BANDA ACEH - Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan [KontraS] mendukung dan menyambut baik keputusan Pengadilan Federal Amerika yang memperbolehkan 11 keluarga korban konflik Aceh menuntut perusahaan gas Amerika Exxon Mobil Oil atas pembuhuhan yang dilakukan anggota TNI yang bertugas mengawal aset perusahaan itu di Aceh.
"Keputusan ini ibarat memberikan harapan buat korban pelanggaran HAM di Aceh untuk mendapatkan keadilan," kata Koordinator Eksekutif Nasional KontraS, Haris Azhar, dalam siaran persnya, Rabu [13/7].
Gugatan ini berawal dari 11 warga Aceh yang melakukan gugatan dengan didampingi oleh International Labor Rights Fund di Pengadilan Federal Distrik Columbia. Mereka menuntut untuk memperoleh kompensasi atas kelalaian, penganiayaan, dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan sejumlah anggota TNI yang mendapat bayaran atau dukungan dana dari Exxon Mobil.
Menurut Azhar, dalam konteks hak asasi manusia, gugatan itu merupakan bukti bekerjanya prinsip penegakan HAM tanpa melihat batas negara atau Universal Jurisdiction. Prinsip ini membenarkan otoritas nasional manapun dan kapanpun, untuk melakukan penghukuman atas kejahatan HAM.
"Dalam banyak kasus dan situasi, gugatan seperti ini merupakan bagian dari upaya memerangi ketiadaan penegakan hukum [Impunitas] ditempat yang seharusnya," katanya.
Gugatan ini, kata Azhar, juga menjadi pengisi kekosongan sikap Indonesia dan pengabaikan politik pemerintah Indonesia terhadap penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dia mengatakan, Pemerintah Indonesia memiliki jejak rekam yang sangat buruk dalam hal pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat
"Sampai dengan hari ini, tidak ada satupun upaya pertanggungjawaban yang dilakukan pemerintah untuk penyelesaian kasus–kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi. Padahal dengan jelas dan tegas Memorandum of Understanding [MoU] Helsinki memandatkan pembentukan pengadilan HAM untuk Aceh dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," ujarnya.
Untuk itu Kontras menghimbau agar pemerintah serius memanfaatkan momentum itu untuk memperbaiki kapasitasnya dalam penegakan HAM masa lalu di Aceh. "Perlu diingat bahwa pertanggungjawaban atas kejahatan serius tidak mengenal batas teritori dan batas kadaluwarsa," katanya.|AT/Atjehpost.com