Sungguh sayang nasib bumi
serambi mekkah yang harus mengorbankan nasip bangsanya demi tercapainya keadilan
dengan menempuh jalan berontak selama 30 tahun lebih namun akhirnya buntu
ditengah jalan setelah mereka melakukan negosiasi damai melalui Eropa/Crisis
Management Initiatif (CMI) yang berkedudukan di Helsinki Filandia yang di
ketuai oleh Martti Ahsiasary (mantan presiden filandia).
Hampir lebih 5 tahun damai
setelah menandatangi MoU antara GAM-RI pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, tetap
saja persoalan kesehteraan masih belum tuntas di Aceh. Memang untuk mencapi tujuan
tersebut perlu waktu dan dana yang cukup dalam merealisasikan ke masyarakat. Namun
akan lebih mudah terealisasi dengan baik bila pencuri-pencuri itu digantung dan
dihabiskan dari ujung ampai akarnya.
Nampaknya sekarang Aceh menjadi daerah
yang dikhususkan oleh pusat (Jakarta) selain Papua dan Papua Barat. Namun kenyataannya
dilapangan tetap seperti masa konflik, cuma sekarang tidak ada perang karna
sudah beralih ke perang urat saraf (politik).
Akibat perang urat saraf tersebut,
maka rakyat Aceh sekarang terbelah-belah menjadi beberapa kelompok di
antaranya:
- Kelompok penguasa
- Kelompok penerima fee
- Kelompok penekan
- Kelompok bayaran
- Kelompok sejahtera
- Kelompok pencuri
Dari beberapa kelompok tersebut bisa
kita analisa secara matang mungkinkah rakyat Aceh mencapai kejayaan seperti
masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, jawabannya pasti tidak akan berhasil sampai
kepuncak jayaannya sebagaimana rasa keadilan masih pada kelompok-kelompok
tertentu yang mempunyai jabatan dan berpangkat tinggi.
Kalau begitu kemanakah rakyat
akan mengadu bila diperlakukan seperti masa fir’un, tentu jawababnya hanya satu
yaitu lawan ketidakadilan demi tercapainya kesejahteraan umat. (Saf)