- Pilkada Aceh Rawan Konflik
Foto oleh FKMIPOL ACEH |
JAKARTA-Tidak terasa sudah 6 tahun peringatan
MoU Helsinki (15/8/2005-15/8/2011) terjadi dan diperingati di Aceh.
Komisi Independen Pemilihan (KIP) se-Aceh juga memaksimalkan agenda
penjadwalan ulang tahapan pilkada pascapenghentian sementara seluruh
tahapan, 5 Agustus-5 September.
Enam tahun silam Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah Republik
Indonesia (Pemri) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani di
Helsinki, ibu kota Finlandia. Itulah hari di mana segala bentuk
permusuhan dihentikan, kampak perang dikubur, dan siklus dendam diputus.
Sejak itu, Aceh dalam hubungannya dengan Indonesia, mulai memasuki era
baru. Era hidup berdampingan secara damai, setelah konflik bersenjata
yang merusak relasi antarmanusia dihentikan melalui sebuah kesepakatan
damai.
Bak kata pepatah Aceh, pat ujeuen nyang han pirang, pat prang nyang tan
reuda. Dan itulah kenyataannya. Setelah berseteru sejak Desember 1976,
konflik Aceh yang dimotori GAM berakhir dengan damai pada 15 Agustus
2005, delapan bulan setelah tsunami meluluhlantakkan Aceh. Awalnya
banyak pihak meragukan perdamaian ini bakal berumur panjang, mengingat
upaya ke arah damai yang dirintis Henry Dunant Center (HDC) di Jenewa
tahun 2002 melalui jeda kemanusiaan (humanitarian pause), akhirnya
buyar. Lalu berganti dengan kebijakan menerapkan status darurat militer
dan darurat sipil di Aceh.
Tapi dalam perjalanannya, JoU Jenewa memang beda jauh dengan MoU
Helsinki. Kesepakatan berupa MoU yang dimediasi Crisis Management
Initiative (CMI) ini tampaknya lebih efektif dan lebih menjanjikan dalam
membumikan damai di Aceh. keberhasilan kita semua dalam merawat bayi
perdamaian harus kita lanjutkan secara lebih intensif lagi, mengingat di
banyak bekas daerah konflik, konfliknya bisa kembali relapse (kambuh)
setelah 5 hingga 10 tahun perdamaian berjalan.
Pertemuan antarpemangku kepentingan Aceh yang berlangsung di Kemendagri
itu menyepakati agar semua pihak menahan diri (cooling down) demi
menurunkan tensi politik yang sempat memanas menjelang pemilihan kepala
daerah. Tapi meski diminta untuk menahan diri, tahapan pelaksanaan
pilkada bisa terus dijalankan oleh KIP Aceh. Pertemuan yang berlangsung
alot itu tidak menyepakati untuk menunda waktu pemungutan suara yang
telah dijadwalkan KIP. Dalam tahapan yang ditetapkan KIP, pemungutan
suara akan dilakukan pada 14 November 2011.
KIP Aceh akan memintai tanggapan dan masukan dari seluruh KIP se-Aceh
terkait agenda penyusunan ulang jadwal pilkada di Aceh. Beberapa masalah
harus diinventarisir, termasuk soal penjadwalan ulang. Menurut Ilham
seluruh KIP di kabupaten/kota diharapkan sudah mendata persoalan apa
saja yang akan dibahas dalam forum pertemuan. “Masing-masing KIP sudah
siap dengan inventarisir masalah,”
Pihak KIP Aceh juga sudah mengagendakan pertemuan dengan Mendagri
terkait pembahasan lanjutan Surat Mendagri yang meminta KIP membahas
ulang jadwal pilkada dan permintaan cooling down. KIP menilai surat
Mendagri tersebut perlu mendapat kejelasan lebih lanjut dari pihak
Kemendagri karena ada poin yang dinilai masih multitafsir. Terutama soal
poin yang menyebutkan; “apabila penjadwalan ulang mengakibatkan
bergesernya hari pemungutan suara lebih dari 30 (tiga puluh) hari maka
KIP Aceh mengusulkan penundaan sebagian tahapan pilkada sesuai dengan
perundangundangan.”
Kesepakatan cooling down yang dicapai para pihak, menurutnya, adalah
untuk mendinginkan/menyejukkan ketegangan politik antara legislatif
dengan eksekutif terkait perbedaan pandangan menyangkut regulasi
pilkada. KIP dan Gubernur bersepakat untuk mengeksekusi putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon perseorangan maju dalam
pilkada. Namun sebaliknya, DPRA bersikukuh tidak memasukkan calon
independen dalam Qanun Pilkada yang disahkan pada akhir Juni lalu. Dalam
pertemuan itu juga disepakati bahwa DPRA akan membahas ulang Rancangan
Qanun Pilkada dengan mengakomodasi calon perseorangan. “Pembahasannya
seusai Lebaran,” kata Gubernur Irwandi.
Seluruh pengurus partai politik (parpol) yang hadir dalam pertemuan
kemarin setuju bahwa untuk penyelesaian konflik regulasi pilkada di Aceh
dilakukan dengan cara cooling down atau penghentian sementara tahapan
Pilkada Aceh selama sebulan penuh (4 Agustus-5 September 2011).
Malik Mahmud mengucapkan terima kasih atas sikap semua pihak untuk
cooling down berkaitan dengan konflik regulasi pada pertemuan di
Kemendagri. “Orang Aceh sangat demokratis. Kita tahu kapan harus perang
dan kapan kita berdialog. Alhamdulillah, kami para pihak yang
menandatangani MoU Helsinki juga melakukan komunikasi dengan Jusuf Kalla
dan Hamid Awaluddin. Kita sepakat untuk menjaga perdamaian dengan
menghormati kekhususan Aceh dan kesepakatan MoU Helsinki,” ujarnya.
Tuntutan ini tetap kami pertahankan dalam pertemuan tingkat tinggi
dengan pemerintah pusat dengan maksud, supaya ke depan, jika ada pihak
yang mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal UUPA, maka Mahkamah
Konstitusi (MK) dan pemerintah pusat harus mengkonsultasikannya lebih
dulu kepada DPRA dan Pemerintah Aceh sebagaimana diamanatkan UUPA.
Walaupun banyak yang mengatakan bahwa orang Aceh ekstrem, namun orang
Aceh juga sangat demokratis. Kita tahu kapan harus perang dan kapan kita
berdialog. Semua pihak harus mengedepankan musyawarah. Alhamdulillah,
kami para pihak yang menandatangani MoU Helsinki juga melakukan
komunikasi baik dan silaturahmi dengan Jusuf Kalla dan Hamid Awaluddin.
Kita sepakat untuk menjaga perdamaian dengan menghormati kekhususan Aceh
dan kesepakatan MoU Helsinki.
Dengan adanya MoU Helsinki, seharusnya Aceh sudah menjadi daerah yang
khusus. Semua kebijakan yang harus diambil untuk Aceh ada sejarah dan
dasarnya dan semua pihak harus komit terhadap perdamaian.Biarlah rakyat
Aceh menentukan pimpinannya sendiri nanti pada tanggal 14 November 2011
untuk memilih pasangan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati
serta Walikota/Wakil Walikota yang amanat dan bertanggung jawab jauh
dari konflik-konflik yang menambah kesengsaraan bagi masyarakat.
Sumber : kompasiana