Selasa, 06 Desember 2011

Merawat Papua di NKRI

Pemerintah berkewajiban untuk menjaga Papua tetap dalam pangkuan NKRI. Hal itu mengingat semangat dan gerakan separatis masih mengakar, terutama di kalangan penduduk asli. Adanya keinginan memisahkan diri dari NKRI tersebut, tak lepas dari nasib mereka yang tetap terbelakang, ditambah maraknya pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Selama bertahun-tahun, rakyat Papua merasa diperlakukan tak adil. Kekayaan alamnya dikeruk, namun mereka masih hidup dalam kemiskinan. Ketimpangan hasil-hasil pembangunan, mengakibatkan kondisi masyarakat di dua provinsi, Papua dan Papua Barat, masih ada yang terbelakang. Sebut saja ketersediaan infrastruktur fisik minim, serta pembangunan bidang pendidikan dan bidang kesehatan yang belum memadai, mengakibatkan rakyat Papua masih banyak yang terbelakang.

Hal itulah yang kerap memicu aksi-aksi yang menjurus pada separatisme, yang selalu dikaitkan dengan historis proses integrasi ke NKRI, yang oleh sebagian kalangan di Papua, belum bisa diterima sepenuh hati. Apalagi, rekaman kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga Papua, secara tersebar luas di seluruh dunia. Akibatnya, tercipta kampanye negatif terhadap Pemerintah RI, dan sebaliknya menumbuhkan simpati internasional yang mendukung kemerdekaan Papua.

Secara geopolitik dan geoekonomi, posisi Papua sangat strategis. Kekayaan alamnya yang melimpah mengundang minat banyak negara untuk dapat mengeruk sebanyak-banyaknya hasil Bumi Cenderawasih tersebut. Saat ini, relatif baru Amerika Serikat (AS) yang menancapkan kukunya di Papua, melalui kehadiran Freeport. Namun, bukan berarti yang lain diam. Tiongkok, yang berambisi menjadi kekuatan ekonomi baru dunia, mencari sumber energi untuk mendukung ambisinya itu. Salah satu pilihan tentu Papua.

Itulah mengapa semakin banyak negara yang mengincar Papua. Isu-isu HAM sengaja dipolitisasi secara internasional, untuk menjadi alat penekan bagi Pemerintah Indonesia. Semua itu dilakukan tentu demi keuntungan ekonomi negara bersangkutan. Hal inilah yang harus diwaspadai dan mendapat perhatian serius pemerintah. Di satu sisi, pemerintah wajib menjaga integrasi Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Pengalaman lepasnya Timor Timur 12 tahun lalu tak boleh terulang.

Di sisi lain, pemerintah harus mampu mengantisipasi tekanan internasional yang memanfaatkan isu-isu pelanggaran HAM dan ketimpangan ekonomi. Harus dicermati kepentingan ekonomi dan politik negara-negara yang saat ini mulai menyuarakan simpatinya terhadap apa yang terjadi di Papua.

Satu-satunya cara adalah memberi perhatian lebih kepada Papua. Pemerintah menyadari secara geopolitik, Papua sangat rawan dan bisa mengancam keutuhan NKRI jika tidak ditangani secara baik. Itulah mengapa wilayah itu diberi kewenangan yang begitu luas untuk menjalankan pembangunan sesuai sumber daya yang dimiliki melalui status otonomi khusus, disertai kebijakan desentralisasi fiskal yang cukup besar guna mendukung akselerasi pembangunan di segala bidang kehidupan dengan mengucurkan dana otsus.

Tak cukup hanya itu, dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diluncurkan Mei lalu, Papua juga ditetapkan sebagai salah satu koridor pembangunan ekonomi. Segala langkah itu dimaksudkan untuk menata Papua agar sejajar dengan wilayah lain di republik ini.

Kini, di saat eskalasi politik di Papua memanas, pemerintah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B), serta menginstruksikan pembentukan Desk Papua di setiap kementerian. Langkah itu merupakan cermin respons pemerintah terhadap kondisi di Papua, dan untuk merawat agar dua provinsi di ujung timur Indonesia itu tetap di pangkuan NKRI.

Namun, tantangan terbesar adalah komitmen pemerintah mengimplementasikan semua kebijakan untuk Papua secara penuh. Pengalaman selama ini, hal itu tak pernah terwujud. Dana otsus, misalnya, terbukti banyak yang dikorupsi, bahkan oleh pejabat Pemprov Papua dan Papua Barat sendiri. Maraknya korupsi dana otsus, tentu mengganggu keseluruhan kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua. Masyarakat yang tak kunjung menikmati kue pembangunan, dengan mudah merasa dianaktirikan, dan menyemaikan bibit separatisme.

Selain itu, pola pendekatan keamanan harus ditinjau kembali. Kehadiran Polri dan TNI di Papua, harus benar-benar memperhatikan aspek penegakan HAM. Sebab, terbukti HAM menjadi isu yang sangat sensitif, dan dengan mudah dipolitisasi secara internasional.

Secara keseluruhan, pola penanganan persoalan klasik di Papua tak bisa lagi mengandalkan pendekatan keamanan. Saatnya pendekatan pembangunan dan kesejahteraan menjadi ujung tombak. Sebab, hanya dengan pendekatan ini, warga asli Papua akan merasa menjadi satu bangsa dengan masyarakat Indonesia lainnya.

Solusi yang lebih fundamental, pemerintah harus membuat grand design pembangunan Papua dan Papua Barat. Kita juga harus menyadari, bahwa bukan cuma uang yang dibutuhkan rakyat Papua, tetapi juga harapan agar diperlakukan setara dengan terus mengajak dialog. Jika pemerintah mampu menjamin itu, dengan sendirinya rakyat Papua akan mencintai NKRI dengan sepenuh hati.

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails