JAKARTA - Penetapan tahapan Pilkada Aceh, termasuk tanggal pencoblosan serta calon
independen, sepenuhnya menjadi kewenangan Komisi Independen Pemilihan
(KIP) Aceh. Pelaksanaan pilkada mengacu kepada Qanun Nomor 7 Tahun 2006
dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Demikian kesimpulan Rapat Koordinasi Pilkada Aceh yang berlangsung di Kementerian
Dalam Negeri Jakarta, Kamis (22/9). Rapat itu dipimpin Dirjen Otonomi
Daerah Prof Djohermansyah Djohan, dihadiri antara lain oleh Gubernur
Aceh Irwandi Yusuf dan Ketua DPRA Hasbi Abdullah.
Kemendagri :
Gamawan Fauzi |
Dirjen Otda :
Djohermansyah Djohar |
KIP :
Abdul Salam Poroh |
Gubernur Aceh :
Irwandi Yusuf |
Irwandi menilai DPR Aceh (DPRA) mengulur-ulur waktu untuk menghambat Pilkada Aceh. DPRA menggunakan nota kesepahaman Helsinki dan tata tertib untuk menolak adanya calon perseorangan dalam Pilkada Aceh.
"Badan Legislatif DPRA tampak mengulur waktu dengan tidak membahas qanun (kanun) (peraturan daerah) tentang pelaksanaan pilkada. DPRA malah menyurati Menteri Dalam Negeri bahwa kanun yang sama tidak dapat dibahas pada masa persidangan yang sama dan tahun yang sama. Padahal, 'tahun yang sama' tidak ada dalam tata tertib. Itu penipuan publik," tutur Irwandi, Kamis (22/9/2011) di Jakarta.
Irwandi menyebutkan, dalam nota kesepahaman Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki tahun 2005 (MoU Helsinki), peluang calon perseorangan dalam pilkada tidak hanya berlaku untuk satu kali pilkada. Dalam Pasal 33 Qanun Nomor 3/2007 tentang Tata Cara Pembuatan Qanun memang disebutkan "rancangan qanun yang tidak mendapat persetujuan gubernur/bupati/wali kota atau DPRA/DPRK tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama."
Adapun dalam MoU Helsinki 2005 disebutkan, "Upon the signature of this MoU, the people of Aceh will have the rights to nominate candidates for the positions of all elected officials to contest the elections in Aceh in April 2006 and thereafter (setelah penandatanganan MoU ini, semua rakyat Aceh memiliki hak untuk menjadi calon dalam berbagai pemilihan umum di Aceh pada April 2006 dan selanjutnya)."
Disebutkan pula "Full participation of all Acehnese people in local and national elections will be guaranteed in accordance with the Constitution of the Republic of Indonesia."
Namun Irwandi Yusuf menyayangkan sikap DPRA, karena sampai saat ini DPRA belum memberi tahu gubernur secara resmi alasan menolak pembahasan Qanun Pilkada.
Komisi A sebagai Ketua Pansus KIP DPRA :
Adnan Beuransyah |
Ia juga mengatakan, apabila KIP tetap memaksakan pelaksanaan pilkada, bisa berakibat pada berbagai konsekuensi. Ia mengisyaratkan DPRA akan sulit menggelar sidang paripurna penyampaian misi dan visi masing-masing calon kepala daerah, bahkan sidang paripurna khusus pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Sekretaris Badan Legislatif DPRA :
Abdullah Saleh mengatakan Silakan saja Pilkada Aceh dilaksanakan dengan aturan qanun lama oleh KIP
selaku penyelenggara. Bagi kami, kalau memang konsisten dilaksanakan,
tidak ada persoalan. Tapi harus tetap diingat bahwa dalam qanun lama itu
calon perseorangan hanya satu kali. Jadi, ketentuan itu harus konsisten
dipedomani dan dilaksanakan.
Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Hukum dan Politik,
M Jafar MHum
mengatakan, akan ada konsekuensi hukum apabila DPRA menolak melaksanakan
fungsinya menggelar sidang paripurna. “Bisa saja diancam pidana,”
katanya.
Sumber dari berbagai media