APA kabar partai lokal? Lama tidak terdengar kiprah politiknya setelah mengalami kegagalan total pada pemilu yang lalu. Partai lokal (parlok) yang sebelumnya digadang-gadang akan menjadi kekuatan politik baru di Aceh, dengan menggeser kekuatan politik nasional, ternyata tidak sebagaimana yang diperkirakan.
Kedigdayaan parlok hanya menyisakan Partai Aceh (PA) yang meraih kemenangan yang fantastis yaitu 48% di Pemilu 2009. Selebihnya, kecuali Partai Daulat Aceh (PDA), yang berhasil menempatkan satu wakilnya di DPRA, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) dan Partai Bersatu Aceh (PBA) tidak mendapatkan kursi satupun, bahkan setengah pun tidak. Lalu apa sebenarnya penyebab parlok lain kehilangan kekuatannya ketika berlaga di pemilu yang lalu sehingga mendapatkan hasil politik yang jauh dari harapan?
Banyak alasan yang bisa kita uraikan tentang hal kegagalan tersebut. Pertama, adalah matinya pesona ideologi. Jangan lagi dikira dengan ideologi maka politik akan dapat dimenangkan. Tentang ideologi dan politik, saya teringat sebuah wawancara Saiful Munjani pasca-kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004, yang mengatakan bahwa politik atas pembagian aliran, yang kemudian itu dipetakan sebagai dasar ideologi, yang disusun oleh Gertz kini tidak lagi relevan. Saiful mengatakan, kemenangan seorang SBY, yang datang tanpa dari basis politik apapun, disebabkan oleh dua hal; rasionalisasi program, di mana itu berkelindan dengan kegagalan program calon incumben, yang kala itu Megawati dan kedekatan secara psikologis, di mana media, terutama televisi, memiliki pengaruh kuat dalam menanamkan pengaruh dan pencitraan calon kepada calon yang akan sedang berlaga.
Analisa Saiful Munjani tersebut bila dibawa pada pengalaman politik Aceh terkini juga menjelaskan ironi ideologi yang kurang lebih sama, di mana di sebuah wilayah yang religius, taat beragama dan menerapkan Syariat Islam, namun calon kepala daerah yang didukung oleh ulama dayah kalah dan partai-partai Islam tidak bisa lagi memenangkan pemilu karena dikalahkan oleh partai yang bukan berbasis Islam. Dengan demikian maka membangun partai politik tidak bisa bersandar kepada ideologi, seperti membanggakan Islam sebagai azas partai. Hal itu sudah tidaklah cukup di alam politik yang pragmatis dan rasional dewasa ini. Jangan dikira, pilihan terhadap asas Islam seperti yang dilakukan oleh Partai SIRA, PAAS dan PDA akan membuat masyarakat menjatuhkan pilihannya, sebab kenyataannya memang tidak demikian.
Kedua, mesin politik yang tidak berjalan dengan baik. Indikasinya adalah ketidakmampuan parlok tersebut bicara politik pada level yang paling bawah, yaitu desa dan kecamatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu akibat ketiadaan logistik yang mencukupi serta ketiadaan struktur partai yang mengakar akibat belum kuatnya konsolidasi politik. Ketiga, ketiadaan pengalaman politik. Secara umum fungsionaris parlok adalah orang-orang yang tidak memiliki pengalaman dalam mengelola partai politik, sebab lebih banyak berpengalaman di ormas, LSM buffer aksi maupun dayah.
Kenyataan-kenyataan tersebut sebenarnya harus menyadarkan para elite parlok untuk melihat kondisi politik secara lebih realistik, bahwa dengan mempertahankan pola politik lama, dengan melakukan fragmentasi gerakan politik lokal, maka alamat partai-partai lokal di atas tidak akan berumur panjang di alam politik Aceh di masa mendatang. Dengan demikian, melakukan fusi atau penggabungan menjadi keharusan. Fusi jangan dikira sebagai upaya yang non-demokratis, karena memberangus kebebasan bersyarikat. Namun fusi harus dilihat sebagai upaya mendorong terbentuknya sebuah partai lokal yang kuat, sehingga bisa memberikan keseimbangan politik serta menaikkan nilai tawar Aceh dengan pemerintah pusat.
Alasan lain mengapa fusi parlok harus menjadi agenda politik para elite-elite parlok adalah semakin terkonsolidasinya partai nasional setelah kegagalan Pemilu 2009. Selain itu mulai tumbuhnya friksi dengan bergabungnya beberapa elite parlok ke partai nasional membuat susunan kepartaian menjadi tidak lagi solid. Hal lain yang menurut hemat saya harus diperhatikan adalah selesainya moment sentiment lokal setelah demokrasi dan politik di Aceh sudah terkonsolidasi secara elektoral seperti sekarang ini, hal itu kemudian yang membuat daya pesona parlok akan berkurang drastis. Terakhir adalah keberadaan PA sebagai partai pemenang pemilu yang belum memberikan hasil maksimal. Hal yang paling tampak adalah keberpihakan PA kepada elite dengan melahirkan rancangan Qanun Wali Nanggroe daripada qanun yang berpihak kepada rakyat. Kekecewaan ini tentu akan membuat masyarakat memalingkan wajahnya kepada kekuatan politik lain, dan ini akan menjadi peluang bagi parlok hasil fusi.
Keseluruhan kondisi di atas sedikit banyaknya harus memberi kesadaran kepada elite parlok untuk kembali melihat komposisi politiknya secara baik, dan tawaran untuk melakukan fusi dirasa perlu dan mendesak, tidak hanya saja untuk membuat parlok lebih terkonsolidasi namun mendorong proses demokrasi yang selama ini berlangsung di Aceh bisa lebih kuat dan berimbang.
Kedigdayaan parlok hanya menyisakan Partai Aceh (PA) yang meraih kemenangan yang fantastis yaitu 48% di Pemilu 2009. Selebihnya, kecuali Partai Daulat Aceh (PDA), yang berhasil menempatkan satu wakilnya di DPRA, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) dan Partai Bersatu Aceh (PBA) tidak mendapatkan kursi satupun, bahkan setengah pun tidak. Lalu apa sebenarnya penyebab parlok lain kehilangan kekuatannya ketika berlaga di pemilu yang lalu sehingga mendapatkan hasil politik yang jauh dari harapan?
Banyak alasan yang bisa kita uraikan tentang hal kegagalan tersebut. Pertama, adalah matinya pesona ideologi. Jangan lagi dikira dengan ideologi maka politik akan dapat dimenangkan. Tentang ideologi dan politik, saya teringat sebuah wawancara Saiful Munjani pasca-kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004, yang mengatakan bahwa politik atas pembagian aliran, yang kemudian itu dipetakan sebagai dasar ideologi, yang disusun oleh Gertz kini tidak lagi relevan. Saiful mengatakan, kemenangan seorang SBY, yang datang tanpa dari basis politik apapun, disebabkan oleh dua hal; rasionalisasi program, di mana itu berkelindan dengan kegagalan program calon incumben, yang kala itu Megawati dan kedekatan secara psikologis, di mana media, terutama televisi, memiliki pengaruh kuat dalam menanamkan pengaruh dan pencitraan calon kepada calon yang akan sedang berlaga.
Analisa Saiful Munjani tersebut bila dibawa pada pengalaman politik Aceh terkini juga menjelaskan ironi ideologi yang kurang lebih sama, di mana di sebuah wilayah yang religius, taat beragama dan menerapkan Syariat Islam, namun calon kepala daerah yang didukung oleh ulama dayah kalah dan partai-partai Islam tidak bisa lagi memenangkan pemilu karena dikalahkan oleh partai yang bukan berbasis Islam. Dengan demikian maka membangun partai politik tidak bisa bersandar kepada ideologi, seperti membanggakan Islam sebagai azas partai. Hal itu sudah tidaklah cukup di alam politik yang pragmatis dan rasional dewasa ini. Jangan dikira, pilihan terhadap asas Islam seperti yang dilakukan oleh Partai SIRA, PAAS dan PDA akan membuat masyarakat menjatuhkan pilihannya, sebab kenyataannya memang tidak demikian.
Kedua, mesin politik yang tidak berjalan dengan baik. Indikasinya adalah ketidakmampuan parlok tersebut bicara politik pada level yang paling bawah, yaitu desa dan kecamatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu akibat ketiadaan logistik yang mencukupi serta ketiadaan struktur partai yang mengakar akibat belum kuatnya konsolidasi politik. Ketiga, ketiadaan pengalaman politik. Secara umum fungsionaris parlok adalah orang-orang yang tidak memiliki pengalaman dalam mengelola partai politik, sebab lebih banyak berpengalaman di ormas, LSM buffer aksi maupun dayah.
Kenyataan-kenyataan tersebut sebenarnya harus menyadarkan para elite parlok untuk melihat kondisi politik secara lebih realistik, bahwa dengan mempertahankan pola politik lama, dengan melakukan fragmentasi gerakan politik lokal, maka alamat partai-partai lokal di atas tidak akan berumur panjang di alam politik Aceh di masa mendatang. Dengan demikian, melakukan fusi atau penggabungan menjadi keharusan. Fusi jangan dikira sebagai upaya yang non-demokratis, karena memberangus kebebasan bersyarikat. Namun fusi harus dilihat sebagai upaya mendorong terbentuknya sebuah partai lokal yang kuat, sehingga bisa memberikan keseimbangan politik serta menaikkan nilai tawar Aceh dengan pemerintah pusat.
Alasan lain mengapa fusi parlok harus menjadi agenda politik para elite-elite parlok adalah semakin terkonsolidasinya partai nasional setelah kegagalan Pemilu 2009. Selain itu mulai tumbuhnya friksi dengan bergabungnya beberapa elite parlok ke partai nasional membuat susunan kepartaian menjadi tidak lagi solid. Hal lain yang menurut hemat saya harus diperhatikan adalah selesainya moment sentiment lokal setelah demokrasi dan politik di Aceh sudah terkonsolidasi secara elektoral seperti sekarang ini, hal itu kemudian yang membuat daya pesona parlok akan berkurang drastis. Terakhir adalah keberadaan PA sebagai partai pemenang pemilu yang belum memberikan hasil maksimal. Hal yang paling tampak adalah keberpihakan PA kepada elite dengan melahirkan rancangan Qanun Wali Nanggroe daripada qanun yang berpihak kepada rakyat. Kekecewaan ini tentu akan membuat masyarakat memalingkan wajahnya kepada kekuatan politik lain, dan ini akan menjadi peluang bagi parlok hasil fusi.
Keseluruhan kondisi di atas sedikit banyaknya harus memberi kesadaran kepada elite parlok untuk kembali melihat komposisi politiknya secara baik, dan tawaran untuk melakukan fusi dirasa perlu dan mendesak, tidak hanya saja untuk membuat parlok lebih terkonsolidasi namun mendorong proses demokrasi yang selama ini berlangsung di Aceh bisa lebih kuat dan berimbang.