Seorang anak yang bernama
Ramadhan (17), tinggal di sebuah desa pedalam Kabupaten Aceh Utara, yang
tepatnya di Gampong Blang Gunci Kecamatan Paya Bakong kabupaten setempat. Anak yang
hidup tanpa ibunya ini, hanya didampingi ayahnya yang bernama M Adam (38), Ramadhan
sehari-hari hidup dilingkungan Dayah (pasantren) yang tepatnya di Dayah Lhokmon Puteh Kota Lhokseumawe.
Dalam beberapa hari terakhir ini Ramadhan
pulang ke kampung halamannya karena di Dayah tersebut sudah libur, selama di
kampung Ramadhan berteman dengan anak-anak yang ada di kampung tersebut,
sebagaimana teman lamanya.
Namun belakangan ini Ramadhan
kesulitan mendapatkan kebutuhan hidupnya, karnya ayahnya Adam tidak di kampung,
melainkan ditempat istrinya yang baru. Namun Ramadhan tetap mencari kebutuhan hidupnya
sendiri walaupun berat tantangan yang harus ia hadapi mengingat dia masih belum
pantas mencari kebutuhan hidup tersebut.
Ramadhan yang duduk di kelas 1
Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, terus berupaya mendapatkan kebutuhan hidup,
sehingga ia terpaksa pergi naik gunung bersama dengan orang-orang yang tidak
seusianya.
Sekitar dua minggu di gunung ramadhan
kembali turun ke kampung, tiba-tiba pandangan dan pembicaraannya sangat berubah,
seakan-akan dia mengetahui permasalah yang sedang dihadapi Aceh saat ini.
Sehingga dia mengatakan “buya krung
teudong-dong, buya tamoeng meuraseuki” (buaya sungai berdiri, buaya masuk dapat
rejeki), asal ada yang tidak beres dihancurkan termasuk yang menentang. Kalian jangan
takut katanya.
Selama 5 jam lebih Ramadhan
memaparkan kehendaknya tersebut, tiba-tiba timbul dugaan masyarakat bahwa ada
sesuatu yang terjadi sama dia. Karena pembicaraan yang disampaikan tersebut belum
seharusnya diketahui Ramadhan, namun kuat dugaan dia kemasukan akibat naik
turun gunung tersebut.
Sehingga pemuda Gampong Blang
Gunci terpaksa memanggil orang yang bisa menyembuhkan dia terhadap apa yang
sedang dia alami, sebutkanlah dukun.
Nampaknya dia tidak mempedulikan
dukun tersebut, dan terus mengatan yang penting jangan runtuh “ingat” kalau
tidak saya potong leher. Allah bersama kita, hanya dua pihak yaitu “kita dan
Allah”, namun ketika dukun tersebut membacakan do’a, dia sekali-kali membawa
tawa orang yang sedang melihat dia dengan mengatakan jangan keras-keras cukup
dengan perasaan saja. Saya ini sedang dimasukan tenaga dalam, sehingga puluhan
orang yang sedang melihat dia tidak menahan tawanya, seakan-akan tidak terjadi
apa-apa.
Dalam aksinya tersebut selalu
mengatakan Allah bersama kita, tadi saya sudah berjumpa dengan Tgk Lah (mungkin
maksudnya Almarhuh Tgk Abdullah Syafi’i pada waktu itu panglima GAM) supaya
kita jangan lupa daratan, kita kalau keluar Aceh harus takut orang lain karna kita
orang Aceh dan yang kita jalankan agama, kalau pohon pinang tetap pohon pinang tambahnya.
Sekali-kali dia mengatakan “apakah
kita sudah di DPO”, Allah bersama kita, Allah dengan makluk dan Allah
segala-galanya.
Ayah Rayek