- Oleh Safrizal
Sebagian aktivis Aceh tidak
begitu serius menanggapi situasi atau stabilitas politik menjelang pilkada di
Aceh, yang dijadwalkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh awal 2012 ini.
Ketidak seriusan tersebut dapat
terlihat para aktivis yang bergabung dengan LSM/NGO, ormas dan lain sebagainya.
Mereka gencar membicarakan masalah pembentukan pengadilan Hak Azai Manusia (HAM)
di Aceh sebagaimana ditegaskan pasal 227 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan poin 2.2 MoU, dan untuk mencari kebenaran
dan rekonsiliasi, maka dengan UUPA tersebut di bentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Aceh (KKR) dan sesuai dengan poin 2.3 MoU.
Selain membicarakan mengenai HAM
dan KKR, mereka juga gencar mengusut tindak dugaan korupsi yang selama ini menjadi
isu hangat dikalangan mereka. Keaktifan mereka tidak hanya ditingkat provinsi
atau ibu kota provinsi di Banda Aceh, melainkan juga mereka tersebar di
beberapa kabupaten dan kota.
LSM atau civil society ini
bergerak berdasarkan atas keinginan mereka yang sadar akan penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh yang kuat melakukan korupsi, sehingga mereka mengawal kinerja
penyelenggara pemerintah dari paling atas sampai ke tingkat paling bawah.
Bagi mereka topik pilkada ini
hanya bersifat privat atau sesaat, memang pilkada ini dalam kontek Aceh memilih
pemimpin untuk meneruskan transformasi politik dan desentralisasi politik paska
perdamaian Aceh pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Filandia.
Disisi lain bagaimana bisa aman
bila rakyat yang merasa hak-hak mereka dikorbankan pada saat konflik Aceh yang
berkepanjangan atau lebih kurang 32 tahun. Pada saat itu Aceh dalam status
garis merah atau Operasi Jaring Merah, kemudian menjadi status Daerah Operasi
Militer (DOM), pada saat itu setelah pertemuan antara Soeharto dengan Gubernur
Aceh Ibrahim Hasan, jumlah tentara meningkat dari 6.000 menjadi 12.000 orang di
Aceh.
Sementara dalam catatan para
pengiat HAM, sebagai dampak diberlakunya DOM tersebut, dalam kurun waktu tahun
1991-1995 saja gerilyawan yang mengunsi keluar Aceh, sebagian besar ke Malaysia,
diperkirakan mencapi 5.000 orang. Pengadilan terhadap orang-orang yang dituduh terlibat Aceh Merdeka bahkan di adakan
di beberapa pengadilan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan berdasarkan
penelitian Amnesti Internasional, sekitar 2.000 orang Aceh di eksekusi tanpa
lebih dulu menjalani proses pengadilan.
Atas adanya eskalasi konfli, pada
tanggal 14 Oktober 1996 Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. DR. Dayan Dawood,
mengusulkan agar peredikat daerah rawan bagi Aceh di cabut, karena predikat itu
dinilai merugikan secara ekonomi. Ironisnya rektor tersebut sendiri akhirnya
tewas ditembak orang tak dikenal.
Kepala Kepolisian Daerah Aceh,
Kolonel Suwahyu, pada tanggal 29 Desember 1996 melontarkan pernyataan bahwa
Aceh sudah cukup aman dan operasi militer sebaliknya diganti dengan operasi
keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Sebagai akibat penilaian itu,
dua pekan kemudian Kolonel Suwahyu di copot dari jabatanny. Namun demikian,
desakan agar status Aceh sebagai daerah rawan di cabut, terus meninggat.
Sepajang bulan April hingga Juli
1998 gagasan untuk mencabut status DOM di Aceh mulai kembali bergejolak. Atas desakan
mahasiswa, bahkan DPRD Aceh meminta Menteri Pertahanan dan Keamana Nasional
agar mencabut status DOM tersebut.
Pada waktu itu Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) DPR untuk kasus Aceh dibentuk. Sementara itu Komite
Nasional Hak Azasi Manusia (HAM) yang dipimpin Prof. Dr. Baharuddin Lopa,
berhasil menemukan dan membongkar kuburan massal di Bukit Tengkorak.
Sebagai tindak lanjut atas temuan
kuburan massal tersebut, pada tanggal 27 Juli sampai 3 Agustus 1998 TGPF DPR-RI
yang dipimpin Letjen Hari Subarno berkunjung ke kampung Janda di kaki Bukit
Ulee Glee, Aceh Pidie. Dan pada tanggal 7 Agustus 1998 Panglima ABRI Jenderal
TNI Wiranto akhirnya mencabut status DOM dan memerintahkan agar semua satuan
TNI kembali ke pangkalan masing-masing. Ia juga meminta maaf atas tindakan
oknum ABRI /TNI yang menyakitkan hati masyarakat Aceh.
Namun ditangah upaya penarikan
pakusan ABRI/TNI waktu itu, pada tanggal 31 Agustus 1998 terjadi kerusuhan di
Lhokseumawe usai upacara penarikan 659 personel pasukan non organik TNI dari
daerah itu. Sebagai akibatnya, pada tanggal 2 September 1998 Menhankam/Pangab Jendral
TNI Wiranto menyatakan ABRI memutuskan menanggungkan penarikan sisa pasukan sampai
keadaan di Aceh benar-benar aman. Barulah kemudian pada Januari 1999 status DOM
di Aceh dinyatakan dicabut.
Pada intinya para pengiat HAM
lebih terfokus pada hal-hal masa konflik yang belum terungakp, ketimbang
memikirkan kepentingan sesaat yaitu pilkada. Disisi lain begitu juga dengan para
aktivis anti korupsi yang terus berupaya membongkar mapia-mapia berdasi panjang
atau tikus-tikus kantor yang tidak peduli kepada rakyat dan dianggap telah
meresahkan rakyat serta terhambatnya pembangunan akibat tindakan korupsi
tersebut, seperti kasus bobolnya kas Kabupaten Aceh Utara sebesar 220 Milyar
dan sampai saat ini kasus tersebut masih ditangani Pengadilan Negeri Aceh.
Terus, siapa juga yang peduli
dengan topik pilkada, sebenarnya adalah mereka-mereka yang berupaya mempertahan
argumen dan interes groupnya masing-masing. Disini sangat jelas terlihat bahwa ada
yang mengatakan mempertahankan kekhususan Aceh yaitu UUPA, harus demokratis,
sesuai dengan hukum NKRI dan lain sebagainya, itulah lontar pertanyaan ke
publik.
Sebuah penelitian yang dilakukan Universitas
Syiah Kuala (Unsyiah) bersama Badan Pembangunan Daerah Aceh pada tahun 1998,
menunjukkan 66 persen rakyat Aceh di tiga Kabupaten yang menjadi wilayah DOM,
yakni Aceh Utara, Aceh Pidie dan Aceh Timur, berpendapat bahwa Aceh sudah aman.
Namun 33 persen mengatakan kurang aman, sedang selebihnya menyatakan tidak aman.
Dan faktanya, sampai ditanganinya kesepakatan damai (MoU) antara RI dan GAM di
Helsinki, Filandia itu. Aceh tetap
bergojolak.
Namun demikian, kinerja DPRA
sangat jelas terlihat hari ini bahwa mereka memetingkan interes group ketimbang
interes publik yang bersifat jangka panjang sebagai upaya untuk menjaga harkat
dan martabat bagsa Aceh selama konflik berdarah berlangsung di bumi serambi
mekkah ini.
Kinerja tersebut telihat ketika
DPRA memperjuangkan supaya pilkada berunjuk pada UUPA setelah Mahkamah
Konstutusi (MK) memutuskan mencabut pasal 256 UUPA tentang pembatasan jalur indepenten
yang hanya berlaku pada pilkada 2006 saja.
DPRA memperjuangkan tersebut
mati-matian sampai ke pusat (Jakarta), sehingga akhirnya tetap gagal
sebagaimana maksud dan tujuan mereka itu. Pada dasarnya itu harus dan wajib,
namun ada yang lebih penting lagi yang harus diperjuangkan seperti Pembentukan
KKR, Qanun tentang lambang, bendera, himne dan lain sebagainya untuk Aceh
sebagai implentasi UUPA dan MoU berdasarkan aplikasi MoU itu.
Sementara pembentukan KKR dan
Qanun lainya tidak pernah diperjuangkan sedemikian rupa, yang seharusnya itu
harus diimplentasikan secepat mungkin mengingat isu tersebut belum tuntas, yang
disebabkan tidak adanya rujukan hukum berdasarkan UUPA.
Wallahu’alam....
Sumber rujukan:
Sumber rujukan:
- Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
- Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM-RI
- Buku Aceh Lon "Damai Aceh Merdeka Abadi" SATKER SEMENTARA BRR Penguatan Kelembagaan Kominfo
*Penulis Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (UNIMAL) - Aceh