Ditandatanganinya nota kesepahaman damai (MoU) antara
pemerintah RI dan GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005, yang merupakan satu perubahan
yang sangat berharga bagi rakyat Aceh setelah puluhan tahun hasrat untuk
berdamai itu hanya sekedar wacana. Penandatanganan MoU itu sendiri bukan hanya
di Helsinki saja yang di fasilitator proses negosiasi Martti Ahtiasaari Mantan
Presiden Finlandia atau Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiatif (CMI),
namun sebelumnya upaya perundingan damai itu juga pernah dilakukan tapi
hasilnya selalu mentah ditengah jalan diakibatkan dari kendala-kendala yang
dihadapi seperti pada :
- 12 Mei 2000 Untuk pertama kalinya Pemerintah Republic Indonesia berdialok dengan gerakan aceh merdeka dan difasilitasi (HDC). RI yang di wakili Hasan Wirajuda dan Zaini Abdullah dari pihak GAM, menandatangani Joint Understanding On Humanitation Pause For Aceh di Bavois, Swiss. Perjanjian ini di kenal dengan sebutan jeda kemanusiaan, 2 Juni 2000 – 2 September 2000 Jeda kemanusian tahap pertama berlangsung efektif, kendati tak menghilangkan aksi-aksi kekerasan sama sekali.
- 15 September 2000 – 15 Januari 2001 Jeda kemanusian tahap dua berlangsung efektif, kendati tak menghilangkan aksi-aksi kekerasan sama sekali.
- 9 Januari 2001 RI dan GAM menandatangani dokumen sementara yang berisi kesepakatan untuk mentranformasikan perjuagan GAM dari kekuatan bersenjata menjadi perjuagan politik
- 29 Juni – 1 Juli 2001 RI dan GAM Berunding Di Jenewa. Kedua belah pihak sepakat meredakan ketengagan di Aceh dan sepakat untuk melakukan pertemuan lanjutan di Aceh yang melibatkan wakil pemerintah RI dan GAM serta elemen masyarakat Aceh untuk penyelesaian komplik Aceh secara kmprehensip. Pertemuan itu juga menyepakati pembentukan komite bersama masalah keamanan dan membubarkan komite bersama aksi kemanusiaan
- Pertengahan 2001 Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat menggadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata.
- 20 Juli 2001 Komisaris Besar Polisi Surya Darma Kepala Direktorat Serse Polda Aceh Memimpin Enam Penangkapan Jurunding GAM di Hotel Kuala Tripa di saksikan beberapa staf henry dunant center (HDC). Para juru runding yang di tangkap Tungku Nashiruddin Bin Ahmed, Ungku Bin Ahmad Marzuki, Amdi Hadani, Tungku Kamaruzzaman, Nashrullah Dahlawi Dan Tungku Muhammad.
- Mei 2000 Pertemuan lanjutan antara GAM dan wakil RI awal Mei 2002 membuahkan formalisasi dokumen Februari yang di keluarkan Henri Dunant Center. Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua belah pihak menandatangani sebuah pernyataan bersama dengan isi yang secara etensial sama dengan dokumen Februari tersebut.
- Juni 2002 Pertemuan ketiga, antara GAM dan RI, batal digelar karena situasi di lapangan memburuk.
- 19 Agustus 2002 Pemerintah RI mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh: GAM di beri kesempatan sampai akhir bulan Ramadhan, 7 Desember 2002, untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai persyaratan bagi bagi dialog lebih lanjut, atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia.
- 19 November 2002 HDC mengumumkan bahwa kedua belah pihak telah memberi komitmen untuk menyekapi sebuah persetujuan. Meski beberapa isu masih harus di selesaikan, persetujuan penghentian permusuhan di rencanakan untuk di sepakati 9 Desember 2002.
- 3 Desember 2002 Konferensi tentang Aceh yang disponsori Jepang, Amerika Serikat dan badan-badan pendaan internasional, digelar di Tokyo. Konferensi ini bertujuan menghimpun dana bagi pembanggunan kembali Aceh setelah kedua pihak menandatangani persetujuan penghentian permusuhan itu. Negara perserta adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis, Jerman, Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC, GAM diundang kekonferensi itu tetapi tidak menghadirkan wakilnya.
- 9 Desember 2002 Pemerintah dan GAM di Jenewa, Swiss menandatangani kesepakatan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA). Perjanjian ini menekan drastis angka korban tindak kekerasan di Aceh. Ada empat agenda penting yang disepakati bidang keamanan membentuk komite bersama untuk keamanan (JSC-Joint Security Commite) yang kemudian menghasilkan kesepakatan zona damai di beberapa daerah di Aceh, bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, dan civilian reform. Joint Security Council (JSC-Komite Keamanan Bersama) di bawah kendali Mayjen Thanungsak Tuvina dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomoro Lomodag dari Pilipina.
- 16 Mei 2003 Para juru runding GAM yang hendak menghadiri pertemuan Dewan Bersama di Tokyo, Jepang ditangkap, kelima juru runding tersebut yakni : Sofyan Ibrahim Tiba, Teuku Kamaruzzaman, Amni Bin Ahmad Marzuki, Nashiruddin Ahmad, serta M Usman Lampoh Awe.
- 18 Mei 2003 Joint Council Meeting di Japan International Corperation Agency (JICA) di Tokyo, Jepang gagal. Pemerintah RI mensyaratkan GAM harus menerima Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh dalam kerangka NKRI, serta peletakan senjata GAM. Pihak GAM tak dapat menerima tawaran otonomi. Sebaliknya, lewat Zaini Abdullah Menteri Luar Negeri GAM saat itu ingin mengikuti kesepakatan Jenewa 9 Desember 2002, yaitu menjalankan pasal-pasal CoHA.
- 19 Mei 2003 - 18 Mei 2004 Presiden Megawati mengeluarkan Kepetusan Presiden (Kepres) No 28/2003 yang menetapkan seluruh Aceh dalam keadaan bahaya dengan status darurat militer, kepres ini yang berlaku sejak senin (19/15) pukul 00.00 WIB ini membawa konsekuensi terjadinya konflik bersenjata (armed conflict). Status darurat militer diperpanjang kembali selama enam bulan.
- 19 Mei 2004 – 18 Mei 2005 Pemerintah memberlakukan darurat sipil di Aceh, mengantikan darurat militer.
Dengan demikian
pasca musibah Aceh pada 26 Desember 2004 yaitu Bencana gempa bumi dan gelombang
tsunami melanda Aceh dan menewaskan
sekitar 200.000 jiwa. Dan untuk pertama kalinya memulai perundingan baru pada
27-29 Januari 2005 Delegasi RI dan GAM bertemu di Helsinki, Filandia, setelah
hampir dua tahun Aceh berada dalam
status darurat. Pertemuan informal itu
di fasilitasi oleh bekas Presiden Filandia Marti Ahtisaari dari Crisis
Management Initiative (CMI). pertemuan tiga hari itu tidak menghasilkan
kesepakatan gencatan senjata pascatsunami di Aceh.
Sehingga pada 21-23
Februari 2005 Delegasi RI dan GAM
kembali bertemu untuk kedua kalinya di Helsinki, Filandia yang juga
difasilitasi CMI, pada pertemuan yang kedua kalinya itu berhasil membangun
sebuah dialog yang konfrehensif terkait perdamaian Aceh. Meski perundingan
belum ada satu kata sepakat dalam hal tertentu namun kedua belah pihak telah
membuka lembaran baru dalam perundingan selanjutnya yang ditawarkan presiden
Ahtiasaari pada 12-17 April 2005 dengan materi dialog putaran ketiga di
Helsinki yaitu (1) Persoalan otonomi khusus atau self goverment untuk Aceh, (2) Pengampunan (amnesti) bagi anggota
dan tahanan politik GAM, (3) Pengaturan keamanan (pengembalian senjata yang
masih ada di tangan GAM, (4) Pembentukan tim monitoring penerapan kesepakatan,
dan (5) Penetapan kurun waktu pelaksanaan kesepakatan. Dalam perundingan
tersebut berhasil menciptakan sebuah perdamain yang bermartabat, berkelanjutan
dan menyeluruh bagi semua. Demikian ringkasan singkat historis perdamaian Aceh.
(Aceh Kita Maret 2006)
Sehingga hasil tindak
lanjut yang ketiga kalinya tersebut menghasilkan satu kesepakatan damai yang
tertuang dalam nota kesepahaman damai (MoU) antara RI dan GAM dan sesuai dengan
isi MoU tersebut yang tertera pada poin 1 tentang penyelenggaraan pemerintahan
di Aceh yang diatur dalam poin 1.1.1 yaitu Undang-undang tentang
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh maka lahirlah undang-undang baru tentang
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh (UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh – UUPA), begitu juga terhadap poin 1.2 tentang partisipasi politik yang
dijelaskan dalam poin 1.2.1 yang inti bunyinya yaitu pemerintah RI menyepakati
dan akan menfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh
yang memenuhi persyaratan nasional, serta poin 1.2.2 yang bunyinya dengan
penandatanganan nota kesepahaman ini (MoU-pen), rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan
calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di
Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.
Oleh karena itu
tindak lanjut poin 1.2.1 dan poin 1.2.2 MoU ini direalisasikan kedalam UUPA
sehingga dalam Bab XI tentang partai politik lokal dan Bab X bagian ketiga
tentang pencalonan, maka dalam pasal 67 ayat 1 tentang pasangan calon
gubernur/wakil gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota
sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat 1 tentang gubernur/wakil gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang
demokratis bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Dalam pasal
67 tersebut di ajukan oleh : (a) Partai politik atau gabungan partai politik,
(b) Partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal, (c) Gabungan
partai politik dan partai politik lokal, dan (d) perseorangan.
Dimana dalam pasal
67 ini dibatasi dengan pasal 256 dengan bunyi Ketentuan yang mengatur calon
perseorangan dalam Pemilihan gubernur/wakil gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Wali Kota/Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 ayat (1) huruf d,
berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang
ini (UUPA-pen) di undangkan.
Dengan demikian
empat warga Aceh yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah melalui
jalur perseorangan atau independent namun kehendaknya itu dibatasi dengan pasal
256 UUPA. Sehingga mereka mengajukan gugatan
judicial review terhadap pasal 256 tersebut yang diajukan oleh empat warga Aceh
yang merencanakan ikut serta dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) pada
2011, yakni Tami Anshar Mohd Nur, calon bupati/wakil bupati Kabupaten Pidie,
Faurizal, calon bupati/wakil bupati Kabupaten Bireuen, Zainudin Salam, calon
bupati/wakil bupati kabupaten Aceh Timur dan Hasbi Baday, calon
bupati/wakil bupati Kabupaten Simeulue.
Alasan judicial review tersebut para pemohon
menyatakan, Pasal 256 UUPA yang berbunyi; “ketentuan yang mengatur calon
perseorangan dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati. Atau
walikota/wakil walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf
d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak
Undang-Undang ini diundangklan,” dinilai telah menutup peluang bagi calon
independen pada Pilkada 2011 di Aceh, dan itu bertentangan dengan Pasal 18 ayat
(4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), Pasal 28 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. “Pasal 256 UUPA telah
menghilangkan makna demokrasi bahwa semua warga Negara berhak menjadi calon
kepala daerah dalam Pemilukada di Aceh. Karena itu kami ingin pasal itu tidak
diberlakukan lagi,” kata Safaruddin.
Alasan lain, Pasal 256 UUPA merugikan para pemohon
sebagai warga negara yang berkeinginan mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Pilkada mendatang. Pasal
tersebut hanya memberikan hak kepada parlok yang berbasis nasional dan lokal
untuk mengusulkan/mengajukan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah
serta menutup peluang pasangan calon independen. Pembatasan itu dianggap
bertentangan dengan Pasal 28 1 ayat (2) UUD 45, ujar Safaruddin. (Serambi Indonesia)
Atas permohonan
empat warga Aceh tersebut, sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan No
35/PUU-VIII/2010 dikeluarkan pada 30
Desember 2010. Putusan itu memutuskan yang mencabut pasal 256 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal ini menyebutkan, calon perseorangan
(independen) hanya berlaku satu kali setelah Undang-undang itu diberlakukan.
Dengan demikian rupanya menimbulkan reaksi dari DPRA terhadap
putusan MK tersebut yang beralasan bahwa di dalam pasal 269 ayat (3) mengatakan bahwa dalam hal adanya
rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu
berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA, disisi lain DPRA akan menggugat
putusan MK tersebut dengan alasan bahwa di dalam Pasal 18b UUD 1945 dijelaskan,
negara mengakui daerah yang bersifat atau berstatus khusus yang diatur dengan
UU. Kekhususan Aceh, diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. (serambi indonesia 10 Oktober 2011)
Namun sampai saat ini tahapan pelaksanaan pilkada Aceh
yang telah dirumuskan KIP pasca calling dawn tetap berjalan dengan lancar
selama belum ada keputusan penundaan pilkada dari KPU Pusat. sementara itu calon
yang sudah mendaftar sebanyak 128 pasangan (256 calon), Berdasarkan data yang
dirilis Media Center Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Senin (10/10),
jumlah pasangan calon yang telah mendaftar di KIP kabupaten/kota masing-masing,
Aceh Tengah sebanyak 13 pasangan calon, Aceh Barat 12, Langsa 10, Lhokseumawe
10, Aceh Singkil 9, Aceh Timur 9, Bener Meriah 7, Aceh Utara 7, Abdya 6,
Simeulue 5, Nagan Raya 5, Gayo Lues 4, Aceh Jaya 4, Banda Aceh 5, Aceh Besar 7,
Pidie 8 dan Sabang 4 pasangan.
Sedangkan tingkat provinsi untuk calon gubernur/calon
wakil gubernur, yang mendaftar hanya tiga pasangan calon. Sebagian besar
kandidat yang sudah terdaftar tersebut maju melalui jalur perseorangan mencapai
90 pasangan. Sedangkan kandidat yang maju melalui partai atau gabungan partai
politik sebanyak 38 pasangan. (serambi
indonesia, 11 Oktober 2011)
Namun sebaliknya
Partai Aceh (PA) yang telah menentukan pasangan calon gubernur/wakil gubernur,
bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota di setiap-setiap daerah tidak
mendaftar sebagai calon kepala daerah dengan alasanan seperti yang diutarakan
oleh Ketua Umum Partai
Aceh, Muzakir Manaf, menyatakan sikap pihaknya tidak akan mendaftar sebagai
calon Gubernur, calon Bupati/Wali Kota, apabila Presiden mengambil keputusan
pilkada tetap dilanjutkan sesuai tahapan yang telah ditetapkan KIP Aceh. Jika
tahapan pilkada sesuai yang telah ditetapkan, maka batas akhir pendaftaran
calon kepala daerah ke KIP hari ini, Jumat (7/10/2011) hingga pukul 00.00 WIB.
"Jika Presiden memberi keputusan tidak jelas, maksudnya
pilkada dilanjutkan sesuai tahapan KIP, maka PA tidak ikut dan mengundang pihak
ketiga dari uni eropa untuk memfasilitasi hal ini," kata Muzakir saat
konferensi di Kantor PA, Jumat (7/10/2011) pukul 11.00 WIB. (serambi indonesia, 7 Oktober 2011)
Berikut pernyataan atau tanggapan mereka terhadap Pilkada
Aceh :
- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary menegaskan, pelaksanaan Pilkada Aceh harus terus berlangsung. Penundaan hanya bisa dilakukan bila ada penyebab yang sesuai dengan peraturan perundangan. "Pilkada Aceh akan berjalan sesuai jadwal kecuali ada hal yang mengharuskan dan dibenarkan secara hukum. Misalnya, ada rekomendasi resmi dari aparat keamanan yang meminta KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh untuk menunda pilkada atau ada putusan pengadilan," tutur Hafiz, Selasa (kompas 11/10/2011) di Jakarta.
- Komisi Independent Pemilihan (KIP) Aceh : Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh memastikan melanjutkan tahapan Pilkada 2011 yang sedah ditetapkan dalam keputusan KIP No 17 Tahun 2011. Keputusan KIP itu berdasarkan instruksi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
- Kapolda Sampai kini Aceh aman,Jika kondisinya aman dan calon pesertanya telah memenuhi syarat, meskipun hanya dua pasang calon, pilkada tetap bisa dilaksanakan. Jikapun ada pihak yang meminta ditunda, Presiden tidak bisa intervensi untuk menundanya,” tegas Asisten Deputi (Asdep) I Poldagri Menkopulhukam, Brigjen Sumardi didampingi Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, pada acara jumpa pers di ruang rapat kerja Gubernur Aceh, Jumat (serambi indonesia, 15/7).
- Asisten Deputi I Sesmenko Polhukam Brigjen Sumardi menegaskan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pilkada Aceh harus dipenuhi. "Kalau ada sumbatan-sumbatan seperti tidak setuju dengan adanya calon independen di Aceh, berarti di Aceh sudah tidak ada demokrasi," kata Sumardi ketika memaparkan pemantapan stabilitas politik dan hukum dalam Rapat Kerja Pimpinan Daerah di Aula Serba Guna Kantor Gubernur Aceh, Kamis (atjehpost.com, 6/10).
- Gubernur Aceh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menegaskan, tak ada alasan menunda Pemilukada selain tiga alasan yuridis yang dibenarkan hukum. “Pemilu bisa ditunda karena tiga hal, yakni ketiadaan anggaran, bencana alam yang menghambat sebagian atau seluruh tahapan Pemilukada dan bila ada konflik atau perang,” kata Irwandi pada wartawan, Kamis (14/7). Menurut Irwandi, soal anggaran pemilukada, sampai saat ini bukan masalah. Soal bencana alam, lanjut dia, semua juga tahu sekarang tak ada bencana. “Yang terakhir, saat ini juga tak ada kerusuhan yang dapat menghambat jalannya pemilukada. Kecuali, parpol yang membuat kerusuhan, baik kerusuhan politik atau perang yang tak bisa diatasi oleh aparat keamanan, ini baru boleh,” kata Irwandi. (harian aceh, 14/7). Tahapan pemilihan kepala Daerah Aceh 2011 akhirnya tetap dilanjutkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk tak mengintervensi, dengan memutuskan penundaan. Dalam keterangannya kepada pers, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, mengatakan, dari hasil pertemuan dengan Presiden, Jumat (7/10/211), Presiden mengatakan tak berhak mencampuri pilkada di Aceh, karena hal itu urusan Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Independen Aceh (KIP). (kompas, 7/10)
- Mahkamah Konstitusi (MK) : Mempersilakan DPRA dan Forum Keadilan Perjuangan Rakyat Aceh (Fopkra) melakukan gugatan terhadap putusan judicial review MK tentang Pasal 256 UUPA yang meloloskan calon independen. serta Ketua MK Mahfud MD menyatakan bahwa MK tidak bisa membatalkan putusan yang sudah dikeluarkan. “Putusan MK itu final dan mengikat, Tidak bisa dibatalkan (serambi indonesia, 11 Oktober 2011)
- Zaini Abdullah : Bagi kalangan Partai Aceh yang terpenting saat ini adalah menyelamatnya marwah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang merupakan hasil perjuangan rakyat Aceh. “Pilkada Aceh itu persoalan kecil, yang terpenting saat ini bagaimana kita menyelamatkan marwah UUPA sebagai buah dari perjuangan panjang rakyat Aceh,” tegas Zaini. (atjehpost.com, 11 Oktober 2011)
- Partai Aceh : Abdullah Saleh mengatakan lembaga negara harus mengakui kekhususan Aceh dan tidak boleh mengutak-atik (melakukan perubahan/menghapus pasal) dari UUPA seenaknya, sebelum berkonsultasi dan meminta pertimbangan DPRA,” katanya kepada Serambi, Minggu (9/10).
- Muzakir Manaf (Ketua DPP Partai Aceh) Muzakir Manaf mengatakan keberadaan sejumlah partai lokal di Aceh seharusnya sudah mewakili aspirasi independen untuk maju dalam bursa Pilkada Aceh 2011. Pemerintah diharap mengkaji ulang putusan KIP agar pelaksanaan Pilkada Aceh 2011 berjalan sesuai kesepakatan uni Eropa. Menurut Muzakir kekisruhan yang terjadi saat ini hanya disebabkan segelintir oknum yang memiliki maksud tertentu di Aceh. Meski begitu, Partai Aceh tak akan mempersoalkan itu, dan lebih mengambil kebijakan untuk tidak terlibat dalam Pilkada Aceh 2011.
- Pengamat politik sosial Aceh Otto Syamsuddin Ishak menilai Uni Eropa (UE) tak berhak mencampuri pelaksanaan pilkada yang telah ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Namun, jika pihak Partai Aceh (PA) masih keberatan terhadap calon independen, silakan menggugat putusan judicial review Pasal 256 UUPA ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon independen di Aceh. (serambi indonesia, 10 Oktober 2011)
- Pakar hukum Unsyiah Mawardi Ismail SH MHum Langkah DPRA dan Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (Fopkra) melayangkan gugatan terhadap putusan judicial review Pasal 256 UUPA ke Mahkamah Konstitusi (MK), dinilai salah alamat. MK dipastikan tidak bisa memproses gugatan itu, karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada lagi upaya hukum setelahnya. “Saya tidak tahu apa yang bisa menjadi dasar putusan MK itu bisa digugat. Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Makamah Konstitusi, putusan MK itu bersifat mengikat dan final. Ini artinya, tidak ada upaya hukum lagi, setelah putusan MK, kecuali untuk dilaksanakan,” ungkap Mawardi Ismail, menjawab Serambi via telepon kemarin. (serambi indonesia, 10 Oktober 2011)
- Ketua Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) Aceh, Safaruddin SH “Langkah DPRA menggugat putusan MK itu tidak tepat, karena putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Seharusnya yang dilakukan DPRA adalah, menggugat SK KIP tentang tahapan pilkada. Kalau SK pilkada ini digugat dan diterima, maka batallah semua tahapan pilkada. Jadi semuanya harus dimulai dari awal lagi,” kata Safaruddin. Ia berpendapat, peluang DPRA untuk menggugat SK KIP itu masih tahapan terbuka, melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “KIP itu kan pejabat negara, maka keputusan (SK) nya bisa digugat ke PTUN,” kata dia (serambi indonesia, 10 Oktober 2011)
- Golkar Menurut Muntasir (petinngi partai golkar), mengatakan sikap DPD Partai Golkar tak mengusung cagub/cawagub sebagai komitmen partai itu menjaga perdamaian Aceh yang ikut dirintis oleh Golkar. Mereka menilai tahapan pilkada yang telah ditetapkan KIP Aceh masih ada konflik regulasi yang bertentangan dengan perdamaian Aceh. “Namun, DPD I Golkar Aceh tetap memberikan kebebasan kepada kabupaten/kota untuk mengusung calon-calon pilihan partai kami. Bahkan, Pak Sulaiman sendiri yang meminta agar kabupaten/kota tetap mengusung calon dari Golkar,” ujarnya kepada serambi (10/10)
- F-DIPA Koordinator Forum Demokrasi Indonesia dan Perdamaian Aceh atau F-DIPA, Taufik Abdullah, menilai idealnya konflik regulasi Pilkada Aceh diselesaikan melalui konsensus para pihak, yaitu Pemerintah Pusat, Crisis Management Initiative (CMI), dan Pemerintah Aceh. Eksekutif dan Legislatif Aceh terlibat sebagai referentasi masyarakat Aceh. (atjehpost.com, 08 Oktober 2011)
- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengharapkan DPRA berjiwa besar menghadapi jalannya Pemilukada Aceh. Wacana boikot Pemilukada selain bukan jalan terbaik menghadapi masalah, sikap itu juga bukan kapasitas legislatif. Hal itu disampaikan Yusril menyikapi polemik regulasi pemilukada Aceh antara KIP dan DPRA yang akhir-akhir ini semakin meruncing. “Harapan saya selaku pribadi, DPRA harus mengedepankan jiwa besar dalam menghadapi polemik ini,” kata Yusril kepada Harian Aceh, saat dihubungi, Selasa (3/10) malam.
(saf)