Pilkada Aceh tanpa calon independen. Itulah pasal yang menjadi maksud Rancangan Qanun Pilkada 2011 yang dihasilkan oleh DPRA hasil Pemilu 2009. Bagi pendukung Pilkada tanpa calon perseorangan, dalam hal ini adalah Partai Aceh, alasan yang digunakan adalah Aceh memiliki khas dalam pelaksanaa otonomi politik.
Bila kemudian dengan keputusan MK yang telah menyatakan bahwa calon independen menjadi sah secara politik dan hukun untuk seluruh wilayah di Indonesia, maka di Aceh itu tidak berlaku suatu ironi, mengingat calon independen merupakan inisiatif dari Aceh.
Tapi sudahlah, kita tinggalkan sejenak perdebatan yang sebenarnya sudah memasuki wilayah hukum tata negara tersebut. Lebih baik kita di sini beranjak untuk memasuki wilayah demokrasi yang sesungguhnya telah mengalami sebuah situasi genting, akibat terjadinya aneksasi tafsir oleh kelompok mayoritas politik terhadap demokrasi di Aceh.
Situasi genting ini mengharuskan kita menyelamatkan demokrasi di Aceh, sebab melalui demokrasi kita sadar bahwa membangun Aceh akan lebih kuat dan kokoh. Oleh karena demikian, maka pengertian demokrasi harus diformat ulang. Demokrasi itu bukan dalam pengertian sebagai suara dominan. Namun yang dimaksud demokrasi di sini adalah adanya pertimbangan, koreksi, diskusif dan kritisasi yang komunikatif. Jadi demokrasi bukanlah dilihat sebagai suara dominan. Sebab bila hal itu dijadikan sebagai dasar pandang terhadap demokrasi jelas dia akan kehilangan pesona dan daya tariknya. Oleh karena itu kita harus menawarkan demokrasi yang deliberatif, sebagai resep bagaimana seharusnya kita merawat demokrasi yang mulai tumbuh di Aceh.
Apa itu demokrasi deliberatif? Secara bahasa deliberatif itu adalah konsultasi, menimbang dan musyawarah (Hardiman, 2009; 128). Demokrasi Deliberatif dikembangkan oleh Jurgen Habermas, filosof dari Frankfrut Shool. Bagi Habermas demokrasi deliberatif dilihat perlu untuk mendorong apa yang disebut sebagai demokrasi yang mempertimbangkan usaha-usaha rasionalitas. Demokrasi liberatif ini hanya akan bisa hidup apabila masyarakat yang kompleks ini bisa hidup dan terintegrasi melalui tindakan komunikatif (Hardiman, 2007; 125). Masyarakat komunikatif sebagai sebuah tatanan baru terhadap yang menjadi dasar lahirnya demokrasi deliberatif adalah bukan masyarakat yang melakukan kritik bukan melalui revolusi dan kekerasan, akan tetapi melalui argumentasi (Hardiman, 2009; 18).
Demokrasi deliberatif ini kemudian akan diajukan sebagai cara untuk melakukan sebuah pencegahan terhadap lahirnya politik oligarkis. Kasus penolakan calon perseorangan yang dilakukan oleh Partai Aceh adalah sebuah contoh aktifitas politik yang sedang dikritik oleh demokrasi deliberatif ini. Demokrasi deliberatif, lanjut Hardiman, itu berhubungan dengan ligitimitas, dengan meminjam definisi Rainer Frost, bahwa demokrasi deliberatif ini bukan berbicara tentang kehendak umum ataupun individual yang akan dijadikan sebagai sumber legitimitas. Sebab sumber legimitas itu sendiri adalah proses formasi yang deliberatif melalui agumentatif-diskursif yang selalu sementara serta terbuka untuk direvisi. Legitimitas dalam demokrasi deliberatif ini tidak terletak pada komunikasi politik, melainkan kepada prosesnya. Sehingga semakin diskursifnya proses tersebut, maka semakin legitimed pula hasilnya (hal, 130).
Oleh karena itu diskursus deliberatif ini kiranya yang harus dibicarakan di Aceh. Hal tersebut didorong oleh pengalaman perdebatan tentang ada atau tidaknya calon perseorangan dalam rancangan qanun Pilkada 2011 benar-benar absen dari proses diskursif yang alot, sehingga membuat nalar yang paling minoritas-pun gagal untuk dapat ditampung. Dalam kasus penyusunan Qanun di atas, jelas terlihat bahwa logika yang dimainkan oleh elite, baik dari eksekutif maupun legislatif selalu saja pertimbangan dari mereka tentang mengapa harus ada atau tidak calon independen tersebut di dalam Qanun, tanpa sama sekali membawa masyarakat hadir untuk berpartisipasi lebih luas.
Dengan demikian menjadi keharusan untuk melakukan proses demokrasi yang penuh dengan pertimbangan dan konsultasi. Partisipasi masyarakat harus dilibatkan secara penuh, dan apabila ini ditinggalkan, maka legimitas akan tidak mendapatkan bentuknya dengan baik, sehingga kemudian lahirlah kebijakan kebijakan politik yang jauh dari proses kesadaran masyarakat. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, kebijakan yang katanya untuk rakyat, kemudian hanya menjadi sumber kekuatan bagi kelompok politik untuk mempertahankan kekuasaannya saja.
Akhirul kalam, membangun Aceh yang hancur lebur akibat konflik masa lalu haruslah dengan rasa optmisme. Bahwa merasa bahwa satu kelompok saja yang memiliki Aceh, maka menjadi alamat buruk untuk Aceh itu sendiri. Dan kita percaya melalui demokrasi, kita dapat membawa Aceh menuju sesuatu yang lebih baik lagi. Tentu demokrasi yang diatur dengan baik bagus, yaitu demokrasi tanpa penguasaan dan tanpa keinginan kuat untuk melakukan kooptasi dengan mengatasnamakan rakyat.
Bila kemudian dengan keputusan MK yang telah menyatakan bahwa calon independen menjadi sah secara politik dan hukun untuk seluruh wilayah di Indonesia, maka di Aceh itu tidak berlaku suatu ironi, mengingat calon independen merupakan inisiatif dari Aceh.
Tapi sudahlah, kita tinggalkan sejenak perdebatan yang sebenarnya sudah memasuki wilayah hukum tata negara tersebut. Lebih baik kita di sini beranjak untuk memasuki wilayah demokrasi yang sesungguhnya telah mengalami sebuah situasi genting, akibat terjadinya aneksasi tafsir oleh kelompok mayoritas politik terhadap demokrasi di Aceh.
Situasi genting ini mengharuskan kita menyelamatkan demokrasi di Aceh, sebab melalui demokrasi kita sadar bahwa membangun Aceh akan lebih kuat dan kokoh. Oleh karena demikian, maka pengertian demokrasi harus diformat ulang. Demokrasi itu bukan dalam pengertian sebagai suara dominan. Namun yang dimaksud demokrasi di sini adalah adanya pertimbangan, koreksi, diskusif dan kritisasi yang komunikatif. Jadi demokrasi bukanlah dilihat sebagai suara dominan. Sebab bila hal itu dijadikan sebagai dasar pandang terhadap demokrasi jelas dia akan kehilangan pesona dan daya tariknya. Oleh karena itu kita harus menawarkan demokrasi yang deliberatif, sebagai resep bagaimana seharusnya kita merawat demokrasi yang mulai tumbuh di Aceh.
Apa itu demokrasi deliberatif? Secara bahasa deliberatif itu adalah konsultasi, menimbang dan musyawarah (Hardiman, 2009; 128). Demokrasi Deliberatif dikembangkan oleh Jurgen Habermas, filosof dari Frankfrut Shool. Bagi Habermas demokrasi deliberatif dilihat perlu untuk mendorong apa yang disebut sebagai demokrasi yang mempertimbangkan usaha-usaha rasionalitas. Demokrasi liberatif ini hanya akan bisa hidup apabila masyarakat yang kompleks ini bisa hidup dan terintegrasi melalui tindakan komunikatif (Hardiman, 2007; 125). Masyarakat komunikatif sebagai sebuah tatanan baru terhadap yang menjadi dasar lahirnya demokrasi deliberatif adalah bukan masyarakat yang melakukan kritik bukan melalui revolusi dan kekerasan, akan tetapi melalui argumentasi (Hardiman, 2009; 18).
Demokrasi deliberatif ini kemudian akan diajukan sebagai cara untuk melakukan sebuah pencegahan terhadap lahirnya politik oligarkis. Kasus penolakan calon perseorangan yang dilakukan oleh Partai Aceh adalah sebuah contoh aktifitas politik yang sedang dikritik oleh demokrasi deliberatif ini. Demokrasi deliberatif, lanjut Hardiman, itu berhubungan dengan ligitimitas, dengan meminjam definisi Rainer Frost, bahwa demokrasi deliberatif ini bukan berbicara tentang kehendak umum ataupun individual yang akan dijadikan sebagai sumber legitimitas. Sebab sumber legimitas itu sendiri adalah proses formasi yang deliberatif melalui agumentatif-diskursif yang selalu sementara serta terbuka untuk direvisi. Legitimitas dalam demokrasi deliberatif ini tidak terletak pada komunikasi politik, melainkan kepada prosesnya. Sehingga semakin diskursifnya proses tersebut, maka semakin legitimed pula hasilnya (hal, 130).
Oleh karena itu diskursus deliberatif ini kiranya yang harus dibicarakan di Aceh. Hal tersebut didorong oleh pengalaman perdebatan tentang ada atau tidaknya calon perseorangan dalam rancangan qanun Pilkada 2011 benar-benar absen dari proses diskursif yang alot, sehingga membuat nalar yang paling minoritas-pun gagal untuk dapat ditampung. Dalam kasus penyusunan Qanun di atas, jelas terlihat bahwa logika yang dimainkan oleh elite, baik dari eksekutif maupun legislatif selalu saja pertimbangan dari mereka tentang mengapa harus ada atau tidak calon independen tersebut di dalam Qanun, tanpa sama sekali membawa masyarakat hadir untuk berpartisipasi lebih luas.
Dengan demikian menjadi keharusan untuk melakukan proses demokrasi yang penuh dengan pertimbangan dan konsultasi. Partisipasi masyarakat harus dilibatkan secara penuh, dan apabila ini ditinggalkan, maka legimitas akan tidak mendapatkan bentuknya dengan baik, sehingga kemudian lahirlah kebijakan kebijakan politik yang jauh dari proses kesadaran masyarakat. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, kebijakan yang katanya untuk rakyat, kemudian hanya menjadi sumber kekuatan bagi kelompok politik untuk mempertahankan kekuasaannya saja.
Akhirul kalam, membangun Aceh yang hancur lebur akibat konflik masa lalu haruslah dengan rasa optmisme. Bahwa merasa bahwa satu kelompok saja yang memiliki Aceh, maka menjadi alamat buruk untuk Aceh itu sendiri. Dan kita percaya melalui demokrasi, kita dapat membawa Aceh menuju sesuatu yang lebih baik lagi. Tentu demokrasi yang diatur dengan baik bagus, yaitu demokrasi tanpa penguasaan dan tanpa keinginan kuat untuk melakukan kooptasi dengan mengatasnamakan rakyat.