Waspadai Mewabahnya Paham Pluralisme Agama di Aceh !
Salah satu wacana yang layak mendapat perhatian khusus adalah diskursus tentang kehidupan sosial baru Aceh yang terbuka dan modern, terdiri atas masyarakat dan kondisi plural. Memang tidak masalah bila wacana yang dikembangkan hanya sebatas pengkondisian ke-plural-an kehidupan di Aceh karena memang sejak dahulu masyarakat kita adalah masyarakat terbuka yang dapat mengakomodir berbagai keragaman budaya dan agama.
Akan tetapi adanya sejumlah forum seperti Seminar, Workshop, dan Lokakarya yang diselenggarakan untuk membahas persoalan agama di Aceh seharusnya mendapat perhatian serius dari kita, jangan sampai persoalan yang kelihatan sepele ternyata menjadi begitu berbahaya karena di biarkan sejak ia masih Embrio. Bagaimanapun, di akui atau tidak perang pemikiran (ghazwul fikri) dampaknya akan jauh lebih berbahaya dari pada perang dalam arti sebenarnya. Ingatan terhadap politik Snock begitu membekas di dalam masyarakat Aceh dan memberikan dampak yang begitu besar dalam sejarahnya, tentunya kita tidak menginginkan ini terulang untuk kesekian kalinya.
Pasca Tsunami Aceh dapat dikatakan telah berubah menjadi kampung global, sehingga kita tidak dapat menghindari lagi adanya berbagai hal baru untuk ikut masuk kedalamnya termasuk juga konsep pemikiran. Terbukanya akses kepada dunia luar meniscayakan terjadinya transformasi kebiasaan baru baik berupa teknis maupun pemikiran secara besar-besaran mengingat pihak-pihak yang terlibat dalam masa rekonstruksi pasti membawa misi masing-masing.
Di sadari atau tidak memisahkan kaum muslimin (khususnya Aceh) secara frontal dengan fanatisme keagamaan mereka merupakan hal yang berat; sehingga satu-satunya jalan yang paling logis adalah memisahkannya secara bertahap, yaitu dengan jalan membuat keraguan atas sejumlah landasan dan sumber hukum yang menjadi patokannya. Seperti dalam contoh kasus kampanye global (barat) terhadap pengadopsian paham pluralisme agama.
Yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatife; oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. (Fatwa MUI Thn. 2005).
Bila merujuk pada definisi tersebut, secara jujur kita akan mengakui bahwa ide apapun yang nantinya akan dibangun diatas landasan pemikiran seperti itu tentu mempunyai makna yang sangat absurd, bagaimana mungkin sebuah agama bisa disamakan sampai pada wilayah implementasi sekalipun dan hanya dikecualikan untuk persoalan ibadah. Padahal rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurayrah, pernah bersabda:
Demi zat yang jiwa Muhammad ada ditangannya, tidaklah seorang dari ummat ini yang mendengar (agama)-ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum mengimani apa saja yang dengannya aku diutus, kecuali dia termasuk penghuni neraka. (HR Muslim)
Mengacu pada dalil diatas dapat disimpulkan bahwa Islam tidak bisa menerima konsep pluralisme agama, terlebih lagi secara teologis Islam tidak hanya mengajarkan ibadah spiritual saja tapi juga masuk ke persoalan-persoalan lain seperti politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Ini tentu berbeda dengan agama lain yang hanya mengajarkan kepasrahan kepada tuhan melaui ritual-ritual yang hanya sekedar seremonial.
Pluralisme agama (paham yang meyakini semua agama sama) yang dikembangkan di Indonesia (khususnya di Aceh) oleh kelompok-kelompok tertentu sebenarnya lahir dari rahim para teolog barat di sebabkan kekecewaannya terhadap konsep Kristen yang tidak rasional, sehingga mereka merasa perlu menyingkirkan agama dari ruang publik. Keadaan ini tentunya tidak akan bisa di lepaskan dari pengalaman sejarah kegelapan Eropa, dimana pada saat itu kaum agamawan berkomplot dengan kaum bangsawan menindas rakyat atas nama tuhan.
Kemudian pemahaman ini seperti dipaksakan kepada kaum muslimin seiring dengan kuatnya Hegemoni Barat atas dunia Islam, padahal tanpa disadari sebenarnya telah terjadi kekeliruan besar dalam proses analisa fakta mengingat perbedaan mencolok dari sisi pengalaman historis dan empiris antara kaum muslimin dengan kaum Kristen Eropa.
Konsep pluralisme agama ini ini telah berkembang pesat di negara-negara yang menerapkan sistem Demokrasi-Sekuler dan telah diyakini sebagai satu-satunya standar hidup hingga menjelma menjadi semacam agama baru yang biasa disebut dengan istilah Civil Religion. Jadi, tidak mengherankan apabila ada yang berpandangan di luar frame (barat) ini akan serta merta dikategorikan sebagai kaum eksklusif yang bercorak fundamentalis.
Pluralisme ini sebenarnya telah menjadi agenda global untuk dihidupkan khususnya di negeri-negeri muslim. Para pengusungnya mengeluarkan dana yang sangat besar untuk itu. The Asia Foundation, LSM yang bermarkas di San Fransisco, merupakan lembaga Internasional yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberaslime, sekularisme, dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang diseluruh Asia. Pada tahun 2003 kemarin, the Asia Foundation mengucurkan bantuan sebesar 44 juta dolar AS serta mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya mencapai 28 juta dolar AS di seluruh wilayah Asia.
Pluralisme merupakan agenda yang sangat berbahaya bagi umat islam, diantaranya karena:
Pertama, pluralisme akan menciptakan generasi muslim yang lemah dalam memegang ajaran Islam. mereka akan sangat mudah untuk melanggar syariat Allah karena kebenaran telah direlatifkan. Tidak ada lagi nilai-nilai agama yang akan menjadi sandaran dalam berbagai aktifitasnya, yang ada tinggal nilai-nilai universal versi liberalisme seperti kebebasan berekspresi, HAM, dan sebagainya. Bahkan penyimpangan dari islam bisa saja kemudian dianggap sah dengan alasan HAM.
Kedua, pluralisme akan menciptakan generasi muslim (khususnya Aceh) yang tidak perduli, apakah sistem kehidupan ini sesuai dengan Islam atau tidak. Hilanglah kepekaan mereka untuk melakukan kontrol terhadap berbagai persoalan dari sudut pandang Islam, bahkan aktifitas dakwah pun akan ditinggalkan karena tidak relevan lagi ketika kebenaran Islam sudah dianggap sama dengan agama atau paham apapun.
Sudah sepatutnya kita waspada terhadap upaya-upaya pengrusakan atau pendangkalan aqidah baik berkedok pendidikan maupun penyadaran, karena tidak kasat mata dan berjalan pada tataran pemikiran. Kita tentu sangat mengharapkan Aceh kedepan adalah Aceh yang memiliki peradaban tinggi dengan berlandaskan pada Pusaka Indatu yang tidak lain adalah terwujudnya Islam kaffah.
Salah satu wacana yang layak mendapat perhatian khusus adalah diskursus tentang kehidupan sosial baru Aceh yang terbuka dan modern, terdiri atas masyarakat dan kondisi plural. Memang tidak masalah bila wacana yang dikembangkan hanya sebatas pengkondisian ke-plural-an kehidupan di Aceh karena memang sejak dahulu masyarakat kita adalah masyarakat terbuka yang dapat mengakomodir berbagai keragaman budaya dan agama.
Akan tetapi adanya sejumlah forum seperti Seminar, Workshop, dan Lokakarya yang diselenggarakan untuk membahas persoalan agama di Aceh seharusnya mendapat perhatian serius dari kita, jangan sampai persoalan yang kelihatan sepele ternyata menjadi begitu berbahaya karena di biarkan sejak ia masih Embrio. Bagaimanapun, di akui atau tidak perang pemikiran (ghazwul fikri) dampaknya akan jauh lebih berbahaya dari pada perang dalam arti sebenarnya. Ingatan terhadap politik Snock begitu membekas di dalam masyarakat Aceh dan memberikan dampak yang begitu besar dalam sejarahnya, tentunya kita tidak menginginkan ini terulang untuk kesekian kalinya.
Pasca Tsunami Aceh dapat dikatakan telah berubah menjadi kampung global, sehingga kita tidak dapat menghindari lagi adanya berbagai hal baru untuk ikut masuk kedalamnya termasuk juga konsep pemikiran. Terbukanya akses kepada dunia luar meniscayakan terjadinya transformasi kebiasaan baru baik berupa teknis maupun pemikiran secara besar-besaran mengingat pihak-pihak yang terlibat dalam masa rekonstruksi pasti membawa misi masing-masing.
Di sadari atau tidak memisahkan kaum muslimin (khususnya Aceh) secara frontal dengan fanatisme keagamaan mereka merupakan hal yang berat; sehingga satu-satunya jalan yang paling logis adalah memisahkannya secara bertahap, yaitu dengan jalan membuat keraguan atas sejumlah landasan dan sumber hukum yang menjadi patokannya. Seperti dalam contoh kasus kampanye global (barat) terhadap pengadopsian paham pluralisme agama.
Yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatife; oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. (Fatwa MUI Thn. 2005).
Bila merujuk pada definisi tersebut, secara jujur kita akan mengakui bahwa ide apapun yang nantinya akan dibangun diatas landasan pemikiran seperti itu tentu mempunyai makna yang sangat absurd, bagaimana mungkin sebuah agama bisa disamakan sampai pada wilayah implementasi sekalipun dan hanya dikecualikan untuk persoalan ibadah. Padahal rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurayrah, pernah bersabda:
Demi zat yang jiwa Muhammad ada ditangannya, tidaklah seorang dari ummat ini yang mendengar (agama)-ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum mengimani apa saja yang dengannya aku diutus, kecuali dia termasuk penghuni neraka. (HR Muslim)
Mengacu pada dalil diatas dapat disimpulkan bahwa Islam tidak bisa menerima konsep pluralisme agama, terlebih lagi secara teologis Islam tidak hanya mengajarkan ibadah spiritual saja tapi juga masuk ke persoalan-persoalan lain seperti politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Ini tentu berbeda dengan agama lain yang hanya mengajarkan kepasrahan kepada tuhan melaui ritual-ritual yang hanya sekedar seremonial.
Pluralisme agama (paham yang meyakini semua agama sama) yang dikembangkan di Indonesia (khususnya di Aceh) oleh kelompok-kelompok tertentu sebenarnya lahir dari rahim para teolog barat di sebabkan kekecewaannya terhadap konsep Kristen yang tidak rasional, sehingga mereka merasa perlu menyingkirkan agama dari ruang publik. Keadaan ini tentunya tidak akan bisa di lepaskan dari pengalaman sejarah kegelapan Eropa, dimana pada saat itu kaum agamawan berkomplot dengan kaum bangsawan menindas rakyat atas nama tuhan.
Kemudian pemahaman ini seperti dipaksakan kepada kaum muslimin seiring dengan kuatnya Hegemoni Barat atas dunia Islam, padahal tanpa disadari sebenarnya telah terjadi kekeliruan besar dalam proses analisa fakta mengingat perbedaan mencolok dari sisi pengalaman historis dan empiris antara kaum muslimin dengan kaum Kristen Eropa.
Konsep pluralisme agama ini ini telah berkembang pesat di negara-negara yang menerapkan sistem Demokrasi-Sekuler dan telah diyakini sebagai satu-satunya standar hidup hingga menjelma menjadi semacam agama baru yang biasa disebut dengan istilah Civil Religion. Jadi, tidak mengherankan apabila ada yang berpandangan di luar frame (barat) ini akan serta merta dikategorikan sebagai kaum eksklusif yang bercorak fundamentalis.
Pluralisme ini sebenarnya telah menjadi agenda global untuk dihidupkan khususnya di negeri-negeri muslim. Para pengusungnya mengeluarkan dana yang sangat besar untuk itu. The Asia Foundation, LSM yang bermarkas di San Fransisco, merupakan lembaga Internasional yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberaslime, sekularisme, dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang diseluruh Asia. Pada tahun 2003 kemarin, the Asia Foundation mengucurkan bantuan sebesar 44 juta dolar AS serta mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya mencapai 28 juta dolar AS di seluruh wilayah Asia.
Pluralisme merupakan agenda yang sangat berbahaya bagi umat islam, diantaranya karena:
Pertama, pluralisme akan menciptakan generasi muslim yang lemah dalam memegang ajaran Islam. mereka akan sangat mudah untuk melanggar syariat Allah karena kebenaran telah direlatifkan. Tidak ada lagi nilai-nilai agama yang akan menjadi sandaran dalam berbagai aktifitasnya, yang ada tinggal nilai-nilai universal versi liberalisme seperti kebebasan berekspresi, HAM, dan sebagainya. Bahkan penyimpangan dari islam bisa saja kemudian dianggap sah dengan alasan HAM.
Kedua, pluralisme akan menciptakan generasi muslim (khususnya Aceh) yang tidak perduli, apakah sistem kehidupan ini sesuai dengan Islam atau tidak. Hilanglah kepekaan mereka untuk melakukan kontrol terhadap berbagai persoalan dari sudut pandang Islam, bahkan aktifitas dakwah pun akan ditinggalkan karena tidak relevan lagi ketika kebenaran Islam sudah dianggap sama dengan agama atau paham apapun.
Sudah sepatutnya kita waspada terhadap upaya-upaya pengrusakan atau pendangkalan aqidah baik berkedok pendidikan maupun penyadaran, karena tidak kasat mata dan berjalan pada tataran pemikiran. Kita tentu sangat mengharapkan Aceh kedepan adalah Aceh yang memiliki peradaban tinggi dengan berlandaskan pada Pusaka Indatu yang tidak lain adalah terwujudnya Islam kaffah.
Sumber
http://ferza.net/opini/waspadai-mewabahnya-paham-pluralisme-agama-di-aceh-2.html/