Oleh : Maulana Humam Daffa*
Paduka Yang Mulia Tengku Dr. Muhammad Hasan Tiro, Wali Nanggroe Aceh |
UUPA mengamanahkan sebuah lembaga Wali Nanggroe untuk kepentingan masa depan rakyat dan pemerintahan di Aceh. Hasan Tiro memang tidak ingin melembagakan jabatan ini karena target utamanya adalah medapatkan kedaulatan Aceh, tapi bukankah GAM-RI telah berdamai, dan semua tindakan di zaman ini harus sesuai dengan itu, perjanjian itu harus dilaksanakan, karena melaksanankan janji adalah sikap bangsa terhormat. Lembaga Wali Nanggroe yang dimaksudkan kini harus dipahami sebagai hak rakyat Aceh atas kekhususannya.
Munculnya sebutan ’Wali’ dalam MoU Helsinki point 1.1.7 dan UU. No. 11/2006, harus ditelusuri akarnya dalam konteks Imamah, kehidupan sosial-politik, hukum dan moral. Secara etimologis, ”Wali berarti: penjaga, pelindung, penyumbang, teman, pengurus dan juga digunakan dengan arti keluarga dekat.” [Prof. Syafiq A. Mughni. ”Konsep Wali dalam Islam.”] Bentuk plural dari kata ‘Wali’ ialah Auliya, yang artinya kekasih Allah. Allah berfirman: “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak pernah merasa takut (khawatir) dan tidak akan pernah sedih hati.” [Al-Qur’an, surat Yunus, ayat 62] Dalam kapasitas sebagai Wali, mestilah berprilaku baik. ”Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan.” [Al-Qur’an, surat An-Nahl ayat 90] Dengan begitu, ”Orang yang menyandang gelar Wali mendapatkan kedudukan yang penting dalam sistem kemasyarakatan Islam, baik karena kualitas spiritual mereka maupun karena peran sosial yang mereka mainkan.” [Prof. Syafiq A. Mughni. ”Konsep Wali dalam Islam.”]
Di Aceh, Wali nanggroë (Negara) adalah jabatan politik, penguasa tertinggi dalam suatu negara (kepala Pemerintahan), setara dengan Khalifah, Sultan, ’Ulil Amri, Raja dan Kaisar di Dunia Timur dan setara dengan King, President dan Prime Minister di dunia Barat. Wali Nanggroë versi [MoU Helsinki, point 1.1.7] Dikatakan: ”Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” UU. No.11/2006 lebih rinci menjabarkan: “(1). Wali Nanggroë dan Tuha Nanggroë adalah mitra kerja pemerintah Provinsi dalam rangka penyelenggaraan kehidupan adat, budaya dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroë Aceh Darussalam; (2). Wali Nanggroë dan Tuha Nanggroë dapat menentukan lambang, simbol panji kemegahan yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Nanggroë Aceh Darussalam.” Jadi, Wali Negara yang sebelumnya sebagai Kepala Negara (pemerintahan) didegradasi: “sebagai simbul bagi penyelenggaraan kehidupan adat, hukum adat-istiadat, budaya, pemberian gelar/derajat serta upacara adat lainnya sesuai dengan budaya adat Aceh dan syariat. Kecuali itu, Lembaga Wali Nanggroë berhak memberi kehormatan, gelar/derajat adat kepada perorangan atau lembaga baik dalam dan luar negeri. Lembaga Wali Nanggroë adalah sebuah lembaga independent yang bukan eksekutif, legislative dan yudikatif.”
Peranan Wali Nanggroe? Dengan menggunakan gelar “Paduka Yang Mulia” (PYM) Wali Nanggroe menguasai jabatan setingkat Perdana Menteri dalam memutuskan beberapa kebijakan penting di seluruh Aceh, mulai dari ngosiasi perdagangan dengan luar negeri, masalah investasi, pemerintahan dalam negeri hingga menentukan pembubaran DPR Aceh dan pencalonan Gubernur Aceh. Pendapat rakyat Aceh pada umumnya tentang peranan PYM Wali Nanggroe ini? Jika mengacu kepada pemenang Pemilu di Aceh yang didominasi oleh Partai Aceh, tentu ini merupakan representasi aspirasi rakyat Aceh, dan mengacu kepada sistem Demokrasi maka ini adalah hak rakyat Aceh dalam menentukan pilihannya dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia.
Pro dan Kontra Wali Nanggroe?
Mantan Wapres, Jusuf Kalla Bersama Hasan Tiro |
Wali Nanggroe diperkenalkan pertama kali oleh Hasan Tiro sebagai tokoh Aceh paling berpengaruh di Akhir abad 20 M dan awal abad 21 M di Aceh dan Indonesia. Kita tahu, setiap sikap kritis orang Aceh atau penduduk Aceh sejak 1976 sampai dunia kiamat, adalah pengaruh Hasan Tiro, jadi pengaruhnya meluas tidak dapat dibendung. Pengaruh Hasan Tiro bahkan masuk ke dalam setiap kepala orang Aceh atau di luar Aceh, walau orang tersebut tidak suka atau tidak setuju GAM. Pengaruh Hasan Tiro bukan milik paten GAM (walau dipatenkan dalam gerakan tersusun rapi dan kuat), tapi milik publik. Aceh dihormati oleh negara RI dengan menyamakan kedudukan dalam perundingan Helsinki adalah karena Hasan Tiro.
Hasan Tiro memang melawan semua lawan politiknya, tapi tidak bisa menang dengan misi dirinya karena ia wafat sebelum Aceh Merdeka sebagaimana impiannya. Setelah Hasan Tiro wafat, maka peradaban Aceh dan dunia politiknya lebih rentan, dan inilah Aceh baru, Aceh yang dalam bayang-bayang impian Hasan Tiro. Tidak ada gading yang tak retak, maka dalam setiap sejarah, harusnya dikenang dari dua sisi. Dalam hukum alam, pembawa perubahan seperti Hasan Tiro hanya dilahirkan seorang dalam kurun waktu seratus tahun di antara jutaan yang lain.
Menurut Petinggi KPA (baca:GAM), ”Wali bukan hanya sekadar mengurusi adat-istiadat. Tetapi setidak-tidaknya memiliki kewenangan tertentu dalam bidang politik, meskipun terbatas. Misalnya: berhak membubarkan parlemen, berhak membebaskan tahanan, dan mampu menyatukan berbagai perbedaan di dalam masyarakat, seperti Yang Dipertuan Negeri Malaka, Malaysia.” Kalaulah ini maunya, maka yang mesti dipertanyakan ialah klausul MoU Helsinki) yang menyebut: ”Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” Artinya, Wali nangroe hanya mengurus soal budaya, adat-istiadat dan tidak ada indikasi yang mengarah kepada kewenangan politik; … Jika ini tujuannya, maka yang harus dipersoalkan adalah UU. No. 11/2006 yang menyebut: ”Lembaga Wali Nanggroë adalah sebuah lembaga independent yang bukan eksekutif, legislative dan yudikatif.” Di sini jelas bahwa, Wali nanggroë tidak mempunyai kewenangan dalam bidang politik. Jadi, upaya menyetarakan status Wali nanggroë (negara) dengan Yang dipertua Negeri, Jenderal besar dan atau Askar Melayu Diraja (AMD) di Malaysia adalah suatu pelecehan terhadap status Wali nanggroë (negara), karena disifatkan sebagai mendigredasi (menurunkan derajat). “Karena itu, tak salah dipertanyakan: apakah Qanun tentang Wali nanggroë merupakan suatu bentuk pengakuan rakyat Aceh terhadap institusi Wali Nanggroë (negara) atau bentuk lain dari coup d’état (makar) sejarah?”
Polemik tentang Wali Nanggroe kembali muncul berkenaan dengan rancangan qanun (raqan) tentang lembaga itu yang baru-baru ini dibuat oleh DPRA. Sebelumnya, di tahun 2007, DPRD Provinsi Aceh hasil pemilu 2004 telah pula melahirkan rancangan tentang lembaga yang sama. Perbedaan yang signifikan dari dua raqan itu adalah bahwa raqan tahun 2007 menempatkan Wali Nanggroe sebagai institusi adat, sedangkan raqan tahun 2010 menjadikan lembaga ini sebagai institusi politik. Penolakan terhadap raqan 2010 dinilai wajar karena dua sebab. Pertama, menjadikan Wali Nanggroe sebagai institusi politik bertentangan dengan Pasal 96 Undang-Undang 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang secara eksplisit menyebut Wali Nanggroe sebagai pemuka adat belaka. Kedua, generasi yang hidup saat ini memiliki pengalaman berpolitik dalam alam demokrasi, baik secara struktural maupun kultural; sedangkan raqan 2010 tersebut lebih dekat pada bentuk pemerintahan monarkhi (kerajaan) konstitusional.
Rancangan Qanun `Wali Nanggroe` mengisyaratkan Aceh kembali ke masa pemerintahan `zaman tengah` atau mundur ke belakang. Rancangan Qanun itu juga memiliki makna dari elite untuk rakyat atau sesuai apa maunya elite. Rancangan Qanun tersebut tidak memberikan suatu kenyamanan bagi orang-orang yang sudah mempunyai pandangan demokratis, menjunjung tinggi persamaan dan persaudaraan serta kemerdekaan berpikir untuk berbuat dalam suatu organisasi kesepakatan bersama atau negara hukum. Rancangan Qanun tersebut, tambahnya, mengindikasikan bahwa Aceh sudah mengalah dan tidak sanggup berkompetisi dengan dunia global yang menjadikan demokrasi sebagai sarana untuk mendapatkan persamaan hak.
Raqan itu hendaknya memuat kepentingan masyarakat Aceh, bukan kepentingan suatu kelompok dan golongan. Jabatan WN haruslah memayungi semua unsur dan golongan masyarakat di Aceh. Jika mampu menampung (kepentingan masyarakat), akan lebih bagus dan sempurna, seperti bayi yang baru lahir. Kita juga tak sependapat jika posisi WN diarahkan menjadi jabatan politik. Dalam Pasal 96 dan 97 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tegas disebutkan bahwa WN punya tugas sebagai perekat masyarakat Aceh lewat pendekatan adat dan bukan lembaga politik. Posisi pemerintahan dan pemimpin daerah jelas dipegang oleh gubernur. Kalau dipaksakan, bisa menimbulkan komplikasi.
Simbol Politik Dinasti di Aceh
Calon Pengganti Wali Nanggroe, Tgk. Malek Mahmud Al-Haythar atau biasa disebut Mentroe Malek (tengah-berjas) |
Fenomena politik dinasti yang hinggap baik di partai (lembaga) politik maupun lembaga pemerintahan merupakan praktek nepotisme yang membahayakan demokrasi. Apa sebetulnya motif para elit politik mewariskan kekuasaannya terhadap sanak famili mereka? Apakah tujuan mereka benar-benar berjuang demi kepentingan rakyat, atau sebaliknya untuk memperkokoh kekuasaan keluarga? Apakah politik dinasti selalu berdampak negatif dalam pelaksanaan pemerintahan? Penting dicatat bahwa politik dinasti mengandaikan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (famili). Dinasti politik ditandai dengan tersebarnya jejaring kekuasaan melalui trah politik pendahulunya dengan cara penunjukan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis dalam partai (lembaga) politik.
Biasanya ini adalah cara agar sanak famili tersebut bisa dengan mudah meraih jabatan publik baik sebagai bupati/wakil bupati (eksekutif) maupun sebagai anggota perwakilan Rakyat/DPRD. Dalam lembaga politik seperti partai mereka yang masih mempunyai hubungan dekat dengan keluarga acap kali mendapatkan keistimewaan (privilege) untuk menempati pelbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi. Di sisi lain ada juga praktek dinasti politik dengan melakukan pemecahan kongsi kekuatan politik dalam keluarga. Tak bisa dipungkiri praktik politik dinasti dalam banyak kasus membahayakan demokrasi. Politik dinasti membuka ruang yang cukup menganga akan potensi menancapnya pengaruh politik untuk kepentingan keluarga. Dinasti politik bisa menjadi absolut manakala ruang kritik kemudian tertutup rapat sehingga mekanisme keputusan dan regulasi yang dibuat cenderung ekslusif.
Sebenarnya, politik dinasti bukanlah hal baru dipraktekkan dalam sejarah perpolitikan. Di Amerika kita mengenal trah Kennedy dan Bush, di Singapura ada dinasti Lee Kuan Yew, di India terdapat trah Gandhi, Filipina ada keluarga Aquino dan semacamnya. Apalagi dalam sejarah kerajaan sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia yang memang cukup kentara. Tetapi, dalam konteks demokrasi kita yang menggunakan sistim multi partai, politik dinasti seakan menyalahi prinsip demokrasi di mana setiap warga negara berhak memilih dan dipilih menjadi penguasa. Asumsi semacam ini wajar saja karena terdapat beberapa gejala di mana figur yang diusung oleh partai tertentu menyalahi prinsip dan fungsi partai itu sendiri.
Keberadaan partai politik selama ini diyakini sebagai salah satu tonggak sekaligus penggerak demokratisasi agar kekuasaan benar-benar tercermin dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebab itu, partai politik memiliki fungsi distribusi kekuasaan buat kader-kadernya, agregrasi publik, kontrol atas pemerintah, dan sebagai tempat pendidikan politik masyarakat. Fungsi ini dimaksudkan agar kekuasaan tidak menjadi hak milik yang diklaim secara absolut oleh seseorang atau kalangan tertentu selain rakyat.
Lewat demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan (dalam mengelola bumi). Jika ada satu orang atau sekelompok orang yang lebih suci, cerdas, dan kuat ia atau kelompok itu tidak boleh merampas kedaulatan rakyat meski ia atau kelompok itu sudah secara nyata menjadi pembebas rakyat dari penindasan yang dilakukan orang atau kelompok lain. Politik Wali Nanggroe itu hadir berawal kala atmosfir politik Aceh doeloe terbelah dua dan seperti mendapat mandat sejarah Sang Wali menggempur lawan agar semua yang bertikai di nanggroe kembali saling menjadi kawan. Karena itu, sudah sewajarnya jika kini politik Wali Nanggroe diakhiri dengan reformulasi posisi karena lawan sudah menjadi kawan dan karena itu sudah sangat tepat jika Wali Nanggroe mengambil peran pemersatu untuk mengawali babak baru kewalian di era damai ini.
Dalam alam demokrasi, dinasti politik bisa jadi akan bertahan, namun sulit untuk dipraktikan sebagaimana praktik dinasti politik di zaman dahulu yang penuh dengan penyelewengan dan sejenisnya. Dengan demikian aspek moral dan kualitas individu menjadi penentu (determinant factor) apakah dinasti politik akan memberi dampak destruktif atau konstruktif bagi roda pemerintahan. Di sisi lain praktik politik yang menyimpang dari dinasti politik juga bisa dicegah manakala sistem pengawasan publik dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Lebih tepatnya karena adanya mekanisme kontrol dan sistem rekruitmen yang terbuka, meskipun anggota keluarga mewarisi kekuasaan, praktik penyalahgunaan wewenang masih bisa ditekan. Hal tersebut sangat beralasan sebab ruang kritik dari publik terbuka lebar. Politik dinasti terjadi bukan karena sistem politik yang rapuh. Dampak negatif dinasti politik seperti Wali Nanggroe bisa diminimalisir manakala aspek moral dan kualitas individu menjadi pertimbangan penting. Artinya tidak selamanya praktek dinasti politik mempunyai dampak yang destruktif. Dalam kaitan ini semua bergantung dari moralitas Wali Nanggroe yang menerima kekuasaan dalam menjalankan kewenangannya.
Secara langsung, Wali tidak pernah menyebut penggantinya harus dari keluarga di Tiro. Yang lebih utama lagi, Wali mengatakan suksesornya ada di Aceh—bukan anak tunggalnya Karim di Amerika. Kami hanya bisa meraba, yang dimaksud itu adalah Tengku Darul Kamal (alm) yang juga seorang keluarga di Tiro sebelah perempuan. Sinyal ini sudah tercium semasa Tengku Darul Kamal bergerilya di hutan. Kriteria yang Hasan Tiro maksudkan itu adalah untuk seorang Wali Negara (kepala Negara) yang merdeka dan berdaulat—bukan wali nanggroe sebagai pemimpin tertinggi adat di salah satu propinsi di Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan UUPA.
Tidak masalah memang apabila lembaga Wali Nanggroe (WN) di buat, karena itu merupakan keistimewaan Aceh. Di pertegaskan lagi melalui MoU dan UU No. 11 tahun 2006. Akan tetapi yang harus diperhatikan jangan sampai lembaga WN, ketika sudah di realisasikan akan menuai konflik baru. Hal penting yang harus di pikirkan bagi kita semua adalah bagaimana model pengawasan, dan mekanisme menjalankan harus jelas. Menilik dari adagium Lord Acton tersebut, dinasti politik yang berpola seperti diatas akan terlihat sebagai sebuah penyalahgunaan wewenang dan otoritas, yang tentu sja hal itu merupakan sebuah bentuk korupsi (KKN). Dalam lingkup sederhana sebenarnya dinasti politik dapat dibenarkan, dengan cara memberikan pembelajaran politik terhadap kerabat terdekat atau bahkan keluarga agar jiwa politik yang didasarkan pada pemahaman tata kehidupan bernegara dan berbangsa dapat tumbuh di kalangan kerabat terdekat maupun keluarga.
Wali Nanggroe harus diterapkan seperti model di Malaysia, dimana yang di pertuan agung bergantian. Wali Nanggroe harus bergilir sesuai etnis di Aceh. Sehingga membangun dan menciptakan rasa kesatuan dan persatuan rakyat Aceh yang multi etnis. ketika ini tidak terealiasasi maka akan memunculkan Chauvinisme, maksudnya paham yang menganggap etnis (suku)nya lebih unggul dari suku lainnya di Aceh. Intinya Aceh harus dirumuskan sebagai cita-cita politik bersama, bukan cita-cita sukuisme. Maka orang-orang yang melakukan ini berpikiran sempit dalam melihat perkembangan Aceh dengan memanipulasi masalah kesukuan.
*Penulis adalah Pegiat Komunitas Beranda
Sumber: politik.kompasiana.com