Kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, dan keterbelakangan masih dirasakan.
VIVAnews - Hari ini, 21 November 2011, Undang-undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua genap berumur sepuluh tahun. Ironisnya, rakyat Papua belum beranjak jauh dari kondisi 10 tahun lalu, sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan, keterbelakangan bahkan keterisolasian. Sementara uang puluhan triliun rupiah yang diberikan untuk mempercepat proses pembangunan di Papua menguap entah ke mana.
"Fungsi Pengawasan kami di DPR Papua masih lemah, sehingga tingkat
kebocoran penggunaan dana otonomi khusus sangat tinggi," kata Ketua
Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Ruben Magai. "Uang yang tadinya
untuk membangun masyarakat Papua menguap tanpa pernah ada diketahui ke
mana rimbanya."
Ruben mengatakan, kebocoran dana otsus terjadi di dalam pemerintahan.
"Dana itu bukan bocor di rakyat tapi di birokrasi yang diberikan
tanggung jawab menjalankan otsus itu," katanya.
Lemahnya pengawasan terhadap penggunaan dana otonomi khusus tidak
terlepas dari minimnya perangkat peraturan yang mengatur tentang
pengawasan DPR Papua terhadap penggunaaan Dana Otsus.
"DPR Papua hanya menerima Laporan Keterangan Petanggungjawaban APBD
oleh eksekutif dalam hal ini Gubernur, bukan laporan pertanggungjawab
Gubernur atas segala penggunaan dana baik APBD maupun dana otsus.
Sehingga sangat sulit bagi DPRP untuk mengawasi jika ada penyimpangan.
Jika ada temuan, hanya sebatas memberikan jawaban, tapi DPR Papua tidak
pernah bisa menanyakan kenapa dana bocor dan menguap," ucapnya.
Ruben melihat, "UU otsus hanya label semata, tapi isi pelaksanaan
malah pemerintah lebih mengendepankan UU nomor 32 tentang Pemerintahan
Daerah. Buktinya hingga kini belum ada perangkat yang mengatur tentang
keberpihakan kepada orang Papua atau proteksi terhadap orang asli
Papua,’’ katanya.
Dan yang terkesan saat ini pemerintah tidak lagi menjalankan otsus
namun melakukan pembiaran. "Pemerintah telah melakukan pembiaran, dan
baru pura-pura tanggap ketika rakyat Papua berteriak kembali meminta
merdeka karena merasa otsus tidak pernah menyentuh mereka. Pemerintah
baru terlihat sibuk ketika orang papua mengembalikan otsus karea
dianggap tak berarti membangun masyarakat Papua," ujarnya.
Solusinya, kata Ruben, selain melakukan evaluasi menyeluruh untuk
mengetahui sisi lemah dan baiknya, pemerintah pusat juga harus membuka
dialog dengan rakyat Papua. "Saya kira dialog merupakan salah satu
solusi untuk mengevaluasi kegagalan otsus. Pemerintah juga ke depan
dalam mengimplementasikan otsus, harus melibatkan sejumlah tokoh-tokoh
Papua yang sebelumnya getol menyuarakan Papua merdeka sebelum kemudian
otsus diberikan menjawab tuntutan tersebut."
Bekas Gubernur Mengakui
Sementara mantan Gubernur Provinsi Papua periode 2006-2011 Barnabas
Suebu mengakui, bahwa di awal Otsus, terjadi kebocoran dana yang cukup
besar sebab tidak ada perangkat atau peraturan yang mengawasinya.
"Memang, awalnya dana otsus itu banyak yang menguap, dan itu terjadi
di lingkungan birokrasi Pemerintah Provinsi Papua, di mana belanja
perjalanan birokrasi sangat tinggi, sementara pembangunan yang menyentuh
rakyat minim. Ini akibatnya lemahnya perangkat untuk mengawasi
penggunaaan dana tersebut," katanya.
Namun, sambungnya, setelah dirinya menjadi gubernur tahun 2006,
pengawasan terhadap penggunaan dana semakin ketat, setiap perangkat
kerja yang berada di lingkungan Pemprov Papua, diminta secara transparan
dan akuntabel terhadap penggunaan dana. "Sejak saya menjabat Gubernur,
semua Satuan Kerja Perangkat Daerah harus mampu mempertanggung jawabkan
penggunaan dana setiap sennya. Ini untuk mencegah terjadinya
kebocoroan," katanya.
Bahkan, sebagian besar dana puluhan triliun yang digelontorkan tidak
lagi parkir di lingkungan Pemprov Papua, tapi langsung diserahkan kepada
rakyat melalui program Respek (Rencana Pembangunan Strategis Kampung).
"Dana yang tersisa hanya 40 persen di Provinsi, selebihnya langsung
diberikan ke masyarakat melalui program perberdayaan kampung. Dengan
dana yang diberikan, warga kampung diberdayakan, di mana mereka
menggunakan dana itu membangun kampungnya di bawah pengawasan tim
pendamping yang dibentuk pemerintah," tuturnya.
Jadi, sebenarnya dengan program pemberdayaan kampung, masyarakat
Papua sudah merasakan dan tersentuh otonomi khusus, meski harus diakui
masih perlu peningkatan pengawasan dalam penggunaannya ke depan. "Dengan
diberdayakannya setiap kampung yang ada di Papua, warga merasakan
pembangunan dan juga merasa terlibat di dalamnya," katanya.
Mengenai evaluasi, kata Barnabas, memang mesti dilakukan evaluasi
yang menyeluruh terutama untuk memperbaiki yang kurang. Tapi yang pasti
agar Otsus itu benar-benar dirasakan rakyat Papua, pemimpin ke depan
harus yang memiliki komitmen dan kapabel serta punya nurani untuk
membangun rakyat Papua.
“Saya memang masih mencalonkan diri, karena masih banyak PR yang
mesti dituntaskan terutama bagaimana memberdayakan masyarakat Papua
untuk lebih mandiri dan mampu keluar dari belenggu ketertinggalannya.
Tapi yang pasti, pemimpin Papua ke depan harus punya komitmen konsisten
dan memiliki hati untuk membangun Papua," ujarnya.
Rakyat Hanya Menonton
Anggota Majelis Rakyat Papua Ferry Ayomi juga mengatakan, bahwa otsus
belum dirasakan dan dinikmati warga Papua. "Orang Papua hanya mendengar
dan menonton, katanya dengan Otsus, uang digelontorkan puluhan triliun
rupiah tapi tidak pernah dinikmati oleh mereka, sekalipun sudah berjalan
sepuluh tahun," kata Ferry.
Namun, tambah dia, selain pemerintah pusat, elite Papua yang
dipercaya mengelola dana itu juga harus bertanggung jawab, mengapa Otsus
belum dirasakan masyarakat Papua. ‘"Di mana sudah sepuluh tahun tapi
rakyat Papua hanya jadi pendengar dan penonton, tetap dalam belenggu
kemiskinan dan keterbelakangan," kata dia.
Sementara Tokoh Agama Papua, Pater Neles Tebay menilai, Otsus lahir
bukan dari dialog, sehingga pemerintah dan rakyat Papua tidak pernah
merasa memiliki terhadap UU tersebut. ‘’Pemerintah pusat tidak merasa
memiliki UU Otsus sehingga kerap melanggarnya atau tidak konsisten dalam
penerapannya. Masyarakat Papua juga menganggap demikian, karena UU itu
bukan lahir dari sebuah dialog. Jadinya, meski sudah berjalan sepuluh
tahun otsus tidak bermanfaat dan berguna," ucapnya.
Bukti lain otsus tidak pernah merasa dimiliki oleh pemerintah, karena
tidak pernah melakukan evaluasi selama sepuluh tahun berjalan, sehingga
tidak otsus itu digulirkan tidak memiliki target. "Apa target otsus itu
tidak jelas, padahal itu diberikan hanya 25 tahun, akibatnya
implementasinya kabur tidak jelas," ucapnya.
Langkah-langkah yang harus dilakukan, pemerintah Pusat dan Daerah
segera membuka ruang dialog secara konfrensif, agar
diketahui kelemahan-kelemahan otsus dan dicarikan solusinya. "Semua
harus berani duduk bersama mencari penyebab kegagalan dan mencari
solusinya tapi bukan saling menyalahkan atau menghujatnya. Dan hanya itu
solusinya," ucapnya.Laporan Banjir Ambarita | Jayapura, umi
Sumber: VIVAnew.com