Kontroversi calon independen jelang Pilkada 2011 di Aceh adalah sebuah wacana politis. Para politisi berlomba-lomba tarung untuk memenangkan opini publik agar mendapat legitimasi atas kepentingan politik mereka. Argumen legal formal, transisi demokrasi, hak kewarganegaraan, hingga soal etnonasionalisme mengemuka.
Dua jargon yang seolah berseberangan pun digunakan: atas nama demokrasi atau identitas keacehan. Meski kedua jargon ini kadang diramu dalam kepentingan yang sama, dan secara substansi tidak bertentangan, kubu politik yang berlawanan cenderung menitikberatkan salah satu. Contoh yang paling menonjol dalam sepekan lalu adalah aksi yang dimotori KMPA (Komite Mahasiswa Pemuda Aceh) beserta puluhan ribu massa dari berbagai kalangan di depan kantor DPRA untuk menolak calon independen dengan mengusung penyelamatan MoU Helsinki dan UUPA. Dalam tulisan ini, penulis tidak hendak membahas perihal kontroversi tersebut, melainkan melihat fenomena tersebut dari dua perspektif: demokrasi sebagai diskursus dan gerakan sosial sebagai bagian politik identitas.
Demokrasi versus Mobokrasi
Calon independen adalah hak politik warga negara dan implementasi dari demokrasi yang partisipatif. Idealnya, demokrasi memberi peluang dan kesempatan yang sama bagi warga negara untuk dipilih dan memilih. Ketika partai politik dianggap tak mampu memberi jalur aspirasi rakyat, calon perseorangan yang independen adalah alternatif yang perlu. Namun, partai politik tetap memiliki fungsi yang tak bisa dilakukan oleh calon perseorangan: partai memiliki kekuatan kolektif, jaringan, dan koordinasi untuk melakukan sosialisasi politik secara sistemik, masif, dan struktural menuju kekuasaan institusional. Pada proses berikutnya, mekanisme, aturan, dan kepentingan politik turut merumuskan apa yang dimaksud dengan ‘demokrasi partisipatif’ itu.
Dalam konteks Aceh pascakonflik, demokrasi partisipatif harus bergelut dengan persoalan kesejahteraan, buruknya kinerja pemerintahan (eksuktif dan legislatif), korupsi, eksploitasi sumber daya alam, kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas diusut, hingga persoalan terkait implementasi UUPA. Keseluruhan persoalan ini diselubungi oleh pertanyaan besar bertajuk “Aceh hendak dibawa ke mana?”
Helmy N. Hakim, dalam opininya bertajuk “Pembajakan Demokrasi” (Serambi Indonesia, Senin, 4 Juli 2011) menuding gerakan massa di depan DPRA hari Selasa, 28 Juni lalu, yang menolak calon independen atas nama penyelamatan MoU adalah bagian dari ulah “mafia politik”. Ia menggunakan istilah “mobokrasi” untuk menggambarkan bagaimana kondisi politik Aceh dengan adanya pengerahan massa tersebut, dengan maksud memaknai gerakan tersebut sebagai bagian dari kepemimpinan oleh rakyat jelata yang tak tahu menahu tentang cara bernegara sehingga melahirkan pemerintahan yang kacau. Lebih jauh lagi, ia mengatakan itu adalah sebuah upaya pembajakan demokrasi.
Namun, tidaklah tepat jika itu dikatakan sebuah mobokrasi. Alih-alih melihat rakyat jelata yang tidak berpengetahuan memerintah dengan kekacauan, dalam aksi tersebut kita melihat sentimen perjuangan sebuah bangsa yang sudah melalui getirnya penindasan dan perlawanan bermuara kembali. Ini menunjukkan sebuah semangat yang hendak dibangun bersama semangat untuk perjalanan jangka panjang yang tak hendak terjebak semata pada pragmatisme politik elektoral.
Terlepas dari berbagai konflik kepentingan yang terjadi antara DPRA, eksekutif, dan KIP terkait persoalan calon independen, gerakan sosial dan hasil keputusan voting dalam sidang paripurna kemarin adalah bagian dari proses berdemokrasi, dan bukan pembajakan demokrasi. Proses tersebut berlangsung damai, tertib, dan massa yang dikerahkan adalah massa sadar yang tak bergerak karena uang. Mereka bukan rakyat jelata yang bodoh dan memerintah dengan kacau. Mereka justru hendak meneriakkan aspirasinya di depan para penguasa yang memerintah. Wacana “penyelamatan MoU Helsinki dan UUPA” adalah wacana yang telah dimasifkan untuk menjadi pintu pembuka bagi daya tawar Aceh ke depan. Dengan satu isu ini, masyarakat bersedia berkumpul bersama untuk menyuarakan itu di hadapan pagar para wakil rakyat, meski berisiko pada stigma ke arah salah satu partai. Namun, dinamika tersebut tetap berada di dalam ruang terbuka demokrasi.
Demokrasi adalah diskursif, atau tempat di mana diskursus beroperasi. Diskursus itu sendiri adalah hasil dari pertarungan relasi kuasa yang ada di ruang publik, entah itu oleh politisi, cendikiawan, aktivis, media massa, atau elemen sipil lainnya. Sehingga, apa yang kita maknai dari demokrasi bukanlah tujuan dari semua kontestasi yang ada, melainkan ruang partisipatif yang dibuka secara terbuka dan setara dimana mekanisme kontrol atas pemerintah dan saluran aspirasi kepentingan masyarakat dapat diartikulasi dengan baik. Pada titik ini, politik identitas juga masuk di dalamnya.
Gerakan Politik Identitas
Politik identitas muncul sebagai upaya untuk meneguhkan maupun mencari kembali akar identitas suatu komunitas yang telah terdangkalkan atau termarjinalkan oleh globalisasi maupun modernisasi. Identitas itu sendiri bisa berupa etnis, suku, agama, atau gender. Caranya adalah melakukan upaya-upaya intervensi dan tarung wacana di ruang publik melalui politik untuk memperjuangkan hak atas keadilan. Di sini, wacana dominan yang menghegemoni terdekonstruksi oleh politik identitas. Semangat menghargai sejarah dan identitas keacehan, terlepas dari segala kontradiksinya, adalah salah satu geliat politik identitas.
Di Aceh, berkat pedoman pelaksanaan demokrasi yang dihasilkan MoU Helsinki, kelompok-kelompok lama yang memperjuangkan hak warga negara dan hak politik (serta beberapa organisasi baru di bidang pembangunan) memiliki posisi sangat penting beberapa tahun ke depan, setidaknya dalam upaya peace building yang demokratis. Dari sini, peran masyarakat sipil dapat juga dimanfaatkan untuk memperbaiki situasi dan kondisi secara bertahap (Olle Tornquist, Aceh: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian dan Rekonstruksi).
MoU Helsinki adalah sebuah penanda, dan dalam konteks Aceh, sebuah “simbol kontemporer” dari semangat politik identitas Aceh. Terlepas seberapa lemah daya tawarnya terhadap pemerintah pusat, atau kritisisme sebagian kalangan yang bahkan menganggap MoU sudah tak lagi layak dianggap ada, MoU Helsinki adalah “satu-satunya” penanda sejarah pascakonflik yang kita miliki: ia penanda yang mengakhiri konflik, membuka ruang kerja sama antara berbagai pihak, dan hasil yang ada sebagai fakta sejarah yang telah menjadi titik mula semangat untuk self-government.
Gerakan sosial sebagai bentuk politik identitas bukanlah sebuah kelompok reaksioner yang secara sporadis dan rutin memobilisasi massa untuk setiap isu krusial yang tak dihiraukan pemerintah. Gerakan sosial membutuhkan momentum, strategi, energi, investasi penanaman kesadaran kritis masyarakat, dan upaya untuk menjadikan isu-isu itu persoalan bersama.
Gerakan sosial dan politik identitas bisa jatuh pada chauvinisme yang berakibat negatif, karenanya, penulis juga berharap semua upaya mengorganisir masyarakat untuk satu isu atas nama rakyat tidak tergadaikan oleh kepentingan politik taktis semata.
Oleh Rizki Affiat adalah alumnus Ilmu Politik Universitas Indonesia. Saat ini aktif di Liga Inong Acheh (LINA).