non-inteference (tidak campur tangan) dalam urusan dalam negeri negara lain dan hanya akan melakukan intervensi jika diminta. Sejak dari Mei 2003 berbagai organisasi hak asasi manusia internasional mencatat perlakuan semena-mena dan deportasi dari Malaysia terhadap pengungsi dan pencari suaka Aceh yang melarikan diri pada saat operasi militer di Aceh; pemerintah Malaysia mengklaim bahwa mereka adalah imigran ilegal. Anggota-anggota ASEAN menyediakan personil militer untuk bergabung dalam Komite Keamanan Bersama (JSC) dengan tugas untuk memantau implementasi Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA), dan kemudian dalam Misi Pemantau Aceh untuk memantau penerapan MoU Helsinki. Anggota ASEAN juga menyediakan tim pemantau untuk mengawasi pelaksanaan pemilu lokal pada Desember 2006, dan juga bantuan pemulihan dan rekonstruksi pasca-tsunami.

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails