Prof Dr JimlyAsshiddiqie, SH |
Medan -
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr JimlyAsshiddiqie, SH
mengatakan bangsa Indonesia yang beranekaragam, majemuk dan sistem
demokrasi yang modern tidak mungkin lagi mengandalkan ketokohan
pemimpin. "Tidak bisa lagi kita mengandalkan ketokohan seorang pemimpin.
Kalau zaman dulu Bung Karno dikenal ‘Bapak Revolusi’, zaman Orde Baru
ada Bapak Pembangunan, sekarang tidak ada lagi bapak-bapak seperti itu.
Tidak bisa diharapkan lagi karena sehebat-hebat seseorang presiden jika
memimpin hanya 10 tahun, gubernur juga 10 tahun, tapi jika biasa hanya
lima tahun dan kalau jelek bisa diberhentikan di tengah jalan," kata
Jimly Asshiddiqie pada Kuliah Umum yang diselenggarakan Program
Pascasarjana dan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung di Hermina
Center Medan, Sabtu (26/11).
Dia menjelaskan, jadi
sebagai bangsa majemuk tidak bisa mengandalkan tokoh seorang pemimpin.
Apalagi saat ini seorang pemimpin atau presiden adalah merupakan
orang-orang partai yang sebelumnya disebut golongan. Artinya, pemimpin
atau presiden itu hanya utusan dari golongan tertentu saja, dan tidak
mungkin mereka memikirkan bangsa ini pastinya lebih mementingkan
golongan saja. "Presiden itu jabatan politik, makanya ketika menjadi
presiden tetap menjadi orang partai, mana mungkin memikirkan kita.
Pastinya memikirkan partainya. Apalagi partai politik belum melembaga
sebagaimana mestinya," katanya.
Menurutnya, di DPR RI ada sembilan partai yang berkuasa, tapi dalam menentukan kebijakan dalam praktiknya 9 orang yang menentukan. Artinya bangsa ini ditentukan hanya 9 orang dalam membangun. Makanya, untuk demokrasi sekarang belum bisa mempercayakan partai politik.
Jimly menegaskan, untuk membersatukan bangsa yang beranekaragam dan persatuan hanya bisa mengandalkan integritas system. Sistem pemersatu, Maka kita harus membangun sistem. Inilah yang harus mengintegrasikan kita, sistem dimulai dengan hukum yang tinggi yakni konstitusi makanya fungsi konsitusi mempersatukan bangsa yang beranekaragam karena sebagai warga dan masyarakat yang memiliki suku berbeda-beda, agama berbeda-beda tapi ketika kita bicara sebagai bangsa dan negara kita punya hak dan kewajiban yang sama. "Konsitusi harus dijadikan awal pembenahan sistemik, awal dari pembenahan normatik di seluruh sistem berbangsa dan benegara Indonesia," katanya.
Dampak Perubahan
Jimly juga menyampaikan dampak perubahan reformasi selama 13 tahun terakhir. Dia menilai reformasi dampaknya sangat besar dimana ada perubahan sistem norma dalam kehidupan berbangsa. Perubahan pascareformasi bukan hanya faktor dari dalam negeri tapi ada juga luar negeria. Dampak globalisasi, dan perkembangan ilmu menyebabkan sistem norma berubah, etika, agama dan norma hukum berubah.
Saat ini, katanya etika sudah berkembang tidak seperti dulu, dulu etika muncul dari kesadaran dari dalam, sifatnya sukarela tapi sekarang oleh PBB agar semua negara diminta mengembangkan infrasruktur etika publik, maka muncul ide untuk membentuk komisi-komisi seperti komisi yudisial, komisi kejaksaan, komisi kepolisian, dewan kehormatan bahkan kehormatan DPR maksudnya untuk agar ada sistem koreksi yang lebih dari sekedar mekanisme hukum sebelum prilaku penyimpang menjadi pelanggaran hukum. Semua sudah dikoreksi dengan sistem etika yang dipositifkan dan ditegakkan dengan mekanisme seperti adanya dewan kehormatan. Komisi etik yang disentuh dunia dan sekarang berkembanng, semua pengadilan di AS ada komisi yudisial, komisi-komisi etik dan semua senator takut dengan komisi etik apabila ada pejabat atau senator yang bermasalah hukum.
Di Indonesia sedang menghadapi pengaruh, di Indonesia, perubahan dengan sistem demokrasi, sebelum kita tidak bebas, sudah reformasi kebebasan terbuka luas, karena bangsa ini tidak biasa bebas dan sejak Belanda dipaksa-aksa, seperti membuat jalan dan jembatan dipaksa, rel kereta api, jalan dan jembatan, yang dibangun Belanda, belum dikalahkan pemerintah Indonesia.
Tidak Punya Tradisi Kebebasan
"Kita tidak punya tradisi kebebasan, baru 13 tahun terakhir kita membuat ruang kebebasan, orang yang tidak biasa bebas, biasanya tidak pandai mengelolah kebabebasan, orang yang tidak pandai mengelola kebabasan cenderung menyalahgunakan kebebasan oleh orang yang berkuasa, orang kaya, dan orang yang berada di posisi dominan,"katanya.
Kebebasan jika tidak diimbangi keteraturan, kata Jimly akan menciptakan kekacauan, kekebasan kalau tidak diimbangin keadilan akan menciptkan kesenjangan. Lihat saja struktur penghasilan di negara-negara maju pendapatan tertinggi dan terendah tidak terlalu jauh di AS misalnya, pendapatan penganggur dengan pendapat presiden AS tidak terlalu jauh tidak sampai 1 berbanding 100 tapi hanya satu berpanding puluhan, supir taksil, penjaga toko dengan senator tidak terlalu jauh satu berbanding puluhan saja, itulah masyarakat yang sudah maju.
Sementara ILO menyatakan setiap perusahaan jarak gaji terendah dan tertinggi harus 1:7, tidak boleh lebih. Bagaimana di Indonesia ?, Di Indonesia ternyata di masa orde baru 1 berbanding ratusan, sekarang sudah 13 tahun reformasi, nilai teringgi dan terendah, 1 berbanding ribuan, penganggur mengemis tidak dapat. Banyak orang bergaji 500 ribu, tapi yang gajinya Rp700 juta setiap bulan juga banyak, dan itu halal, legal dan sah secara hukum. Ada dirut -dirut BUMN yang gajinya Rp500 juta, apalagi Dirut-dirut swasta, gajinya, rata-rata perusahaan besar Rp10 Miliar setahun.
Acara dibuka Rektor UDA Prof Dr Binsar Panjaitan, MPd diwakili Ketua Umum Yayasan Universitas Darma Agung Sariaty PR Siregar br Pardede. Dalam kesempatan iru, terungkap Prof Dr Jimly Assidiqie, SH dalam waktu dekat akan menjadi dosen di UDA dan rencana ini disambut baik Rektor UDA. (maf/ANALISA)
Menurutnya, di DPR RI ada sembilan partai yang berkuasa, tapi dalam menentukan kebijakan dalam praktiknya 9 orang yang menentukan. Artinya bangsa ini ditentukan hanya 9 orang dalam membangun. Makanya, untuk demokrasi sekarang belum bisa mempercayakan partai politik.
Jimly menegaskan, untuk membersatukan bangsa yang beranekaragam dan persatuan hanya bisa mengandalkan integritas system. Sistem pemersatu, Maka kita harus membangun sistem. Inilah yang harus mengintegrasikan kita, sistem dimulai dengan hukum yang tinggi yakni konstitusi makanya fungsi konsitusi mempersatukan bangsa yang beranekaragam karena sebagai warga dan masyarakat yang memiliki suku berbeda-beda, agama berbeda-beda tapi ketika kita bicara sebagai bangsa dan negara kita punya hak dan kewajiban yang sama. "Konsitusi harus dijadikan awal pembenahan sistemik, awal dari pembenahan normatik di seluruh sistem berbangsa dan benegara Indonesia," katanya.
Dampak Perubahan
Jimly juga menyampaikan dampak perubahan reformasi selama 13 tahun terakhir. Dia menilai reformasi dampaknya sangat besar dimana ada perubahan sistem norma dalam kehidupan berbangsa. Perubahan pascareformasi bukan hanya faktor dari dalam negeri tapi ada juga luar negeria. Dampak globalisasi, dan perkembangan ilmu menyebabkan sistem norma berubah, etika, agama dan norma hukum berubah.
Saat ini, katanya etika sudah berkembang tidak seperti dulu, dulu etika muncul dari kesadaran dari dalam, sifatnya sukarela tapi sekarang oleh PBB agar semua negara diminta mengembangkan infrasruktur etika publik, maka muncul ide untuk membentuk komisi-komisi seperti komisi yudisial, komisi kejaksaan, komisi kepolisian, dewan kehormatan bahkan kehormatan DPR maksudnya untuk agar ada sistem koreksi yang lebih dari sekedar mekanisme hukum sebelum prilaku penyimpang menjadi pelanggaran hukum. Semua sudah dikoreksi dengan sistem etika yang dipositifkan dan ditegakkan dengan mekanisme seperti adanya dewan kehormatan. Komisi etik yang disentuh dunia dan sekarang berkembanng, semua pengadilan di AS ada komisi yudisial, komisi-komisi etik dan semua senator takut dengan komisi etik apabila ada pejabat atau senator yang bermasalah hukum.
Di Indonesia sedang menghadapi pengaruh, di Indonesia, perubahan dengan sistem demokrasi, sebelum kita tidak bebas, sudah reformasi kebebasan terbuka luas, karena bangsa ini tidak biasa bebas dan sejak Belanda dipaksa-aksa, seperti membuat jalan dan jembatan dipaksa, rel kereta api, jalan dan jembatan, yang dibangun Belanda, belum dikalahkan pemerintah Indonesia.
Tidak Punya Tradisi Kebebasan
"Kita tidak punya tradisi kebebasan, baru 13 tahun terakhir kita membuat ruang kebebasan, orang yang tidak biasa bebas, biasanya tidak pandai mengelolah kebabebasan, orang yang tidak pandai mengelola kebabasan cenderung menyalahgunakan kebebasan oleh orang yang berkuasa, orang kaya, dan orang yang berada di posisi dominan,"katanya.
Kebebasan jika tidak diimbangi keteraturan, kata Jimly akan menciptakan kekacauan, kekebasan kalau tidak diimbangin keadilan akan menciptkan kesenjangan. Lihat saja struktur penghasilan di negara-negara maju pendapatan tertinggi dan terendah tidak terlalu jauh di AS misalnya, pendapatan penganggur dengan pendapat presiden AS tidak terlalu jauh tidak sampai 1 berbanding 100 tapi hanya satu berpanding puluhan, supir taksil, penjaga toko dengan senator tidak terlalu jauh satu berbanding puluhan saja, itulah masyarakat yang sudah maju.
Sementara ILO menyatakan setiap perusahaan jarak gaji terendah dan tertinggi harus 1:7, tidak boleh lebih. Bagaimana di Indonesia ?, Di Indonesia ternyata di masa orde baru 1 berbanding ratusan, sekarang sudah 13 tahun reformasi, nilai teringgi dan terendah, 1 berbanding ribuan, penganggur mengemis tidak dapat. Banyak orang bergaji 500 ribu, tapi yang gajinya Rp700 juta setiap bulan juga banyak, dan itu halal, legal dan sah secara hukum. Ada dirut -dirut BUMN yang gajinya Rp500 juta, apalagi Dirut-dirut swasta, gajinya, rata-rata perusahaan besar Rp10 Miliar setahun.
Acara dibuka Rektor UDA Prof Dr Binsar Panjaitan, MPd diwakili Ketua Umum Yayasan Universitas Darma Agung Sariaty PR Siregar br Pardede. Dalam kesempatan iru, terungkap Prof Dr Jimly Assidiqie, SH dalam waktu dekat akan menjadi dosen di UDA dan rencana ini disambut baik Rektor UDA. (maf/ANALISA)