Selasa, 20 Desember 2011

Isu HAM, KKR & Pilkada Aceh

  • Oleh Safrizal
Sebagian aktivis Aceh tidak begitu serius menanggapi situasi atau stabilitas politik menjelang pilkada di Aceh, yang dijadwalkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh awal 2012 ini.

Ketidak seriusan tersebut dapat terlihat para aktivis yang bergabung dengan LSM/NGO, ormas dan lain sebagainya. Mereka gencar membicarakan masalah pembentukan pengadilan Hak Azai Manusia (HAM) di Aceh sebagaimana ditegaskan pasal 227 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan poin 2.2 MoU, dan untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, maka dengan UUPA tersebut di bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh (KKR) dan sesuai dengan poin 2.3 MoU.


Selain membicarakan mengenai HAM dan KKR, mereka juga gencar mengusut tindak dugaan korupsi yang selama ini menjadi isu hangat dikalangan mereka. Keaktifan mereka tidak hanya ditingkat provinsi atau ibu kota provinsi di Banda Aceh, melainkan juga mereka tersebar di beberapa kabupaten dan kota.

LSM atau civil society ini bergerak berdasarkan atas keinginan mereka yang sadar akan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang kuat melakukan korupsi, sehingga mereka mengawal kinerja penyelenggara pemerintah dari paling atas sampai ke tingkat paling bawah.

Bagi mereka topik pilkada ini hanya bersifat privat atau sesaat, memang pilkada ini dalam kontek Aceh memilih pemimpin untuk meneruskan transformasi politik dan desentralisasi politik paska perdamaian Aceh pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Filandia.

Disisi lain bagaimana bisa aman bila rakyat yang merasa hak-hak mereka dikorbankan pada saat konflik Aceh yang berkepanjangan atau lebih kurang 32 tahun. Pada saat itu Aceh dalam status garis merah atau Operasi Jaring Merah, kemudian menjadi status Daerah Operasi Militer (DOM), pada saat itu setelah pertemuan antara Soeharto dengan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, jumlah tentara meningkat dari 6.000 menjadi 12.000 orang di Aceh.

Sementara dalam catatan para pengiat HAM, sebagai dampak diberlakunya DOM tersebut, dalam kurun waktu tahun 1991-1995 saja gerilyawan yang mengunsi keluar Aceh, sebagian besar ke Malaysia, diperkirakan mencapi 5.000 orang. Pengadilan terhadap orang-orang  yang dituduh terlibat Aceh Merdeka bahkan di adakan di beberapa pengadilan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan berdasarkan penelitian Amnesti Internasional, sekitar 2.000 orang Aceh di eksekusi tanpa lebih dulu menjalani proses pengadilan.

Atas adanya eskalasi konfli, pada tanggal 14 Oktober 1996 Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. DR. Dayan Dawood, mengusulkan agar peredikat daerah rawan bagi Aceh di cabut, karena predikat itu dinilai merugikan secara ekonomi. Ironisnya rektor tersebut sendiri akhirnya tewas ditembak orang tak dikenal.

Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Kolonel Suwahyu, pada tanggal 29 Desember 1996 melontarkan pernyataan bahwa Aceh sudah cukup aman dan operasi militer sebaliknya diganti dengan operasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Sebagai akibat penilaian itu, dua pekan kemudian Kolonel Suwahyu di copot dari jabatanny. Namun demikian, desakan agar status Aceh sebagai daerah rawan di cabut, terus meninggat. 

Sepajang bulan April hingga Juli 1998 gagasan untuk mencabut status DOM di Aceh mulai kembali bergejolak. Atas desakan mahasiswa, bahkan DPRD Aceh meminta Menteri Pertahanan dan Keamana Nasional agar mencabut status DOM tersebut.

Pada waktu itu Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) DPR untuk kasus Aceh dibentuk. Sementara itu Komite Nasional Hak Azasi Manusia (HAM) yang dipimpin Prof. Dr. Baharuddin Lopa, berhasil menemukan dan membongkar kuburan massal di Bukit Tengkorak.

Sebagai tindak lanjut atas temuan kuburan massal tersebut, pada tanggal 27 Juli sampai 3 Agustus 1998 TGPF DPR-RI yang dipimpin Letjen Hari Subarno berkunjung ke kampung Janda di kaki Bukit Ulee Glee, Aceh Pidie. Dan pada tanggal 7 Agustus 1998 Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto akhirnya mencabut status DOM dan memerintahkan agar semua satuan TNI kembali ke pangkalan masing-masing. Ia juga meminta maaf atas tindakan oknum ABRI /TNI yang menyakitkan hati masyarakat Aceh.

Namun ditangah upaya penarikan pakusan ABRI/TNI waktu itu, pada tanggal 31 Agustus 1998 terjadi kerusuhan di Lhokseumawe usai upacara penarikan 659 personel pasukan non organik TNI dari daerah itu. Sebagai akibatnya, pada tanggal 2 September 1998 Menhankam/Pangab Jendral TNI Wiranto menyatakan ABRI memutuskan menanggungkan penarikan sisa pasukan sampai keadaan di Aceh benar-benar aman. Barulah kemudian pada Januari 1999 status DOM di Aceh dinyatakan dicabut.

Pada intinya para pengiat HAM lebih terfokus pada hal-hal masa konflik yang belum terungakp, ketimbang memikirkan kepentingan sesaat yaitu pilkada. Disisi lain begitu juga dengan para aktivis anti korupsi yang terus berupaya membongkar mapia-mapia berdasi panjang atau tikus-tikus kantor yang tidak peduli kepada rakyat dan dianggap telah meresahkan rakyat serta terhambatnya pembangunan akibat tindakan korupsi tersebut, seperti kasus bobolnya kas Kabupaten Aceh Utara sebesar 220 Milyar dan sampai saat ini kasus tersebut masih ditangani Pengadilan Negeri Aceh.

Terus, siapa juga yang peduli dengan topik pilkada, sebenarnya adalah mereka-mereka yang berupaya mempertahan argumen dan interes groupnya masing-masing. Disini sangat jelas terlihat bahwa ada yang mengatakan mempertahankan kekhususan Aceh yaitu UUPA, harus demokratis, sesuai dengan hukum NKRI dan lain sebagainya, itulah lontar pertanyaan ke publik.

Sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bersama Badan Pembangunan Daerah Aceh pada tahun 1998, menunjukkan 66 persen rakyat Aceh di tiga Kabupaten yang menjadi wilayah DOM, yakni Aceh Utara, Aceh Pidie dan Aceh Timur, berpendapat bahwa Aceh sudah aman. Namun 33 persen mengatakan kurang aman, sedang selebihnya menyatakan tidak aman. Dan faktanya, sampai ditanganinya kesepakatan damai (MoU) antara RI dan GAM di Helsinki, Filandia itu.  Aceh tetap bergojolak.

Namun demikian, kinerja DPRA sangat jelas terlihat hari ini bahwa mereka memetingkan interes group ketimbang interes publik yang bersifat jangka panjang sebagai upaya untuk menjaga harkat dan martabat bagsa Aceh selama konflik berdarah berlangsung di bumi serambi mekkah ini.

Kinerja tersebut telihat ketika DPRA memperjuangkan supaya pilkada berunjuk pada UUPA setelah Mahkamah Konstutusi (MK) memutuskan mencabut pasal 256 UUPA tentang pembatasan jalur indepenten yang hanya berlaku pada pilkada 2006 saja.

DPRA memperjuangkan tersebut mati-matian sampai ke pusat (Jakarta), sehingga akhirnya tetap gagal sebagaimana maksud dan tujuan mereka itu. Pada dasarnya itu harus dan wajib, namun ada yang lebih penting lagi yang harus diperjuangkan seperti Pembentukan KKR, Qanun tentang lambang, bendera, himne dan lain sebagainya untuk Aceh sebagai implentasi UUPA dan MoU berdasarkan aplikasi MoU itu.

Sementara pembentukan KKR dan Qanun lainya tidak pernah diperjuangkan sedemikian rupa, yang seharusnya itu harus diimplentasikan secepat mungkin mengingat isu tersebut belum tuntas, yang disebabkan tidak adanya rujukan hukum berdasarkan UUPA.

Wallahu’alam....

Sumber rujukan:
  1. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
  2. Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM-RI
  3. Buku Aceh Lon "Damai Aceh Merdeka Abadi" SATKER SEMENTARA BRR Penguatan Kelembagaan Kominfo

*Penulis Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (UNIMAL) - Aceh




 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails