Teuku Kemal Fasya |
Oleh Teuku Kemal Fasya
KETIKA menuliskan artikel ini saya teringat sebuah film thriller yang memiliki cerita agak rumit, State of Play (2009). Film itu bercerita tentang seorang jurnalis senior Washington Globe, Cal McAffrey (Russel Crowe) yang mencoba membongkar kasus kematian seorang perempuan muda, Sonia Barker, yang bekerja di Point Corp, sebuah lembaga swasta yang mengurusi bisnis militer dan intelejen di Amerika Serikat. Kasus “bunuh diri” perempuan itu awalnya hanya dihubungkan dengan skandal cinta seorang anggota kongres, Stephen Collins (Ben Afflect).
Namun Cal tidak percaya gosip murahan itu. Bersama asistennya, Della Frye (Rachel McAdams) mereka mencoba masuk lebih dalam. Akhirnya keluar pengakuan Collins bahwa ada konspirasi kotor yang mencoba menganggunya terkait pengesahan RUU privatisasi lembaga kontraktor pertahanan itu. Ada kelompok di legislatif yang menggunakan cara-cara “non-dialogis” dengan sinyal teror pembunuhan. Ia pun meyakini Sonia Barker bukan mati karena bunuh diri, tapi bagian dari konspirasi politik kelompok anti-Point Corps.
Dasar seorang jurnalis teguh, Cal tak yakin begitu saja pengakuan rekannya yang menjadi wakil rakyat itu. Akhirnya selubung terbuka. Sonia Barker mati tidak behubungan dengan Point Corps, tidak oleh kebijakan pimpinan lembaga itu, bukan karena konspirasi kotor di balik proses legislasi, atau improvisasi anak buah Collins, Robert Bingham (Michael Beresse) yang membunuhnya, tapi memang skenario dari Collins sendiri.
Konteks Aceh
Apa hubungan film itu dengan konteks karut-marut pilkada Aceh saat ini? Pertama dari judulnya, State of Play, menunjukkan bahwa bermain-main atas nama lembaga negara untuk kepentingan pribadi bukan hanya gambaran di AS sana, tapi juga tereplikasi pada gambaran politik di Aceh terkini.
Kedua, sebenarnya sebagian (besar) kekacauan politik saat ini disebabkan oleh sikap DPRA yang terus mendramatisasi masalah calon perseorangan. Ini bisa dilihat sebagai sikap terlalu mengentengkan regulasi, undang-undang, dan konstitusi, dan tak menganggap serius semua itu kecuali hanya hasrat pada kekuasaan. Regulasi diupayakan sesuai dengan motif politik, jika tidak ditolak. Logika apa pun ditancapkan-awalnya oleh DPRA-untuk mendelegitimasi keputusan MK. Namun, di sisi lain, semua tafsir hukum mendukung peminggiran calon independen dipadatkan meskipun buruk kualitas nalar hukumnya.
Apakah keputusan MK itu inkonstitusional? Tentu tidak. Keputusan itu diambil oleh para hakim konstitusi terbaik di negeri ini melalui pertimbangan hukum mendalam dan dengan semangat sebagai penjaga konstitusi bangsa (the guardian of constitution). Apakah keputusan itu memuaskan seluruh masyarakat Aceh? Juga tidak. Semua keputusan hukum memiliki konsekuensi persetujuan atau penolakan. Namun ketika keputusan telah ada, telah menjadi positif, ia mengikat dan final untuk semua, kecuali keputusan itu dibatalkan. Fraksi PA yang paling keras menolaknya ternyata tidak melakukan apa-apa untuk menggugat keputusan yang sudah berumur hampir setahun itu. DPRA baru menggugat MK setelah KIP tetap menjalankan proses pendaftaran peserta Pilkada hingga ditutup pada 7 Oktober 2011 (Serambi Indonesia, 9 Oktober).
Sikap tanpa kompromi DPRA (dan tidak merepresentasi semua karena Demokrat dan PPP tetap mendaftarkan kandidatnya, Muhammad Nazar-Nova Iriansyah) sebenarnya bukan sikap kenegaraan yang benar. Termasuk sikap ketua DPRA yang mengancam tidak akan mengikuti proses dengar pendapat calon gubernur-wakil gubernur dan melantik gubernur terpilih.
Perlu diingat, seorang pejabat negara harus mematuhi kode-kode pemerintahan dan mengalahkan egoisme pribadinya. Ketika mengemban jabatan publik maka kepentingan publik (public affair) harus dikedepankan dan bukan curhatan pribadi lagi. Apabila tak sanggup mengemban peran publik, pilihan tinggal satu: mundur. Itu yang dilakukan oleh Dicky Chandra, wakil bupati Garut dan para pemimpin di Jepang. Sikap seperti itu lebih kesatria dibandingkan terus merongrong pemerintahan dari dalam.
Ketiga, ruang politik harus menjadi ruang perpindahan negosiasi dan kompromi secara rasional dan tanpa kekerasan. Proses itu harus berhenti saat konsensus, karena setiap hal memerlukan eksekusi. Perdebatan wacana calon independen sangat bisa terus berkepanjangan tapi harus berhenti ketika menjadi kebijakan. Sikap terbaik yang diajarkan dalam demokrasi, “sepakat dalam ketidaksepakatan” bisa diambil. Apa yang sudah terjadi tidak bisa berlaku surut, dan menjadi pelajaran untuk tidak lalai lagi ke depan hari.
Saat ini semua pihak harus komitmen menjamin pilkada Aceh berjalan damai, transparan, jujur, dan tanpa rekayasa. Lupakan perbedaan karena hanya menumpuk kemarahan permanen dan mengecilkan jiwa. Jadilah seorang negarawan dengan memberi contoh terbaik kepada rakyat!
Nasib PA
Agak menyedihkan melihat sikap ketua PA yang menyatakan menarik diri dari proses pilkada. PA bagaimana pun masih dicitrakan kekuatan sebagai politik dominan di Aceh. Pengalaman pilkada 2006/2007 menunjukkan mereka berhasil menguasai 10 dari 23 kabupaten/kota melalui calon independen yang merupakan representasi eks-GAM dan SIRA.
Sikap ini menunjukkan kurangnya perhitungan rasional. Padahal PA tetap bisa ikut bersaing dalam pilkada ini dengan ketidaksetujuannya pada sebagian prosesnya. Ketidakikutan PA (kecuali di Aceh Tengah) menunjukkan sikap tidak siap kalah sekaligus juga tidak ingin menang. Ini bukan sikap bushido dari representasi populis Aceh.
Namun di sisi lain kita juga perlu berempati pada sikap PA yang merugikan ini. Terbukti hari ini beberapa anggota PA menyatakan keluar setelah mereka tidak mendapatkan peluang untuk berpartisipasi dalam pilkada. Ini bentuk ketidaksadaran politik (political unconsiousness) yang harus diinsyafi sebelum semakin buruk.
Proses perbaikannya hanya mungkin jika pimpinan PA akomodatif dan membuka diri atas perbedaan, dan pelan-pelan melakukan konsolidasi di tengah situasi yang semakin menderu-deru seperti saat ini. Perlu ada koreksi atas sikap politik keras demi kepentingan perdamaian Aceh dan konstituennya. Seperti pesan moral dalam film di atas, semua situasi saat ini tidak melulu berhubungan dengan pihak lain, tapi dengan cara pikir PA dalam menanggapi situasi. Harus ada revolusi pemikiran agar PA bisa bertahan di tengah perubahan-perubahan politik eksternal Aceh.
PA masih punya kesempatan untuk lulus ujian dan (semoga) publik masih memberikan hari-harinya untuk perubahan itu.
* Penulis adalah pengajar Antropologi Politik di Universitas Malikussaleh.
KETIKA menuliskan artikel ini saya teringat sebuah film thriller yang memiliki cerita agak rumit, State of Play (2009). Film itu bercerita tentang seorang jurnalis senior Washington Globe, Cal McAffrey (Russel Crowe) yang mencoba membongkar kasus kematian seorang perempuan muda, Sonia Barker, yang bekerja di Point Corp, sebuah lembaga swasta yang mengurusi bisnis militer dan intelejen di Amerika Serikat. Kasus “bunuh diri” perempuan itu awalnya hanya dihubungkan dengan skandal cinta seorang anggota kongres, Stephen Collins (Ben Afflect).
Namun Cal tidak percaya gosip murahan itu. Bersama asistennya, Della Frye (Rachel McAdams) mereka mencoba masuk lebih dalam. Akhirnya keluar pengakuan Collins bahwa ada konspirasi kotor yang mencoba menganggunya terkait pengesahan RUU privatisasi lembaga kontraktor pertahanan itu. Ada kelompok di legislatif yang menggunakan cara-cara “non-dialogis” dengan sinyal teror pembunuhan. Ia pun meyakini Sonia Barker bukan mati karena bunuh diri, tapi bagian dari konspirasi politik kelompok anti-Point Corps.
Dasar seorang jurnalis teguh, Cal tak yakin begitu saja pengakuan rekannya yang menjadi wakil rakyat itu. Akhirnya selubung terbuka. Sonia Barker mati tidak behubungan dengan Point Corps, tidak oleh kebijakan pimpinan lembaga itu, bukan karena konspirasi kotor di balik proses legislasi, atau improvisasi anak buah Collins, Robert Bingham (Michael Beresse) yang membunuhnya, tapi memang skenario dari Collins sendiri.
Konteks Aceh
Apa hubungan film itu dengan konteks karut-marut pilkada Aceh saat ini? Pertama dari judulnya, State of Play, menunjukkan bahwa bermain-main atas nama lembaga negara untuk kepentingan pribadi bukan hanya gambaran di AS sana, tapi juga tereplikasi pada gambaran politik di Aceh terkini.
Kedua, sebenarnya sebagian (besar) kekacauan politik saat ini disebabkan oleh sikap DPRA yang terus mendramatisasi masalah calon perseorangan. Ini bisa dilihat sebagai sikap terlalu mengentengkan regulasi, undang-undang, dan konstitusi, dan tak menganggap serius semua itu kecuali hanya hasrat pada kekuasaan. Regulasi diupayakan sesuai dengan motif politik, jika tidak ditolak. Logika apa pun ditancapkan-awalnya oleh DPRA-untuk mendelegitimasi keputusan MK. Namun, di sisi lain, semua tafsir hukum mendukung peminggiran calon independen dipadatkan meskipun buruk kualitas nalar hukumnya.
Apakah keputusan MK itu inkonstitusional? Tentu tidak. Keputusan itu diambil oleh para hakim konstitusi terbaik di negeri ini melalui pertimbangan hukum mendalam dan dengan semangat sebagai penjaga konstitusi bangsa (the guardian of constitution). Apakah keputusan itu memuaskan seluruh masyarakat Aceh? Juga tidak. Semua keputusan hukum memiliki konsekuensi persetujuan atau penolakan. Namun ketika keputusan telah ada, telah menjadi positif, ia mengikat dan final untuk semua, kecuali keputusan itu dibatalkan. Fraksi PA yang paling keras menolaknya ternyata tidak melakukan apa-apa untuk menggugat keputusan yang sudah berumur hampir setahun itu. DPRA baru menggugat MK setelah KIP tetap menjalankan proses pendaftaran peserta Pilkada hingga ditutup pada 7 Oktober 2011 (Serambi Indonesia, 9 Oktober).
Sikap tanpa kompromi DPRA (dan tidak merepresentasi semua karena Demokrat dan PPP tetap mendaftarkan kandidatnya, Muhammad Nazar-Nova Iriansyah) sebenarnya bukan sikap kenegaraan yang benar. Termasuk sikap ketua DPRA yang mengancam tidak akan mengikuti proses dengar pendapat calon gubernur-wakil gubernur dan melantik gubernur terpilih.
Perlu diingat, seorang pejabat negara harus mematuhi kode-kode pemerintahan dan mengalahkan egoisme pribadinya. Ketika mengemban jabatan publik maka kepentingan publik (public affair) harus dikedepankan dan bukan curhatan pribadi lagi. Apabila tak sanggup mengemban peran publik, pilihan tinggal satu: mundur. Itu yang dilakukan oleh Dicky Chandra, wakil bupati Garut dan para pemimpin di Jepang. Sikap seperti itu lebih kesatria dibandingkan terus merongrong pemerintahan dari dalam.
Ketiga, ruang politik harus menjadi ruang perpindahan negosiasi dan kompromi secara rasional dan tanpa kekerasan. Proses itu harus berhenti saat konsensus, karena setiap hal memerlukan eksekusi. Perdebatan wacana calon independen sangat bisa terus berkepanjangan tapi harus berhenti ketika menjadi kebijakan. Sikap terbaik yang diajarkan dalam demokrasi, “sepakat dalam ketidaksepakatan” bisa diambil. Apa yang sudah terjadi tidak bisa berlaku surut, dan menjadi pelajaran untuk tidak lalai lagi ke depan hari.
Saat ini semua pihak harus komitmen menjamin pilkada Aceh berjalan damai, transparan, jujur, dan tanpa rekayasa. Lupakan perbedaan karena hanya menumpuk kemarahan permanen dan mengecilkan jiwa. Jadilah seorang negarawan dengan memberi contoh terbaik kepada rakyat!
Nasib PA
Agak menyedihkan melihat sikap ketua PA yang menyatakan menarik diri dari proses pilkada. PA bagaimana pun masih dicitrakan kekuatan sebagai politik dominan di Aceh. Pengalaman pilkada 2006/2007 menunjukkan mereka berhasil menguasai 10 dari 23 kabupaten/kota melalui calon independen yang merupakan representasi eks-GAM dan SIRA.
Sikap ini menunjukkan kurangnya perhitungan rasional. Padahal PA tetap bisa ikut bersaing dalam pilkada ini dengan ketidaksetujuannya pada sebagian prosesnya. Ketidakikutan PA (kecuali di Aceh Tengah) menunjukkan sikap tidak siap kalah sekaligus juga tidak ingin menang. Ini bukan sikap bushido dari representasi populis Aceh.
Namun di sisi lain kita juga perlu berempati pada sikap PA yang merugikan ini. Terbukti hari ini beberapa anggota PA menyatakan keluar setelah mereka tidak mendapatkan peluang untuk berpartisipasi dalam pilkada. Ini bentuk ketidaksadaran politik (political unconsiousness) yang harus diinsyafi sebelum semakin buruk.
Proses perbaikannya hanya mungkin jika pimpinan PA akomodatif dan membuka diri atas perbedaan, dan pelan-pelan melakukan konsolidasi di tengah situasi yang semakin menderu-deru seperti saat ini. Perlu ada koreksi atas sikap politik keras demi kepentingan perdamaian Aceh dan konstituennya. Seperti pesan moral dalam film di atas, semua situasi saat ini tidak melulu berhubungan dengan pihak lain, tapi dengan cara pikir PA dalam menanggapi situasi. Harus ada revolusi pemikiran agar PA bisa bertahan di tengah perubahan-perubahan politik eksternal Aceh.
PA masih punya kesempatan untuk lulus ujian dan (semoga) publik masih memberikan hari-harinya untuk perubahan itu.
* Penulis adalah pengajar Antropologi Politik di Universitas Malikussaleh.
Sumber: serambinews.com