Memang jika mau membahas politik dalam Islam ya harus mengenal akan Islam dahulu. Sungguh Islam telah mengatur segalanya dalam kehidupan ini, namun terkadang ketidaktahuan dari diri seorang Muslim sendiri yang menjadikan Islam tak nampak. Hanya terlihat dari jumlah populasi Muslim saja yang semakin banyak, namun dalam perilaku serasa nampak jauh dari ajaran Islam.
Sesungguhnya jika kita mau melihat akan syariat Islam itu sendiri telah mempunyai beberapa kelebihan dan karakteristik yang utama. Boleh kita lihat salah satunya dalam kapasitas sebagai sebuah syariat yang realistis, ia sangat memperhatikan akan kebutuhan manusia namun tak lepas dari situasi dan kondisi yang terjadi.
Semua itu telah diatur dimulai dari yang bersifat materil maupun spirituil, yang bersifat keagamaan maupun yang politik, yang bersifat yang kebudayaan maupun ekonomi. Mengenai hubungan Islam dan budaya, saya sendiri telah menulisnya terdahulu dalam “Kebudayaan dan Sikap Seorang Muslim.” Perhatian Islam sendiri juga meliputi seluruh manusia, baik yang hidup dalam masyarakat Muslim atau diluarnya.
Tidak hanya itu, kemampuan syariat Islam itu dalam seluruh ketentuan hukumnya merupakan syariat yang memudahkan bukannya menyulitkan, yaitu syariat yang melarang seorang Muslim untuk membahayakan dirinya sendiri dan juga orang lain. Ada baiknya juga kita sebagai seorang Muslim selalu terus mencoba mengenali Islam keseluruhannya.
Inilah juga yang menjadi dasar dari seorang Muslim dalam berpolitik. Dan itu semua telah diatur dalam beberapa kaidah dalam hukum Islam. Ini juga yang menjadi paling tidak dasar seorang Muslim dalam menentukan kebijakan, berperilaku, berkomunikasi, ataupun memutuskan suatu hal. Itulah kegiatan berpolitik.
Baiklah saya coba mengenalkannya yang saya yakin paling tidak bisa menjadi dasar teori kita berpolitik:
Ma laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. Sesuatu yang menjadi jalan menuju terealisasinya sebuah kewajiban maka hukumnya menjadi wajib juga. Misal jika kita melihat suatu komunitas Muslim yang tidak bisa mendapatkan hak-hak dalam menjalankan agamanya kecuali dengan cara berpartisipasi aktif dalam kehidupan berpolitik dan terjun langsung dalam arena pemilihan umum untuk memperjuangkan hak menjalankan perintah agama, maka kedua hal tersebut hukumnya menjadi wajib pula dilakukan. Karena menjalankan perintah agama adalah wajib bagi seorang Muslim semisal ibadah sholat, maka ya usaha untuk mencapai itu juga menjadi wajib.
Al umur bi maqashidiha. Segala perkara itu nilainya tergantung pada tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Semua ulama telah menyepakati hal ini, karena berdasarkan dan hadist yang terpecaya serta terbukti validitasnya, yang berbunyi, “Sesungguhnya segala amalan perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan bahwasannya setiap manusia akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya” (HR. Bukhari).
Jadi apabila seorang Muslim terjun dalam berpolitik demi memperjuangkan hak-hak kaum Muslimin, untuk beribadah, untuk menjalankan perintah agama, dan demi kemaslahatan umum. Maka orang tersebut akan mendapatkan pahala dari Allah dari perbuatannya, sudah barang tentu dia juga akan mendapatkan nama baik di kalangan umat Muslim. Jangan lupa niat adalah penentu tujuan perbuatan kita.
Saddu adz-dzara’i. Hukum yang diambil sebagai sebuah tindakan pencegahan agar supaya tidak terjadi kemungkaran atau kerusakan. Semisal seorang Muslim di tengah mayoritas non-muslim seperti di luar negeri, ia tidak ingin terlibat dalam kegiatan berpolitik bahkan tidak berpartisipasi sama sekali karena takut menimbulkan bahaya dan berakibat buruk akan eksistensi keberagamaan dan kemasyarakatan kaum Muslimin.
Akhirnya menghindarkan diri dari resiko itu semua, dan melakukan tindakan preventif atau pencegahan atas resiko yang ditimbulkan. Ini sesuai dengan hadist yang menyatakan, “Barang siapa berhati-hati agar tidak terkena sebuah marabahaya berarti dia telah melindungi dirinya dari marabahaya itu sendiri” (HR. Ath-Thabrani).
Al hajah tanzilu mahall adh-dharurah, khashashatan kanat aw wamah. Kebutuhan menduduki hukum dari perbuatan yang bersifat dharurat, baik itu dalam artian pribadi, khusus maupun dalam konteks artian umum. Semisal kehidupan Muslim yang minoritas di tengah-tengah mayoritas non-muslim, kemudian berusaha memperjuangkan hak-hak mereka sebagai seorang Muslim dalam sebuah negara yang demokratis.
Akan tetapi dalam prosesnya memperjuangkan hak demokrasi ini, ada hal-hal yang dikhawatirkan akan bertentangan dengan ajaran syariat seperti contoh harus melakukan sumpah jabatan agar berkomitmen dengan butir-butir yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam, namun dalam kondisi seperti itu kekhawatiran tersebut tidak apa-apa ditinggalkan karena memperjuangkan hak-hak beribadah termasuk tuntutan dan kebutuhan sebagai seorang Muslim sehingga tidak bisa ditinggalkan dan hukumnya adalah seperti sesuatu yang bersifat dharurat.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 173, “Maka barang siapa yang terpaksa tanpa berlebih-lebihan dan tanpa melewati batas, maka dia tidak akan menanggung dosa apapun. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Pengasih.”
Al maslahah al mursalah. Maksudnya disini adalah maslahat namun tidak tercantum atau tidak ada dalam teks-teks syariat. Begini, syariat kan tidak mengatur atau menjelaskan maslahat itu diakui ataupun ditolak, akan tetapi maslahat tersebut dipandang kita sebagai manusia dapat memberikan manfaat, bisa diterima dan masuk akal, baik secara material maupun spiritual bagi kaum muslimin keseluruhannya.
Nah teori inilah yang sering digunakan para sahabat dalam menyelesaikan banyak persoalan namun dengan syarat maslahat itu tidak bertentangan dengan teks ataupun kaidah syariat yang bersifat qat’i, selain itu manfaatnya yang diperoleh juga merupakan manfaat yang hakiki bukan manfaat yang diragukan dan tentu saja dapat langsung dirasakan oleh kaum muslimin seluruhnya.
Baiklah, paling tidak berdasarkan teori-teori dasar politik tersebut, kita umat Muslim dapat berperan serta dalam kegiatan berpolitik sehingga benar-benar tercapainya kemaslahatan bagi umat maupun agama. Tidak hanya itu juga diharapkan dapat mencegah dari timbulnya bahaya dan kerusakan yang sewaktu-waktu mengancam.
Dari teori-teori tersebut paling tidak dapat meluas juga akan bagaimanakah seorang Muslim mendirikan partai politik, seorang muslim dan demokrasi, seorang muslim dengan kehidupan bernegara dan yang paling penting bagaimana seorang muslim menjalani kehidupan di dunia ini.
Patut diperhatikan pula, bahwa Islam memberikan hak seluas-luasnya untuk seorang Muslim dalam bertindak, namun sebagai seorang Muslim adakalanya kita sadar bahwa hak kita pun dibatasi oleh hak Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Kita kembali mengingat untuk apa kita hidup, untuk apa kita hadir di dunia ini, dan akan kemana kita kelak? Dalam berpolitik pun akhirnya juga kembali kepada setiap individu Muslim itu sendiri dalam caranya mereka berpolitik.
Saya pun melihat teori-teori tersebut bersifat umum dan dapat memasuki semua lini persoalan kehidupan manusia. Itulah dibutuhkan mengenal lagi Islam secara terus-menerus sehingga dapat mengawal serta menjadi pedoman dan pada akhirnya dapat mencoba menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
sumber: http://umykomahi.blogspot.com/2011/01/teori-teori-politik-dalam-islam.html
Sesungguhnya jika kita mau melihat akan syariat Islam itu sendiri telah mempunyai beberapa kelebihan dan karakteristik yang utama. Boleh kita lihat salah satunya dalam kapasitas sebagai sebuah syariat yang realistis, ia sangat memperhatikan akan kebutuhan manusia namun tak lepas dari situasi dan kondisi yang terjadi.
Semua itu telah diatur dimulai dari yang bersifat materil maupun spirituil, yang bersifat keagamaan maupun yang politik, yang bersifat yang kebudayaan maupun ekonomi. Mengenai hubungan Islam dan budaya, saya sendiri telah menulisnya terdahulu dalam “Kebudayaan dan Sikap Seorang Muslim.” Perhatian Islam sendiri juga meliputi seluruh manusia, baik yang hidup dalam masyarakat Muslim atau diluarnya.
Tidak hanya itu, kemampuan syariat Islam itu dalam seluruh ketentuan hukumnya merupakan syariat yang memudahkan bukannya menyulitkan, yaitu syariat yang melarang seorang Muslim untuk membahayakan dirinya sendiri dan juga orang lain. Ada baiknya juga kita sebagai seorang Muslim selalu terus mencoba mengenali Islam keseluruhannya.
Inilah juga yang menjadi dasar dari seorang Muslim dalam berpolitik. Dan itu semua telah diatur dalam beberapa kaidah dalam hukum Islam. Ini juga yang menjadi paling tidak dasar seorang Muslim dalam menentukan kebijakan, berperilaku, berkomunikasi, ataupun memutuskan suatu hal. Itulah kegiatan berpolitik.
Baiklah saya coba mengenalkannya yang saya yakin paling tidak bisa menjadi dasar teori kita berpolitik:
Ma laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. Sesuatu yang menjadi jalan menuju terealisasinya sebuah kewajiban maka hukumnya menjadi wajib juga. Misal jika kita melihat suatu komunitas Muslim yang tidak bisa mendapatkan hak-hak dalam menjalankan agamanya kecuali dengan cara berpartisipasi aktif dalam kehidupan berpolitik dan terjun langsung dalam arena pemilihan umum untuk memperjuangkan hak menjalankan perintah agama, maka kedua hal tersebut hukumnya menjadi wajib pula dilakukan. Karena menjalankan perintah agama adalah wajib bagi seorang Muslim semisal ibadah sholat, maka ya usaha untuk mencapai itu juga menjadi wajib.
Al umur bi maqashidiha. Segala perkara itu nilainya tergantung pada tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Semua ulama telah menyepakati hal ini, karena berdasarkan dan hadist yang terpecaya serta terbukti validitasnya, yang berbunyi, “Sesungguhnya segala amalan perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan bahwasannya setiap manusia akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya” (HR. Bukhari).
Jadi apabila seorang Muslim terjun dalam berpolitik demi memperjuangkan hak-hak kaum Muslimin, untuk beribadah, untuk menjalankan perintah agama, dan demi kemaslahatan umum. Maka orang tersebut akan mendapatkan pahala dari Allah dari perbuatannya, sudah barang tentu dia juga akan mendapatkan nama baik di kalangan umat Muslim. Jangan lupa niat adalah penentu tujuan perbuatan kita.
Saddu adz-dzara’i. Hukum yang diambil sebagai sebuah tindakan pencegahan agar supaya tidak terjadi kemungkaran atau kerusakan. Semisal seorang Muslim di tengah mayoritas non-muslim seperti di luar negeri, ia tidak ingin terlibat dalam kegiatan berpolitik bahkan tidak berpartisipasi sama sekali karena takut menimbulkan bahaya dan berakibat buruk akan eksistensi keberagamaan dan kemasyarakatan kaum Muslimin.
Akhirnya menghindarkan diri dari resiko itu semua, dan melakukan tindakan preventif atau pencegahan atas resiko yang ditimbulkan. Ini sesuai dengan hadist yang menyatakan, “Barang siapa berhati-hati agar tidak terkena sebuah marabahaya berarti dia telah melindungi dirinya dari marabahaya itu sendiri” (HR. Ath-Thabrani).
Al hajah tanzilu mahall adh-dharurah, khashashatan kanat aw wamah. Kebutuhan menduduki hukum dari perbuatan yang bersifat dharurat, baik itu dalam artian pribadi, khusus maupun dalam konteks artian umum. Semisal kehidupan Muslim yang minoritas di tengah-tengah mayoritas non-muslim, kemudian berusaha memperjuangkan hak-hak mereka sebagai seorang Muslim dalam sebuah negara yang demokratis.
Akan tetapi dalam prosesnya memperjuangkan hak demokrasi ini, ada hal-hal yang dikhawatirkan akan bertentangan dengan ajaran syariat seperti contoh harus melakukan sumpah jabatan agar berkomitmen dengan butir-butir yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam, namun dalam kondisi seperti itu kekhawatiran tersebut tidak apa-apa ditinggalkan karena memperjuangkan hak-hak beribadah termasuk tuntutan dan kebutuhan sebagai seorang Muslim sehingga tidak bisa ditinggalkan dan hukumnya adalah seperti sesuatu yang bersifat dharurat.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 173, “Maka barang siapa yang terpaksa tanpa berlebih-lebihan dan tanpa melewati batas, maka dia tidak akan menanggung dosa apapun. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Pengasih.”
Al maslahah al mursalah. Maksudnya disini adalah maslahat namun tidak tercantum atau tidak ada dalam teks-teks syariat. Begini, syariat kan tidak mengatur atau menjelaskan maslahat itu diakui ataupun ditolak, akan tetapi maslahat tersebut dipandang kita sebagai manusia dapat memberikan manfaat, bisa diterima dan masuk akal, baik secara material maupun spiritual bagi kaum muslimin keseluruhannya.
Nah teori inilah yang sering digunakan para sahabat dalam menyelesaikan banyak persoalan namun dengan syarat maslahat itu tidak bertentangan dengan teks ataupun kaidah syariat yang bersifat qat’i, selain itu manfaatnya yang diperoleh juga merupakan manfaat yang hakiki bukan manfaat yang diragukan dan tentu saja dapat langsung dirasakan oleh kaum muslimin seluruhnya.
Baiklah, paling tidak berdasarkan teori-teori dasar politik tersebut, kita umat Muslim dapat berperan serta dalam kegiatan berpolitik sehingga benar-benar tercapainya kemaslahatan bagi umat maupun agama. Tidak hanya itu juga diharapkan dapat mencegah dari timbulnya bahaya dan kerusakan yang sewaktu-waktu mengancam.
Dari teori-teori tersebut paling tidak dapat meluas juga akan bagaimanakah seorang Muslim mendirikan partai politik, seorang muslim dan demokrasi, seorang muslim dengan kehidupan bernegara dan yang paling penting bagaimana seorang muslim menjalani kehidupan di dunia ini.
Patut diperhatikan pula, bahwa Islam memberikan hak seluas-luasnya untuk seorang Muslim dalam bertindak, namun sebagai seorang Muslim adakalanya kita sadar bahwa hak kita pun dibatasi oleh hak Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Kita kembali mengingat untuk apa kita hidup, untuk apa kita hadir di dunia ini, dan akan kemana kita kelak? Dalam berpolitik pun akhirnya juga kembali kepada setiap individu Muslim itu sendiri dalam caranya mereka berpolitik.
Saya pun melihat teori-teori tersebut bersifat umum dan dapat memasuki semua lini persoalan kehidupan manusia. Itulah dibutuhkan mengenal lagi Islam secara terus-menerus sehingga dapat mengawal serta menjadi pedoman dan pada akhirnya dapat mencoba menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
sumber: http://umykomahi.blogspot.com/2011/01/teori-teori-politik-dalam-islam.html