Oleh Mashudi SR
SILANG sengkarut pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) Aceh tidak hanya memunculkan ketegangan politik dan ketidakharmonisan hubungan eksekutif-legislatif. Tetapi telah mendorong mengkristalnya dua persoalan mendasar bagi masa depan Aceh. Pertama menguatnya semangat (setidaknya di level elit politik lokal) memelihara perdamaian pasca-penandatanganan perjanjian damai enam tahun yang lalu. Kedua, perlunya menjaga keutuhan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang tidak hanya menjadi instrumen perdamaian, tetapi juga sekaligus penjamin kekhusususan yang dimiliki Aceh.
Kristalisasi kesadaran tersebut terungkap dalam pertemuan rapat koordinasi penyelesaian pilkada Aceh yang dilakukan di Jakarta, difasilitasi kementerian Dalam Negeri. Melalui juru bicara Forum Silaturahmi Parpol Aceh, Mawardy Nurdin, yang ikut sebagai peserta rapat tersebut menyampaikan agar MK dan pemerintah pusat tidak gegabah dalam memutuskan jika ada gugatan terhadap pasal-pasal yang ada dalam UU PA. “Supaya ke depan, jika ada pihak yang mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal UUPA, maka Mahkamah Konstitusi dan pemerintah pusat harus mengkonsultasikannya lebih dulu kepada DPRA dan Pemerintah Aceh sebagaimana diamanatkan UUPA,” (Serambi Indonesia, 4/8)
Kedudukan UU PA
Keberadaan UU PA bagi Aceh, tentu memiliki makna yang berbeda dibandingkan dengan UU yang lain. Selain karena isinya yang memuat hak-hak istimewa, UU ini dilahirkan untuk memformalkan point-point kesepakatan kedalam norma hukum Indonesia, sehingga aplikatif dan mempunyai legalitas dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kehendak bersama sebagaimana yang tertuang dalam naskah kesepahaman tersebut, ikut menjiwai sebagian besar dari UU PA ini.
Dalam bagian penjelasan umum UUPA disebutkan secara eksplisit bahwa Memorandum of Understanding itu, “memberikan konsiderasi filosofis, yuridis, dan sosilogis dibentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh”. Disebutkan pula bahwa nota kesepahaman ini merupakan sebuah bentuk rekonsiliasi yang dilakukan secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.
Beberapa hak yang diberikan sebagai wujud dari pengakuan atas keistimewaan dan kekhususan Aceh sebenarnya telah ditetapkan dalam UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. karena itu, kehadiran UU PA melengkapi sekaligus menyempurnakan keistimewaan dan kekhususunan ini.
Dengan latar sejarah seperti ini bisa difahami bila masyarakat Aceh menjadikan UUPA seperti “kitab suci” yang tidak saja harus dihormati, tetapi juga harus diamalkan”. Eksekutif, legislatif, dan seluruh komponen masyarakat wajib merujuknya sebelum mengambil-lakukan kebijakan. Keputusan apapun tanpa sejalan dengan kehendak UU ini, maka akan mendapat penolakan dengan sendirinya. Ini dikarenakan sifatnya yang berlaku khusus.
Apa yang menjadi ketakutan para politisi sebagaimana disuarakan Mawardy Nurdin di atas, bukanlah hal baru. Dua tahun setelah ditetapkan, telah muncul suara-suara yang berkehendak melakukan revisi terbatas. UUPA dianggap belum mengakomodir secara keseluruhan point-point yang ada dalam MoU. Selain banyak juga pasal yang telah ada tidak sesuai dengan MoU tersebut.
Saat ini yang terjadi bukan hanya revisi tetapi peninjauan pasal-pasal yang dianggap bertentangan konstitusi melalui pengadilan undang-udang bernama Mahkamah Konstitusi. Peluang hukum ini jauh lebih “berbahaya” bagi UUPA jika dibandingkan dengan cara melakukan revisi. Setiap individu mempunyai hak untuk mengajukan gugatan pasal-pasal yang ada dalam UU PA ke MK. Tidak perlu ada persetujuan politik apa pun dan dari siapa pun.
Keputusan MK nomor 35/PUU-VIII/2010 tentang calon kepala daerah dari unsur perseorangan yang diajukan hanya beberapa orang warga masyarakat, memperlihatkan relatif mudahnya rintangan yang dilalui. Ini berbeda dengan revisi, yang mengharuskan ada tahapan-tahapan proses dan harus melalui pintu legislatif. Artinya butuh waktu dan tenaga yang banyak untuk merevisi meski hanya satu pasal saja.
Belajar dari keberhasilan gugatan terhadap pasal 256 UUPA di MK, sepatutnya menyadarkan kita semua, bahwa selalu terbuka peluang untuk melakukan langkah hukum bagi siapa pun warga negara yang merasa hak konstitusionalnya terganggu, membawa pasal-pasal dari UUPA ke meja MK untuk diadili. Ini berarti, UUPA pasca keputusan MK tentang calon perseorangan tersebut, terancam “dipreteli”.
Harus diakui banyak dari pasal UUPA yang bertabrakan dengan konsitusi negara. Baik yang berkaitan dengan hak-hak politik terlebih ekonomi. Celakanya justeru di pasal yang dianggap bertabrakan itulah terletak keistimewaan dan kekhusususan Aceh. Jika pasal ini dijadikan objek gugatan, bisa dipastikan UUPA kehilangan daya pikatnya. Aceh bukan lagi menjadi daerah istimewa dan khusus, tetapi daerah yang diistimewakan dan dikhususkan.
Oleh karena itulah, perlu kiranya segera diambil-lakukan langkah “penyelamatan” sembari terus mengimplementasikan amanat yang ada di dalamnya secara konsisten. Termasuk menagih hutang pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana yang lebih bersifat tekhnis dari beberapa pasal yang ada.
Hal yang selama ini terlupakan, adalah membiarkan UUPA ini hadir di tengah-tengah masyarakat tanpa pendampingan yang massif. Program sosialisasi yang dilakukan sangat konvensional, setengah hati dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Pernyataan juru bicara Forum Silaturahmi Parpol Aceh, menginformasikan kepada kita akan kegagalan program sosialisasi tersebut.
Jika ditingkat wilayah Aceh saja internalisasi UUPA gagal membuahkan hasil, bagaimana untuk tingkat pemerintah pusat? Pengalaman menunjukkan para birokrat pusat masih melihat UUPA bukan produk hukum yang bersifat khusus yang memerlukan respons secara khusus pula. Tidak terlalu mengherankan apabila banyak pejabat di Kementerian dan Lembaga yang terkait dengan persoalan Aceh, kurang begitu familiar dengan UU ini, padahal masa berlakunya sudah melewati lima tahun.
Oleh karena itu, penting kiranya menjadikan UU ini mengindonesia, guna mengabarkan kepada masyarakat nusantara, bahwa keistimewaan dan kekhususan Aceh hanya akan berarti melalui UU ini. Tentu bukan sekadar memberikan penjelasan tentang sifat dan kedudukan dari UUPA atau pasal-pasal yang dikandungnya. Lebih jauh dari itu, bagaimana mendeskripsikan latar sejarah yang menjadi landasan filosofis, yuridis, dan sosilogis dalam penyusunanannya.
Jangan pernah berharap bahwa masyarakat bangsa ini terlebih para pejabat birokrasi dan elite politiknya, dengan sadar diri memahami dan mengakui keistimewaan dan kekhususan Aceh yang telah mendapat jaminan hukum. Selalu saja ada upaya pelemahan hak keistimewaan dan kekhususan dengan melakukan perlawanan terhadap amanah UUPA.
Karena itu, jangan terlalu lama larut dalam euforia kebebasan. Jangan pula selalu menjadikan berbagai peristiwa kemanusiaan yang terjadi selama tiga dasawarsa sebagai alat tawar-menawar mencapai tujuan.
* Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.
SILANG sengkarut pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) Aceh tidak hanya memunculkan ketegangan politik dan ketidakharmonisan hubungan eksekutif-legislatif. Tetapi telah mendorong mengkristalnya dua persoalan mendasar bagi masa depan Aceh. Pertama menguatnya semangat (setidaknya di level elit politik lokal) memelihara perdamaian pasca-penandatanganan perjanjian damai enam tahun yang lalu. Kedua, perlunya menjaga keutuhan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang tidak hanya menjadi instrumen perdamaian, tetapi juga sekaligus penjamin kekhusususan yang dimiliki Aceh.
Kristalisasi kesadaran tersebut terungkap dalam pertemuan rapat koordinasi penyelesaian pilkada Aceh yang dilakukan di Jakarta, difasilitasi kementerian Dalam Negeri. Melalui juru bicara Forum Silaturahmi Parpol Aceh, Mawardy Nurdin, yang ikut sebagai peserta rapat tersebut menyampaikan agar MK dan pemerintah pusat tidak gegabah dalam memutuskan jika ada gugatan terhadap pasal-pasal yang ada dalam UU PA. “Supaya ke depan, jika ada pihak yang mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal UUPA, maka Mahkamah Konstitusi dan pemerintah pusat harus mengkonsultasikannya lebih dulu kepada DPRA dan Pemerintah Aceh sebagaimana diamanatkan UUPA,” (Serambi Indonesia, 4/8)
Kedudukan UU PA
Keberadaan UU PA bagi Aceh, tentu memiliki makna yang berbeda dibandingkan dengan UU yang lain. Selain karena isinya yang memuat hak-hak istimewa, UU ini dilahirkan untuk memformalkan point-point kesepakatan kedalam norma hukum Indonesia, sehingga aplikatif dan mempunyai legalitas dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kehendak bersama sebagaimana yang tertuang dalam naskah kesepahaman tersebut, ikut menjiwai sebagian besar dari UU PA ini.
Dalam bagian penjelasan umum UUPA disebutkan secara eksplisit bahwa Memorandum of Understanding itu, “memberikan konsiderasi filosofis, yuridis, dan sosilogis dibentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh”. Disebutkan pula bahwa nota kesepahaman ini merupakan sebuah bentuk rekonsiliasi yang dilakukan secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.
Beberapa hak yang diberikan sebagai wujud dari pengakuan atas keistimewaan dan kekhususan Aceh sebenarnya telah ditetapkan dalam UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. karena itu, kehadiran UU PA melengkapi sekaligus menyempurnakan keistimewaan dan kekhususunan ini.
Dengan latar sejarah seperti ini bisa difahami bila masyarakat Aceh menjadikan UUPA seperti “kitab suci” yang tidak saja harus dihormati, tetapi juga harus diamalkan”. Eksekutif, legislatif, dan seluruh komponen masyarakat wajib merujuknya sebelum mengambil-lakukan kebijakan. Keputusan apapun tanpa sejalan dengan kehendak UU ini, maka akan mendapat penolakan dengan sendirinya. Ini dikarenakan sifatnya yang berlaku khusus.
Apa yang menjadi ketakutan para politisi sebagaimana disuarakan Mawardy Nurdin di atas, bukanlah hal baru. Dua tahun setelah ditetapkan, telah muncul suara-suara yang berkehendak melakukan revisi terbatas. UUPA dianggap belum mengakomodir secara keseluruhan point-point yang ada dalam MoU. Selain banyak juga pasal yang telah ada tidak sesuai dengan MoU tersebut.
Saat ini yang terjadi bukan hanya revisi tetapi peninjauan pasal-pasal yang dianggap bertentangan konstitusi melalui pengadilan undang-udang bernama Mahkamah Konstitusi. Peluang hukum ini jauh lebih “berbahaya” bagi UUPA jika dibandingkan dengan cara melakukan revisi. Setiap individu mempunyai hak untuk mengajukan gugatan pasal-pasal yang ada dalam UU PA ke MK. Tidak perlu ada persetujuan politik apa pun dan dari siapa pun.
Keputusan MK nomor 35/PUU-VIII/2010 tentang calon kepala daerah dari unsur perseorangan yang diajukan hanya beberapa orang warga masyarakat, memperlihatkan relatif mudahnya rintangan yang dilalui. Ini berbeda dengan revisi, yang mengharuskan ada tahapan-tahapan proses dan harus melalui pintu legislatif. Artinya butuh waktu dan tenaga yang banyak untuk merevisi meski hanya satu pasal saja.
Belajar dari keberhasilan gugatan terhadap pasal 256 UUPA di MK, sepatutnya menyadarkan kita semua, bahwa selalu terbuka peluang untuk melakukan langkah hukum bagi siapa pun warga negara yang merasa hak konstitusionalnya terganggu, membawa pasal-pasal dari UUPA ke meja MK untuk diadili. Ini berarti, UUPA pasca keputusan MK tentang calon perseorangan tersebut, terancam “dipreteli”.
Harus diakui banyak dari pasal UUPA yang bertabrakan dengan konsitusi negara. Baik yang berkaitan dengan hak-hak politik terlebih ekonomi. Celakanya justeru di pasal yang dianggap bertabrakan itulah terletak keistimewaan dan kekhusususan Aceh. Jika pasal ini dijadikan objek gugatan, bisa dipastikan UUPA kehilangan daya pikatnya. Aceh bukan lagi menjadi daerah istimewa dan khusus, tetapi daerah yang diistimewakan dan dikhususkan.
Oleh karena itulah, perlu kiranya segera diambil-lakukan langkah “penyelamatan” sembari terus mengimplementasikan amanat yang ada di dalamnya secara konsisten. Termasuk menagih hutang pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana yang lebih bersifat tekhnis dari beberapa pasal yang ada.
Hal yang selama ini terlupakan, adalah membiarkan UUPA ini hadir di tengah-tengah masyarakat tanpa pendampingan yang massif. Program sosialisasi yang dilakukan sangat konvensional, setengah hati dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Pernyataan juru bicara Forum Silaturahmi Parpol Aceh, menginformasikan kepada kita akan kegagalan program sosialisasi tersebut.
Jika ditingkat wilayah Aceh saja internalisasi UUPA gagal membuahkan hasil, bagaimana untuk tingkat pemerintah pusat? Pengalaman menunjukkan para birokrat pusat masih melihat UUPA bukan produk hukum yang bersifat khusus yang memerlukan respons secara khusus pula. Tidak terlalu mengherankan apabila banyak pejabat di Kementerian dan Lembaga yang terkait dengan persoalan Aceh, kurang begitu familiar dengan UU ini, padahal masa berlakunya sudah melewati lima tahun.
Oleh karena itu, penting kiranya menjadikan UU ini mengindonesia, guna mengabarkan kepada masyarakat nusantara, bahwa keistimewaan dan kekhususan Aceh hanya akan berarti melalui UU ini. Tentu bukan sekadar memberikan penjelasan tentang sifat dan kedudukan dari UUPA atau pasal-pasal yang dikandungnya. Lebih jauh dari itu, bagaimana mendeskripsikan latar sejarah yang menjadi landasan filosofis, yuridis, dan sosilogis dalam penyusunanannya.
Jangan pernah berharap bahwa masyarakat bangsa ini terlebih para pejabat birokrasi dan elite politiknya, dengan sadar diri memahami dan mengakui keistimewaan dan kekhususan Aceh yang telah mendapat jaminan hukum. Selalu saja ada upaya pelemahan hak keistimewaan dan kekhususan dengan melakukan perlawanan terhadap amanah UUPA.
Karena itu, jangan terlalu lama larut dalam euforia kebebasan. Jangan pula selalu menjadikan berbagai peristiwa kemanusiaan yang terjadi selama tiga dasawarsa sebagai alat tawar-menawar mencapai tujuan.
* Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.
Sumber : serambinews.com