Oleh Mashudi SR
KEPUTUSAN Partai Aceh untuk tidak terlibat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai tingkat provinsi sampai kabupaten/kota, mendapat respons yang beragam. Banyak yang menilai keputusan tersebut sangat berani dan cenderung bunuh diri. Bahkan tidak sedikit yang berpendapat itu adalah bentuk belum dewasanya elite-elite partai dalam berpolitik.
Bagi PA keputusan ‘berani’ tersebut diyakini telah melalui sebuah proses yang matang. Pasca-pertemuan dengan Presiden SBY yang tidak membuahkan hasil itu, keberlanjutan tahapan pilkada harus disikapi dengan sebuah ijtihad politik yang jelas dan tegas.
Namun, menurut hemat saya keputusan itu tidaklah lahir dengan mulus. PA berada dalam situasi yang dilematis ketika bahkan sampai keputusan itu dikeluarkan. Satu sisi, sikap ini ingin memperlihatkan PA konsisten dalam perjuangan. Di sisi lain, sebagai partai baru tumbuh dan ingin bertahan dalam waktu yang lama, perlu menguasai posisi strategis dalam pemerintahan sebagai salah satu upaya untuk tetap bertahan. Jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota, adalah jabatan strategis untuk mewujudkan hal itu.
Secara teoritis, kehadiran partai politik diarahkan mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program yang telah disusun yang didasarkan kepada ideologi tertentu. Cara yang dibenarkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan tersebut melalui sebuah proses pemilihan umum yang dilakukan secara demokratis. Jika kekuasaan memerintah itu diperoleh, maka dengan sendirinya partai akan memainkan perannya sebagai pembuat keputusan politik.
Perebutan jabatan puncak di eksekutif dengan demikian menjadi begitu penting bagi setiap parpol sebagai perpanjangan tangan menjalankan agenda partai. Berbagai program partai hanya bisa terlaksana apabila parpol berhasil menguasai jabatan eksekutif.
Pada konteks ini, keputusan politik tersebut, tidak produktif bagi kehidupan partai PA sendiri. Tidak ada yang dirugikan ketika ada atau tanpa keterlibatan partai mantan kombatan GAM dalam pilkada. Undang-undang memberi ruang kepada setiap partai politik untuk ikut atau tidak sebagai peserta pilkada. Setiap parpol memiliki hak otonom untuk menentukan strategi politik apa yang hendak dilakukan.
Skenario ekstrim
Pertanyaannya, bagaimana masa depan partai ini jika keputusan tersebut menjadi harga mati. Sebab dengan ijtihad politik itu, disadari atau tidak, telah menempatkan partai ini dipinggir jurang. Elite-elite partai terlihat begitu ceroboh dan tampak sangat emosional ketika merumuskan strategi politik yang dijalankan.
Lantas, apakah PA akan bersikap diam, menjadi penonton yang baik dalam kontestasi politik ini, atau akan terus berupaya melakukan manuver sampai keinginan politik mereka diakomodir? Masih adakah jurus pamungkas yang bisa “memaksa” proses pilkada yang sedang berlangsung ini berhenti sejenak?
PA sepertinya masih menyisakan jurus yang dianggap ampuh untuk menginterupsi proses pilkada. PA melalui kadernya di legislatif akan berupaya kuat memastikan DPRA tidak menggelar sidang paripurna istimewa pemaparan visi dan misi calon gubernur/wakil gubernur. Padahal pemaparan visi dan misi di forum paripurna menjadi bagian dari tahapan pemilihan, yang harus dilakukan (Pasal 66 ayat (5) huruf c, UU.No.11/2006)
Jurus lain, memastikan kepada masyarakat-setidaknya seluruh kader partai-bahwa penolakan terhadap seluruh rangkain proses pilkada mendapat dukungan. Daerah-daerah yang menjadi kantong suara partai harus dipastikan tidak ikut dalam pemilihan. Semakin banyak masyarakat yang tidak ikut berpartisipasi, legitimasi calon terpilih semakin rendah, bahkan kualitas demokrasi Aceh secara umum akan terjun bebas.
Menurut hemat saya, dua langkah politik ini merupakan bagian skenario paling ekstrim dan relatif semakin membahayakan posisi PA jika dilaksanakan. Partai akan semakin kehilangan simpati publik. Masyarakat akan kembali ke rumah lama, partai politik nasional (parnas). Meski sama-sama tidak bisa diharapkan, tetapi setidaknya sikap politik yang ditunjukkan parnas ke publik, relatif menarik simpati.
Tidak ada yang abadi
“Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Kalimat ini sudah seperti menjadi dogma dalam praktik politik. Pola relasi parpol yang terjalin di antara partai-partai, memperkuat keberlakuan dogma atau adagium ini. Pada suatu saat, sebuah partai politik A bisa saja saling beroposisi dengan partai politik B atau C. Tetapi di saat yang lain mereka bisa saling bekerjasama untuk sebuah kepentingan yang sama.
Pesan positif yang ada di balik relasi seperti ini, bahwa politik itu bukanlah hitam putih. Politik memiliki logika sendiri. Berpolitik adalah seni memengaruhi pihak lain untuk mencapai tujuan. Karena itu, berpolitik tidak boleh, mutung, atau ngambek.
Bagi saya, keputusan PA untuk menolak pilkada dan tidak bertanggungjawab terhadap apa pun yang dihasilkan oleh proses ini, hendaknya dimaknai sebagai sebuah strategi politik semata. PA adalah partai yang tidak sekadar mengejar kekuasaan dengan mengabaikan rambu-rambu aturan main.
Di balik semua itu, alangkah bijaknya bila kemudian PA juga membebaskan kadernya untuk menyalurkan hak politik mereka kepada calon-calon yang ada. Ini akan memperlihatkan betapa elite partai begitu terampil memainkan bola politik dalam lapangan yang tidak mulus. Akan semakin baik bila suara para kader, anggota dan simpatisan partai bisa dimobilisasi dan diarahkan kepada salah satu calon yang merupakan pesaing kuat dari lawan politik selama ini.
Saya tidak begitu yakin, diamnya parnas yang mempunyai kursi di DPRA, seperti Partai Golkar, PAN, PKS, PBB, dan PKPI, kongruen dengan sikap PA. Bukankah untuk jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota, parnas ikut sebagai peserta pilkada, baik sendiri-sendiri maupun berkoalisi? Ini berarti, melalui strategi gerilya, partai-partai nasional inipun patut diduga kuat akan memberikan dukungan kepada salah satu dari tiga pasang calon gubernur/wakil gubernur.
Karena itu, untuk bisa mewujudkan program dan cita-cita partai, tidak salah bila PA memikir ulang strategi politik yang paling realistis untuk dilakukan. Bertahan dengan keputusan yang ada merupakan pilihan yang baik. Tetapi mewujudkan setiap suara kader, dan simpatisan menjadi semakin bermakna, bukanlah hal yang salah apalagi haram. Jangan biarkan partai mati secara perlahan-lahan digerogoti segelintir elite partai yang memaksakan kehendak jangka pendek.
* Penulis adalah aktivis Pemuda Muhammadiyah Aceh. Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.
KEPUTUSAN Partai Aceh untuk tidak terlibat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai tingkat provinsi sampai kabupaten/kota, mendapat respons yang beragam. Banyak yang menilai keputusan tersebut sangat berani dan cenderung bunuh diri. Bahkan tidak sedikit yang berpendapat itu adalah bentuk belum dewasanya elite-elite partai dalam berpolitik.
Bagi PA keputusan ‘berani’ tersebut diyakini telah melalui sebuah proses yang matang. Pasca-pertemuan dengan Presiden SBY yang tidak membuahkan hasil itu, keberlanjutan tahapan pilkada harus disikapi dengan sebuah ijtihad politik yang jelas dan tegas.
Namun, menurut hemat saya keputusan itu tidaklah lahir dengan mulus. PA berada dalam situasi yang dilematis ketika bahkan sampai keputusan itu dikeluarkan. Satu sisi, sikap ini ingin memperlihatkan PA konsisten dalam perjuangan. Di sisi lain, sebagai partai baru tumbuh dan ingin bertahan dalam waktu yang lama, perlu menguasai posisi strategis dalam pemerintahan sebagai salah satu upaya untuk tetap bertahan. Jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota, adalah jabatan strategis untuk mewujudkan hal itu.
Secara teoritis, kehadiran partai politik diarahkan mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program yang telah disusun yang didasarkan kepada ideologi tertentu. Cara yang dibenarkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan tersebut melalui sebuah proses pemilihan umum yang dilakukan secara demokratis. Jika kekuasaan memerintah itu diperoleh, maka dengan sendirinya partai akan memainkan perannya sebagai pembuat keputusan politik.
Perebutan jabatan puncak di eksekutif dengan demikian menjadi begitu penting bagi setiap parpol sebagai perpanjangan tangan menjalankan agenda partai. Berbagai program partai hanya bisa terlaksana apabila parpol berhasil menguasai jabatan eksekutif.
Pada konteks ini, keputusan politik tersebut, tidak produktif bagi kehidupan partai PA sendiri. Tidak ada yang dirugikan ketika ada atau tanpa keterlibatan partai mantan kombatan GAM dalam pilkada. Undang-undang memberi ruang kepada setiap partai politik untuk ikut atau tidak sebagai peserta pilkada. Setiap parpol memiliki hak otonom untuk menentukan strategi politik apa yang hendak dilakukan.
Skenario ekstrim
Pertanyaannya, bagaimana masa depan partai ini jika keputusan tersebut menjadi harga mati. Sebab dengan ijtihad politik itu, disadari atau tidak, telah menempatkan partai ini dipinggir jurang. Elite-elite partai terlihat begitu ceroboh dan tampak sangat emosional ketika merumuskan strategi politik yang dijalankan.
Lantas, apakah PA akan bersikap diam, menjadi penonton yang baik dalam kontestasi politik ini, atau akan terus berupaya melakukan manuver sampai keinginan politik mereka diakomodir? Masih adakah jurus pamungkas yang bisa “memaksa” proses pilkada yang sedang berlangsung ini berhenti sejenak?
PA sepertinya masih menyisakan jurus yang dianggap ampuh untuk menginterupsi proses pilkada. PA melalui kadernya di legislatif akan berupaya kuat memastikan DPRA tidak menggelar sidang paripurna istimewa pemaparan visi dan misi calon gubernur/wakil gubernur. Padahal pemaparan visi dan misi di forum paripurna menjadi bagian dari tahapan pemilihan, yang harus dilakukan (Pasal 66 ayat (5) huruf c, UU.No.11/2006)
Jurus lain, memastikan kepada masyarakat-setidaknya seluruh kader partai-bahwa penolakan terhadap seluruh rangkain proses pilkada mendapat dukungan. Daerah-daerah yang menjadi kantong suara partai harus dipastikan tidak ikut dalam pemilihan. Semakin banyak masyarakat yang tidak ikut berpartisipasi, legitimasi calon terpilih semakin rendah, bahkan kualitas demokrasi Aceh secara umum akan terjun bebas.
Menurut hemat saya, dua langkah politik ini merupakan bagian skenario paling ekstrim dan relatif semakin membahayakan posisi PA jika dilaksanakan. Partai akan semakin kehilangan simpati publik. Masyarakat akan kembali ke rumah lama, partai politik nasional (parnas). Meski sama-sama tidak bisa diharapkan, tetapi setidaknya sikap politik yang ditunjukkan parnas ke publik, relatif menarik simpati.
Tidak ada yang abadi
“Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Kalimat ini sudah seperti menjadi dogma dalam praktik politik. Pola relasi parpol yang terjalin di antara partai-partai, memperkuat keberlakuan dogma atau adagium ini. Pada suatu saat, sebuah partai politik A bisa saja saling beroposisi dengan partai politik B atau C. Tetapi di saat yang lain mereka bisa saling bekerjasama untuk sebuah kepentingan yang sama.
Pesan positif yang ada di balik relasi seperti ini, bahwa politik itu bukanlah hitam putih. Politik memiliki logika sendiri. Berpolitik adalah seni memengaruhi pihak lain untuk mencapai tujuan. Karena itu, berpolitik tidak boleh, mutung, atau ngambek.
Bagi saya, keputusan PA untuk menolak pilkada dan tidak bertanggungjawab terhadap apa pun yang dihasilkan oleh proses ini, hendaknya dimaknai sebagai sebuah strategi politik semata. PA adalah partai yang tidak sekadar mengejar kekuasaan dengan mengabaikan rambu-rambu aturan main.
Di balik semua itu, alangkah bijaknya bila kemudian PA juga membebaskan kadernya untuk menyalurkan hak politik mereka kepada calon-calon yang ada. Ini akan memperlihatkan betapa elite partai begitu terampil memainkan bola politik dalam lapangan yang tidak mulus. Akan semakin baik bila suara para kader, anggota dan simpatisan partai bisa dimobilisasi dan diarahkan kepada salah satu calon yang merupakan pesaing kuat dari lawan politik selama ini.
Saya tidak begitu yakin, diamnya parnas yang mempunyai kursi di DPRA, seperti Partai Golkar, PAN, PKS, PBB, dan PKPI, kongruen dengan sikap PA. Bukankah untuk jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota, parnas ikut sebagai peserta pilkada, baik sendiri-sendiri maupun berkoalisi? Ini berarti, melalui strategi gerilya, partai-partai nasional inipun patut diduga kuat akan memberikan dukungan kepada salah satu dari tiga pasang calon gubernur/wakil gubernur.
Karena itu, untuk bisa mewujudkan program dan cita-cita partai, tidak salah bila PA memikir ulang strategi politik yang paling realistis untuk dilakukan. Bertahan dengan keputusan yang ada merupakan pilihan yang baik. Tetapi mewujudkan setiap suara kader, dan simpatisan menjadi semakin bermakna, bukanlah hal yang salah apalagi haram. Jangan biarkan partai mati secara perlahan-lahan digerogoti segelintir elite partai yang memaksakan kehendak jangka pendek.
* Penulis adalah aktivis Pemuda Muhammadiyah Aceh. Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.
Sumber: serambinews.com