Selasa, 27 Desember 2011

Aksi Teror Di Aceh

  • Analisa Aksi Teror di Aceh
Patroli polisi di Aceh Utara (ANTARA/RAHMAD)
Ditandatanganinya nota kesepahaman damai (MoU) antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005, yang merupakan satu perubahan yang sangat berharga bagi rakyat Aceh setelah puluhan tahun hasrat untuk berdamai itu hanya sekedar wacana. Penandatanganan MoU itu sendiri bukan hanya di Helsinki saja yang di fasilitator proses negosiasi Martti Ahtiasaari Mantan Presiden Finlandia atau Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiatif (CMI), namun sebelumnya upaya perundingan damai itu juga pernah dilakukan tapi hasilnya selalu mentah ditengah jalan diakibatkan dari kendala-kendala yang dihadapi seperti pada :

  1. 12 Mei 2000 Untuk pertama kalinya Pemerintah Republic Indonesia berdialok dengan gerakan aceh merdeka dan difasilitasi  (HDC). RI yang di wakili Hasan Wirajuda dan Zaini Abdullah dari pihak GAM, menandatangani Joint Understanding On Humanitation Pause For Aceh  di Bavois, Swiss. Perjanjian ini di kenal dengan sebutan jeda kemanusiaan, 2 Juni 2000 – 2 September 2000 Jeda kemanusian tahap pertama berlangsung efektif, kendati tak menghilangkan aksi-aksi kekerasan sama sekali. 
  2. 15 September 2000 – 15 Januari 2001 Jeda kemanusian tahap dua berlangsung efektif, kendati tak menghilangkan aksi-aksi kekerasan sama sekali.
  3. 9 Januari 2001 RI dan GAM menandatangani dokumen sementara yang berisi kesepakatan untuk mentranformasikan perjuagan GAM dari kekuatan bersenjata menjadi perjuagan politik.
  4. 29 Juni – 1 Juli 2001 RI dan GAM Berunding Di Jenewa. Kedua belah pihak sepakat meredakan ketengagan di Aceh dan sepakat untuk melakukan pertemuan lanjutan di Aceh yang melibatkan wakil pemerintah RI dan GAM serta elemen masyarakat Aceh untuk penyelesaian komplik Aceh secara komprehensip. Pertemuan itu juga menyepakati pembentukan komite bersama masalah keamanan dan membubarkan komite bersama aksi kemanusiaan.
  5. Pertengahan 2001 Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat menggadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata.
  6. 20 Juli 2001 Komisaris Besar Polisi Surya Darma Kepala Direktorat Serse Polda Aceh Memimpin Enam Penangkapan Jurunding GAM  di Hotel Kuala Tripa di saksikan beberapa staf henry dunant center (HDC). Para juru runding yang di tangkap Tungku Nashiruddin Bin Ahmed, Ungku Bin Ahmad Marzuki, Amdi Hadani, Tungku Kamaruzzaman, Nashrullah Dahlawi Dan Tungku Muhammad.
  7. Mei 2000 Pertemuan lanjutan antara GAM dan wakil RI awal Mei 2002 membuahkan formalisasi dokumen Februari yang di keluarkan Henri Dunant Center. Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua belah pihak menandatangani sebuah pernyataan bersama dengan isi yang secara etensial sama dengan dokumen Februari tersebut.
  8.  Juni 2002 Pertemuan ketiga, antara GAM dan RI, batal digelar karena situasi di lapangan memburuk.
  9. 19 Agustus 2002 Pemerintah RI mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh: GAM di beri kesempatan sampai akhir bulan Ramadhan, 7 Desember 2002, untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai persyaratan bagi bagi dialog lebih lanjut, atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia.
  10. 19 November 2002 HDC mengumumkan bahwa kedua belah pihak telah memberi komitmen untuk menyekapi sebuah persetujuan. Meski beberapa isu masih harus di selesaikan, persetujuan penghentian permusuhan di rencanakan untuk di sepakati 9 Desember 2002.
  11. 3 Desember 2002 Konferensi tentang Aceh yang disponsori Jepang, Amerika Serikat dan badan-badan pendaan internasional, digelar di Tokyo. Konferensi ini bertujuan menghimpun dana bagi pembanggunan kembali Aceh setelah kedua pihak menandatangani persetujuan penghentian permusuhan itu. Negara perserta adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis, Jerman, Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC, GAM diundang kekonferensi itu tetapi tidak menghadirkan wakilnya.
  12. 9 Desember 2002 Pemerintah dan GAM di Jenewa, Swiss menandatangani kesepakatan  Cessation of Hostilities Agreement (CoHA). Perjanjian ini menekan drastis angka korban tindak kekerasan di Aceh. Ada empat agenda penting yang disepakati bidang keamanan membentuk komite bersama untuk keamanan (JSC-Joint Security Commite) yang kemudian menghasilkan kesepakatan zona damai di beberapa daerah di Aceh, bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, dan civilian reform. Joint Security Council (JSC-Komite Keamanan Bersama) di bawah kendali Mayjen Thanungsak Tuvina dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomoro Lomodag dari Pilipina.
  13. 16 Mei 2003 Para juru runding GAM yang hendak menghadiri pertemuan Dewan Bersama di Tokyo, Jepang ditangkap, kelima juru runding tersebut yakni : Sofyan Ibrahim Tiba, Teuku Kamaruzzaman, Amni Bin Ahmad Marzuki, Nashiruddin Ahmad, serta M Usman Lampoh Awe.
  14. 18 Mei 2003 Joint Council Meeting di Japan International Corperation Agency (JICA) di Tokyo, Jepang gagal. Pemerintah RI mensyaratkan GAM harus menerima Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh dalam kerangka NKRI, serta peletakan senjata GAM. Pihak GAM tak dapat menerima tawaran  otonomi. Sebaliknya, lewat Zaini Abdullah Menteri Luar Negeri GAM saat itu ingin mengikuti kesepakatan Jenewa 9 Desember 2002, yaitu menjalankan pasal-pasal CoHA.
  15. 19 Mei 2003 - 18 Mei 2004 Presiden Megawati mengeluarkan Kepetusan  Presiden (Kepres) No 28/2003 yang menetapkan seluruh Aceh dalam keadaan bahaya dengan status darurat militer, kepres ini yang berlaku sejak senin (19/15) pukul 00.00 WIB ini membawa konsekuensi terjadinya konflik bersenjata (armed conflict). Status darurat militer diperpanjang kembali selama enam bulan.
  16. 19 Mei 2004 – 18 Mei 2005 Pemerintah memberlakukan darurat sipil di Aceh, mengantikan darurat militer.
  17. Dengan demikian pasca musibah Aceh pada 26 Desember 2004 yaitu Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami  melanda Aceh dan menewaskan sekitar 200.000 jiwa. Dan untuk pertama kalinya memulai perundingan baru pada 27-29 Januari 2005 Delegasi RI dan GAM bertemu di Helsinki, Filandia, setelah hampir dua tahun Aceh  berada dalam status darurat.  Pertemuan informal itu di fasilitasi oleh bekas Presiden Filandia Marti Ahtisaari dari Crisis Management Initiative (CMI). pertemuan tiga hari itu tidak menghasilkan kesepakatan gencatan senjata pascatsunami di Aceh.
Sehingga pada 21-23 Februari 2005 Delegasi  RI dan GAM kembali bertemu untuk kedua kalinya di Helsinki, Filandia yang juga difasilitasi CMI, pada pertemuan yang kedua kalinya itu berhasil membangun sebuah dialog yang konfrehensif terkait perdamaian Aceh. Meski perundingan belum ada satu kata sepakat dalam hal tertentu namun kedua belah pihak telah membuka lembaran baru dalam perundingan selanjutnya yang ditawarkan presiden Ahtiasaari pada 12-17 April 2005 dengan materi dialog putaran ketiga di Helsinki yaitu (1) Persoalan otonomi khusus atau self goverment untuk Aceh, (2) Pengampunan (amnesti) bagi anggota dan tahanan politik GAM, (3) Pengaturan keamanan (pengembalian senjata yang masih ada di tangan GAM, (4) Pembentukan tim monitoring penerapan kesepakatan, dan (5) Penetapan kurun waktu pelaksanaan kesepakatan. Dalam perundingan tersebut berhasil menciptakan sebuah perdamain yang bermartabat, berkelanjutan dan menyeluruh bagi semua. Demikian ringkasan singkat historis perdamaian Aceh. (Aceh Kita Maret 2006)

Perdamaian Aceh dari tahun 2006-2011 tersebut, lebih kurang mencapai 6 tahun. Rakyat Aceh sendiri merasa lega setelah damai tersebut tercipta, namun sampai saat ini rakyat Aceh yang manyoritasnya korban konflik merasa keperihatinannya terhadap gejolak-gejolak yang timbul ditengah suasana damai yang sedang dijaga bersama, seperti maraknya aksi teror, penembakan, pengancaman, dan lain sebagainya. 

Itu merupakan satu masalah yang mendasar terhadap stabilitas sosial politik Aceh untuk masa depan, yang seakan-akan mendekati terganggunya kondisi keamanan Aceh dan mengancam akan perdamaian, disebabkan polisi sampai saat ini belum bisa mengunggapkan kasus tersebut seperti pelemparan granat di Banda Aceh sebanyak dua kali, penembakan Saiful alias cage di Bireun beberapa bulan yang lalu, penembakan mobil DPRK di pendalaman Aceh tengah, penembakan buruh di Aceh Utara yang mengakibatkan empat orang meninggal, penembakan mobil di jalan line pipa Aceh Utara,  aksi teror terhadap kantor bupati Aceh Utara dan Bireun, pengancaman terhadap Zaratex (tim surve minyak di Aceh Utara), belum lagi masalah GAMBIT (kelompok) yang terus menyuarakan masalah keadilan terhadap korban konflik.

Kemungkinan besar aksi-aksi teror tersebut dilakukan  yang dilatarbelakangi masalah ekonomi, dendam, pesaing antar pembisnis, kekecewaan terhadap pemerintah, dan lain sebagainya. 

Dengan demikian,  untuk menganalisa aksi teror tersebut kita gunakan pemetaan terhadap aksi yang menganggu stabilitas keamanan tersebut dengan menggunakan panduan pemetaan konflik yang dikembangkan Miall, Romsbotham, dan Wood, 2003)

Berikut langkah-langkah pemetaan Miall dkk :
  1. Siapa yang menjadi inti pihak bertikai ? apa sub kelompok internal mereka dan pada apa mereka tergantung ?
  2. Apa yang menjadi persoalan konflik ? apa mungkin membedakan antara posisi, kepentingan (kepentingan materi, nilai, hubungan), dan kebutuhan ?
  3. Apa hubungan antara pihak-pihak yang bertikai ? apakah ada ketidak sismetrisan kualitatif dan kuantitatif ?
  4.  Apa persepsi penyebab dan sifat konflik di antara pihak-pihak yang bertikai ?
  5.  Apa perilaku akhir-akhir ini pihak yang bertikai (apakah konflik dalam fase eskalasi atau fase deeskalasi) ?
  6. Siapa pemimpin pihak-pihak yang bertikai ? pada tingkat elite dan individual, apa tujuan, kebijakan, kepentingan, kekuatan, dan kelemahan relatif mereka ?

Dengan adanya langkah-langkah pemetaan tersebut kita akan lebih mudah untuk menganalisa, langsung saja kita masuk ke pembahasan pemetaan konflik berdasarkan langkah-langkah tersebut diatas:

Disisi lain aksi teror tersebut bisa saja muncul atas kepentingan, baik itu bersifat pribadi maupun kelompok, maksudnya pribadi mungkin karena atas kekecewaan, dendam, tidak mendapatkan hak-haknya, merasa disingkirkan, dll.

Begitu juga terhadap kelompok, kemungkinan besar disebabkan atas kekecewaan, dendam, tidak mendapatkan hak-haknya, merasa disingkirkan, dll.

Sementara sub kelompok internal mereka sampai saat ini belum terindefikasi, mungkin masih kerahasiaan pihak berwajib. Mereka bisa saja ketergantungannya pada orang-orang yang dianggap melindunginya sebelum dan sesudah aksi teror dilakukan.

Dari sisi teror yang kita lihat selama ini, dan bisa kita simpulkan ada beberapa kelompok yang tersebar luas di Aceh, seperti di Aceh Utara, Bireun, Banda Aceh, Aceh Timur, serta Aceh Tengah.

Disisi lain mungkin saja mereka satu kelompok, karna berdasarkan aksi mereka tidak bersamaan, dan semua itu bisa kita anggap bahwa aksi tersebut sudah tersusun secara sistematis dan lebih leluansa mereka melakukan aksinya.

Langkah kedua, yang menjadi persoalan konflik atau aksi teror tersebut, kemungkinan besar atas persoalan ekonomi,  kekecewaan, hak-hak mereka tidak terpenuhi, dll.

Persoalan aksi teror tersebut bisa saja timbul atas tindakan yang diciptikan orang-orang tertentu yang bertujuan untuk menganggu keamanan Aceh. Sebelumnya  sebuah situs media online mengemukakan bahwa aksi teror tersebut didasarkan pada pro dan kontra intelijen. Dan ada yang mengatakan bahwa itu persoalan politik. Namun semua itu sampai saat ini belum terinfikasi pihak berwajib, apa sebnarnya tujuan dari motif aksi mereka tersebut.

Langkah ketiga, hubungan pihak yang diteror dan peneror, sampai saat ini pihak peneror belum terungkap sehingga sangat sulit untuk melakukan analisa melalui pemetaan ini terkait hubungan mereka, namun dari beberapa kasus seperti di Aceh Utara berdasarkan pemberitaan media cetak dan online, para korban tidak ada hubungan sama sekali dengan orang tak dikenal (OTK) tersebut.

Sementara aksi teror kantor bupati Aceh Utara dan Bireun, dari sisi terornya bisa kita lihat bahwa terdapat selembar bendera warna hitam yang bertulisan arab, jika kita kaitkan dengan hubungan tersebut maka akan nampak bahwa kedua daerah tersebut tidak menjalankan roda pemerintahan  yang melandaskan pada syariat islam, mungkin saja itu seperti masalah bobolnya kas Aceh Utara sebesar 220 milyar yang menyebabkan terhambatnya pembangunan, bupatinya tidak tegas pada penegakan syariat islam, dll.

Langkah keempat, persepsi aksi teror tersebut muncul berbagai statemen baik menyangkut politik, ekonomi, kesejahteraan, kepentingan, pro dan kontra intelijen, dendam, pesaing antar bisni, dll.

Langkah kelima, perilaku akhir-akhir ini pihak diteror tetap menjalankan tugasnya seperti biasa yang merupakan tempat mencari nafkah bagi mereka. Sementara perilaku peneror tersebut dari analisa pemberitaan di media bahwa mereka selama ini eksis melakukan teror, pengancaman, dll.

Dan langkah keenam, pemimpin pihak peneror sampai saat ini berlum terpublikasikan oleh pihak berwajib, dan mungkin masih menjadi rahasia mereka, maka dengan begitu mungkin polisi lebih mudah untuk melacak keberadaan mereka termasuk motif yang dilakukan selama ini.

Efek dari aksi teror tersebut:
  1. Kondisi keaman terganggu termasuk perdamaian Aceh
  2. Kenyaman masyarakat kurang efektif, termasuk pengusaha.
  3.  Masyarakat jadi korban, serta
  4. Pengusaha luar Aceh tidak berani menanam modal di Aceh
Langkah-langkah yang dipempuh pihak berwajib - Polisi
  1. Terus berusaha mengungkapkan aksi peneror tersebut, 
  2. Polda Aceh berencana bekerjasama dengan TNI untuk mengejar para pelaku kekerasan, serta
  3. Mengelar razia di berbagai daerah yang dianggap rawan
Sikap berbagai pihak terkait aksi teror di Aceh
  1. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) wilayah Aceh mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini. "Polisi harus mengusut tuntas aksi teror ini sehingga masyarakat kembali merasakan keamanan dan kenyamanan di daerah ini," kata Ketua Umum KAMMI Wilayah Aceh Muhammad Muaz Munawar di Banda Aceh, Jumat (02/12).
  2. Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh menggelar aksi damai meminta aparat kepolisian mengusut tuntas aksi teror yang semakin marak di Banda Aceh, Kamis (8/12).
  3. Granat (Gabungan Resimen Mahasiswa dan Pemuda Anti-Teror) Aceh meminta agar Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk mengambil langkah tegas menjaga kedamaian di Nangggroe Aceh Darussalam, ketimbang melakukan penangkapan dan menggunduli anak punk.
  4. Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh mengutuk keras aksi teror granat yang dilakukan orang tidak bertanggungjawab  itu. "Kami mengutuk keras aksi teror yang dilakukan itu karena sangat merugikan Aceh, apalagi sampai mengorbankan masyarakat yang tak bersalah," kata Sekretaris Jendral Forum LSM Aceh Sudarman Alkatiri Puteh. Forum LSM Aceh juga mendukung dan mendesak aparat kepolisian untuk menemukan dan menindak tegas pelaku teror agar masyarakat dapat menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa rasa takut. Apalagi aksi teror dilakukan di pusat Kota Banda Aceh, sebagai ibukota Provinsi Aceh, yang tentunya menjadi taruhan bagi kredibilitas pihak kepolisian di mata masyarakat dalam memberikan rasa aman.
  5. Elemen sipil mengutuk aksi teror granat yang marak terjadi di Aceh dalam sepekan terakhir. Mereka menilai ada kejanggalan dalam aksi tersebut dan semua pihak diimbau untuk memusuhi para pelaku teror yang meresahkan tersebut. "Teror untuk tujuan apapun merupakan tindakan yang sangat merugikan bagi kematangan demokrasi dan kemajuan pembangunan di Aceh. Dengan demikian pelaku teror harus ditempatkan sebagai musuh bersama masyarakat Aceh," kata Kordinator KontraS Aceh, Hendra Fadli di Banda Aceh, Jumat (2/12/2011).
  6. Jurubicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat Mukhlis Abee menegaskan peristiwa teror granat bukan tindakan dan perbuatan dari anggota KPA. "Tidak mungkin dari kalangan KPA (mantan kombatan GAM), kami  tahu jika anggota saya yang melakukan itu," katanya.
  7. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengingatkan kembali kepada masyarakat Aceh agar tidak panik, pascapenembakan buruh oleh OTK (orang tak dikenal) yang menyebabkan 3 tewas dan 5 kritis yang terjadi hari Minggu (4/12) lalu. "Kejadian itu benar-benar kriminal, namun sebelum kejadian, teror sudah sering diterima. Tapi masyarakat menganggap biasa saja, kita berharap masyarakat jangan panik," kata Irwandi saat transit dari Aceh menuju Jakarta di Bandara Polonia Meda
  8. Wagub Aceh Muhammad Nazar mengimbau warga tidak terprovokasi dengan aksi-aksi peledakan granat yang terjadi di Kota Banda Aceh. "Masyarakat tidak perlu resah dan terprovokasi dengan aksi kriminal itu dan berupaya terus menjaga dan mengawal proses perdamaian. Jadikan pilkada sebagai momentum jaga perdamaian," kata dia.
  9. Ketua Seramoe Irwandi-Muhyan, Ligadinsyah mengatakan terkait aksi pelemparan geranat ke kantor Irwandi-Muhnya, karena Pelaku itu yang pasti orang-orang yang tidak senang terhadap Irwandi," tukas Liga. Menurutnya lagi, ini ada kaitannya dengan politik dan orang-orang yang tidak senang dengan keamanan Aceh.
  10. Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Iskandar Hasan, mengatakan polisi masih menyelidiki kasus penembakan terhadap sejumlah pekerja perkebunan pedalaman Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, yang sedang asyik menonton televisi diberondong tembakan. Polisi menduga insiden dilatarbelakangi masalah ekonomi. "Sebab banyak orang-orang tak punya kapasitas, tidak diterima bekerja dan kemudian sakit hati," kata Iskandar. "Tapi kami masih mengembangkan ini, tim dari Polda Aceh juga sudah ke sana,” kata Iskandar Hasan, Senin 5 Desember 2011.
  11. Pengamat resolusi konflik Delsy Ronie berpendapat teror granat itu, yang terjadi dua kali selama sepekan, tidak akan berpengaruh luas terhadap keberlangsungan perdamaian di Aceh. "Teror yang diperlihatkan oknum tertentu tidak akan menimbulkan dampak luas, dan bahkan tidak mengancam perdamian Aceh, karena masyarakat percaya bahwa akar perdamaian Aceh telah kuat," katanya di Banda Aceh, Sabtu (03/12).
  12. Komandan Kodim 0101/BS Letkol Inf Terry Tresna Purnama mengintruksikan kepada seluruh personil TNI untuk siaga pascaledakan granat di Kota Banda Aceh guna mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan. "Sudah dua kali granat diledakkan orang yang tidak bertanggung jawab dalam sepekan terakhir di kawasan Lampriet, Banda Aceh, Bahkan tiga orang warga sipil harus mendapat perawatan medis di rumah sakit akibat terkena serpihannya," ujar Terry di Banda Aceh, Jumat (02/12).
Kesimpulan
  1. Polisi belum mengungkapkan motif peneror, tujuan, dan kelompok yang dianggap mendukung aksi tersebut 
  2. Masyarakat kembali resah dan menjadi korban, serta 
  3. Keamanan Aceh terganggu


Sumber : Analisa dari berita-berita serambinews.com, waspada.co.id, vivanews.com, analisadaily.com, antara-aceh.com, detiknews.com, rakyataceh.com, metrotvnews.com, theglobejournal.com, antaranews.com, serta atjehpost.com

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails