skip to main |
skip to sidebar
KISAH DAN MASALAH DI SEBALIK MOU HELSINKI
|
Foto by FKMIPOL Aceh |
Oleh Yusra Habib Abdul Ghani pada 21 Agustus 2010 jam 5:49
Yusra Habib Abdul Gani[1]
BICARA
soal perjanjian, ianya tidak lepas dari politik pemakaian bahasa,
mantiq dan politik hukum yang melahirkan akibat hukum dan aplikasinya.
Dalam konteks ini –khususnya dalam politik Islam– Perjanjian Hudaibiyah
boleh dijadikan rujukan, karena bahasa hukum yang dituangkan dalam
pasal-pasal bersifat muhkamat (yang pasti-pasti), bukan kalimat
mutashabihat (kontroversial), sehingga tidak muncul aneka penafsiran
yang berbeda dari kedua belah pihak. Inilah prinsip yang paling mendasar
dalam perundingan! Lebih daripada itu, jiwa dan sikap keterbukaan Nabi
Muhammad SAW kepada para sahabat saat menyusun draft 'agreement' itu
patut menjadi teladan. Misalnya, Umar bin Khattab pada awalnya tidak
setuju dengan klausul yang menyebut: "Umat Islam di luar Mekkah tidak
diperkenan melaksanakan ibadah Haji pada tahun pertama seusai
perundingan ini ditanda tangani." Setelah Rasulullah memberi penjelasan
bahwa: "untuk point ini kita surut selangkah, sebab umat Islam di
Mekkah, tokh tidak dilarang menunaikan ibadah Haji. Target dan strategi
kita ialah: bagaimana supaya nasib umat Islam yang berada di Mekkah
dijamin keselamatannya, bebas dari diteror, intimidasi, bebas beribadah
dan Mekkah segara kita kuasai." Sebelum Umar meng-ya-kan, beliau
bertanya: "Baginda bicara sebagai Muhammad pribadi atau sebagai Nabi?"
"Sebagai pemimpin dan Nabi" Jawab Baginda Rasul.
Jiwa dan sikap
keterbukaan seperti ini patut diteladani oleh juru runding GAM di
Helsinki (Februari-Agustus 2005), tapi sayang tidak terjadi. Draft MoU
dirahasiakan, termasuk kepada Tengku Hasan di Tiro (Wali negara),
Muzakkir Manaf (Panglima Perang) dan anggota kombatan lainnya. Mereka
baru tahu, seminggu sebelum ditanda tangani. Itupun, setelah dibocorkan
oleh Fadlon Tripa anggota GAM di Belanda). Memang benar, beberapa kali
aktivis sivil society dari Aceh diundang oleh LSM Oluv Palma dalam
rangka menjaring saran dan pendapat. Tetapi kehadiran mereka ternyata
bukan untuk membincang draft MoU, melainkan meng-amin-kan MoU Helsinki,
apapun hasilnya. Demkian juga terjadi dalam Rapat Sigom Donja GAM di
Denmark, April 2005, dimana draft preamble MoU Helsinki yang berbunyi:
"Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan
rakyat Acheh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan
adil dalam Negara Kesatuan dan Konstitusi Republik Indonesia."
disembunyikan oleh juru runding. Dalam kaitan ini, Irwandi Yusuf berkata
kepada Tengku Abdullah Ilyas, perwakilan GAM di Belanda: "Sekiranya
klausul MoU Helsinki sempat diketahui oleh kombatan GAM, rundingan ini
dipastikan gagal" {Kesaksian (testimoni) Tengku Abdullah Ilyas kepada
penulis di Rotterdam, Belanda, 23. Juli 2010, jam: 22:55, waktu Eropah.}
Selam
lima tahun MoU berjalan, banyak terjadi perselisihan paham. Misalnya
saja: point-point mengenai penggunaan lambang, emblem, bendera Aceh,
lambang dan bendera partai lokal, dll, yang tidak diatur secara jelas.
Akibatnya muncul aneka penafsiran yang tidak beragam. Buktinya: "Partai
GAM berlambang bendera bulan bintang -bendera kebesaran GAM." Kata Ketua
Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzakkir Manaf. Dipertegas lagi oleh
Sekretaris Jenderal Partai GAM T.M. Nazar: "Bendera bukan simbol
militer. Jadi tanda gambar dan lambang Partai GAM yang serupa dengan
bendera GAM bukanlah simbol militer GAM.," Sementara itu, Kapoltabes
Zulkarnain mengirim bantahan resmi dengan no surat. B/10/VII/2007 bahwa:
"Kepolisian keberatan terhadap penggunaan nama GAM dan lambang bendera
bulan bintang." (Detik.com: GAM Resmi Dirikan Partai Lokal Sabtu, 7.
Juli 2007). Bayangkan, MoU yang disepakati oleh masing-masing diplomat
tingkat tinggi negara, bisa diobok-obok oleh Kepolisian tinggal Provinsi
(lokal).
Selain itu terdapat point yang memalukan, yakni: pasal
1.1.4 MoU Helsinki yang mengatur soal batas Aceh. Dikatakan: "batas Aceh
berdasarkan pada 1 Juli 1956." Setelah ditelusuri, ternyata tidak
ditemukan UU yang mengatur tentang batas Aceh pada 1 Juli 1956. Prediksi
yang paling mendekati ialah UU No. 24/1956, tentang: "Pembentukan
Deretan Otonom Provinsi Aceh, dan Perubahan Peraturan Pembentukan
Provinsi Sumatera-Utara". Tetapi UU ini baru disahkan pada 29/11/1956
dan diundangkan pada 7/12/1956, bukan pada 1 Juli 1956. Artinya, status
UU No. 24/1956 pada 1 Juli 1956, masih berbentuk draf (RUU), berupa
embrio hukum yang belum dibubuhi nomor. Secara yuridis formal, sejak
tarikh 29/11/1956 dan atau 7/12/1956 inilah, UU No.24/1956 baru
mempunyai kepastian yang mengikat dan sah dijadikan sebagai dasar hukum.
Dengan demikian, poin 1.1.4 MoU Helsinki MoU Helsinki cacat hukum dan
illegal. Kedua belah juru runding ini ternyata buta hukum, tapi rumusan
orang-orang tolol hukum ini berlaku. Anèh tapi nyata!
Seterusnya,
rakyat Aceh baru tahu kalau: "MoU Helsinki menyisakan sejumlah masalah
yang belum selesai dan saya tidak mau kemukakan point-point-nya"
{Kesaksian Malik Mahmud, dalam peringatan 5 tahun MoU Helsinki, Jakarta
15.Agustus 2010. Serambi Indonesia, 16/08/2010.} Yang berarti, salama 5
tahun dipendam dan dirahasiakan. Jadi, tidak heran kalau nasib sisa para
Tapol Aceh yang meringkuk dalam Penjara Cipinang yang hingga sekarang
belum dibebaskan. Menurut hukum positif Indonesia, status mereka jelas
bukan sebagai tapol Aceh. "Kasus tiga tahanan asal Aceh bukan kategori
politik, sehingga tidak dapat dibebaskan begitu saja --dengan dasar
perjanjian Helsinki-- sebagaimana tahanan politik lainnya. Ini bukan
persoalan politik dan tidak masuk kategori perjanjian Helsinki."
{Patrialis Akbar: 3 Tahanan Aceh Bisa Ajukan Grasi. VIVAnews, 17.
Agustus 2010} Pada hal dalam BAP para tersangka mengaku sebagai anggota
GAM). Akar masalahnya ialah: pimpinan GAM tidak mau mengaku, bahwa
pelaku pembom BEJ dilakukan oleh anggota GAM. [Untuk diketahui saja.
Kode etik yang menyangkut rahasia negara, umumnya baru boleh dibeberkan
setelah 30 tahun. Bahkan Indonesia merahasiakan pembayaran 600 juta
golden –kompensasi perang– yang wajib Indonesia bayar kepada Belanda
mulai sejak Perjanjian KMB ditanda tangani tahun 1949 dan baru lunas dan
bocor tahun 2003. Hitung saja barapa tahun?] Jika MoU menyisakan
masalah itu masih rahasia, tunggu saja, yang sudah lewat 5 tahun! Yang
pasti, rakyat Aceh wajib belajar dari pengalaman masa silam. Bagaimana
juru runding GAM pernah mengalami teror, intimidasi dan dijebloskan
kedalam tahanan Polda dan penjara. Faktor penyebabnya karena rumusan
CoHA Geneva, tidak memuat klausul tentang keselamatan para juru runding,
hingga gagal menghadiri rundingan di Tokyo tahun 2003. Mereka lari
menyelamatkan diri masing-masing, walaupun kemudian ditangkap dan
dijebloskan lagi kedalam Penjara. Baru bebas, setelah prihal amnesty
kepada tapol Aceh diatur dalam MoU Helsinki. Waktu itu, CoHA tidak
mengatur tentang keselamatan dan perlindungan terhadap kombatan GAM
selama proses perundingan damai, hingga syahidnya Panglima Perang Aceh,
Tengku Abdullah Syafie.
Pertanyaan dan masalah mendasar disekitar
MoU Helsinki ialah: 'apakah yang berlaku di Aceh: MoU Helsinki atau UU.
No.11/2006? Perkara ini sudah saya kupas dalam buku: Selfgovernment
(Studi Bading Tentang Desain Administrasi Negara ) yang berdear resmi di
Aceh (Indonesia.) Bagi Jakarta, jawabannya sudah pasti bukan MoU
Helsinki, sebab ianya sudah dijabarkan kedalam UU. No.11/2006. Jawaban
mantan GAM (Aceh) ialah: MoU Helsinki yang berlaku di Aceh. Apalagi
pimpinan GAM berikrar: " "Bak uroë njoë geutanjoë ka keumah tapeugot
saboh peurdjandjian MoU deungon pihak peumeurintah Indonesia dalam usaha
peuseuleusoë konflik di Atjèh deungon tjara damè dan meumartabat. Peuë
njang ka djeuët keu peuneutôh bak uroë njoë nakeuh saboh langkah nibak
le lom langkah ukeuë njang akan tatjok untôk peu-aman dan peumakmu
nanggroë-teuh. ("Hari ini telah berhasil kita buat satu perjanjian MoU
dengan pihak pemerintah Indonesia dalam upaya menyelesaikan konflik di
Aceh dengan cara damai dan bermartabat. Apa yang telah diputuskan hari
ini adalah satu langkah dari banyak langkah ke depan yang akan kita
ambil alih untuk mengamankan dan memakmurkan negeri kita")
"....
lagèë njang meutuléh meunurôt asoë nibak MoU njan. Peumeurintah
Keudroë-teuh atawa Self Government akan tapeudong dan tabeuntuk di Atjèh
seusuai deungon peuë njang geumeuhadjat uléh bansa droëteuh, antara
laén, geutanjoë bibeuëh dalam peukara politék, ekonomi, peundidékan,
agama, seureuta hukôm keuadilan seutjara demokrasi." (... "Seperti yang
tertulis menurut kandungan MoU ini. Pemerintahan sendiri (Self
Government), akan kita dirikan dan bentuk di Aceh sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh bangsa kita, antara lain: kita bebas dalam perkara
politik, ekonomi, pendidikan, agama, serta hukum, keadilan secara
demokrasi." {Ucapan Malik Mahmud di pengasingan kepada bangsa Aceh, pada
hari penanda tanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, atas nama
Pemerintah Negara Aceh. (Kantor Perdana Menteri: P.O. Box 130, S-145 01
Norsborg Sweden, telp: +46 8 531 83833 FAX: +46 8 531 91275.)
Di
tengah pertarungan kepentingan itu, terdapat belasan masalah dalam UU.
No.11/2006 yang menunggu Peraturan Pemerintah (PP) dan Instruksi
Presiden, termasuk masalah pengelolaan Pelabuhan Bebas Sabang. Pada hal
UU. No.11/2006 dengan jelas menyebut bahwa: "selama-lamanya satu tahun
setelah UU ini diuandangkan, Peraturan Pemerintah (PP) dan Instruksi
sudah harus tersedia." Inilah yang dituntut Pemda Aceh. Sementara itu,
Malik Mahmud berkata: "MoU Helsinki (pen: bukan UU. No.11/2006)
menyisakan sejumlah masalah yang belum selesai..." } GAM bilang: yang
berlaku di Aceh Self Government. Indonesia bilang: Otonomi khusus.
Lantas, mana yang benar? Dalam konteks inilah, Martti Ahtasari pernah
meminta juru runding GAM supaya menyampaikan claim kepada CMI, sekiranya
ada point MoU yang belum diimplementasikan, tapi juru runding GAM tidak
mampu berbuat apa-apa. Bagaimana hendak menyusun claim, sementara
hubungan antara sesama juru rundingpun sudah hancur lebur –hilang
hubungan persaudaraan– dan yang wujud sekarang adalah menanam dan
bertahan dengan sikap permusuhan "abadi" antara sesama mereka dan orang
lain. Orang Aceh menang sorak, tapi kampung tergadai. Tertawa di depan
umum, menangis di belakang layar!!!
Akhrinya, Martti memilih diam
dan menyuarakan perasaan bingung: 'dengan pihak mana duduk berembuk dan
berunding? Sebab organisasi GAM, TNA sudah bubar dan klimaksnya, juru
runding GAM dan pemimpin GAM sudah menyerah kembali ke pangkuan Ibu
Pertiwi Indonesia. Dilematis dan tragis!
Akhirnya, biarlah orang
Aceh belajar dari realitas politik yang sudah dan sedang terjadi, agar
semakin matang berpolitik, sehingga tidak selalu ditipu oleh orang lain
dan oleh orang Aceh sendiri yang terkenal dengan "Tipu Aceh"-nya.
[1] . Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
;
linkwithin_text='Baca Juga:';