Oleh Bisma Yadhi Putra
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina,” pepatah tersebut mengandung makna yang mengharuskan kita belajar sejauh mungkin untuk menuntut ilmu.
Cina memang fenomenal, salah satu yang bisa dipelajari dari Cina adalah tentang bagaimana memberantas korupsi yang efektif. Hukuman mati yang diberlakukan di Cina memang menuai banyak kecaman karena dianggap tidak manusiawi. Namun fakta menunjukkan bahwa hukuman seperti ini sangat ampuh untuk menekan praktik-praktik korupsi.
Pejabat-pejabat negara di Cina harus berpikir dua kali untuk mencuri uang negara. Cina bisa dijadikan contoh dalam hal menghukum koruptor dan Indonesia harus mencontoh Cina dalam hal ilmu memberantas korupsi.
Ketika akan dilantik menjadi perdana menteri Cina, Zhu Rongji dengan lantang mengatakan: “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, 1 buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu.” Itu tak hanya sekadar omong kosong atau pemanis pidato belaka, Zhu Rongji benar-benar memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor. Layaknya seekor singa ganas, Zhu Rongji memberantas koruptor dan memasukkannya ke dalam jeruji besi.
Di tanah air, pemberantasan korupsi menjadi hal sangat penting, pasalnya praktik korupsi begitu parah. Praktik-praktik kotor dalam lembaga negara sepertinya sangat sulit diatasi, bahkan dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi juga dinilai belum dapat menampakkan hasil yang memuaskan. Ketika Antasari Azhar memimpin KPK, lembaga ini begitu ganasnya memerangi koruptor. Namun setelah Antasari Azhar lengser, lembaga penegak hukum ini ibarat macan ompong yang tidak lagi garang.
Problem yang paling serius sebenarnya adalah penuntasan kasus-kasus korupsi. Selama ini banyak kasus-kasus korupsi yang tidak diusut hingga tuntas. Sebutlah skandal Bank Century sebagai salah satu kasus yang sangat fenomenal. Tersangka yang ditangkap hanya “ikan-ikan” kecil, sementara “ikan-ikan” besarnya, jangankan tersentuh hukum, terungkap saja tidak. Ini bukti bahwa KPK tak serius, atau bisa saja dikatakan tebang pilih, dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Maraknya korupsi membuat kasus yang satu tertutupi kasus lainnya. Belum tuntas satu kasus kemudian muncul kasus lain. Menurut analisis data pelaporan korupsi ke KPK, pada tahun 2008 saja tercatat lebih dari 8000 laporan yang masuk. Ini berarti dalam sebulan tidak kurang 660 laporan dan seminggunya tidak kurang dari 185 laporan dan sehari berarti tidak kurang dari 37 laporan yang masuk. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya. Celakanya, tidak semua laporan bisa ditangani atau kasus yang lebih dahulu ada tidak diusut sampai tuntas. KPK seolah lebih “suka” memakai pola moving problem ketimbang solving problem dalam menangani banyaknya kasus korupsi yang bermunculan. Maka tak heran apabila muncul stigma negatif kepada KPK akhir-akhir ini. Banyak pihak menuding pimpinan KPK terlibat negosiasi dengan para mafia yang seharusnya mereka tangani. Alhasil muncul berbagai hujatan atau kritikan-kritikan pedas terhadap institusi penegak hukum ini. Tak hanya itu, karena kesal dengan kinerja yang dianggap tidak maksimal, beberapa pihak malah memplesetkan kepanjangan dari KPK; ada yang menyebutnya sebagai Komisi Pelindung Koruptor, Komisi Pemuas Kepentingan, Komisi Pencari Komisi, dan sebagainya.
Wacana untuk memberikan efek jera pada para koruptor juga menjadi perbincangan hangat dalam agenda pemberantasan korupsi. Pada tes calon pimpinan KPK minggu lalu, misalnya, Mahfud MD menyarankan agar dibuat kebun koruptor di samping kebun binatang. Dalam kebun koruptor tersebut, para terpidana kasus korupsi akan “dipamerkan” layaknya orangutan di kebun binatang. Ide ini sebenarnya sangat menarik, namun ditentang oleh banyak pihak karena dianggap tidak manusiawi. Salah satu yang menentang adalah Abraham Samad, ketua KPK terpilih.
Selain itu, cara lain untuk memberikan efek jera adalah dengan memiskinkan para koruptor. Langkah seperti ini tentu saja dengan cara menyita seluruh aset atau kekayaan para tersangka kasus korupsi untuk dikembalikan kepada negara. Namun sayangnya ini hanya sebatas wacana, tidak ada langkah lebih jauh untuk menerapkannya. Upaya untuk meniru Cina juga sempat bergema. Berbagai demostrasi menuntut hukuman mati bagi para koruptor pernah dilangsungkan. Tak sedikit organisasi-organisasi antikorupsi yang menyerukan agar diberlakukan hukuman mati seperti di Cina. Namun sebagaimana usulan dibuatnya kebun koruptor, usulan hukuman mati ini juga banyak ditentang dengan alasan melanggar Hak Asasi Manusia.
Di Cina, koruptor tidak akan dipenjara lama-lama. Demikian pula halnya dengan koruptor-koruptor di Indonesia. Bedanya, koruptor di Cina, setelah terbukti bersalah, mendekam dalam jeruji besi hanya dalam waktu singkat karena akan segera dieksekusi mati.
Di Indonesia, koruptor menjalani masa tahanan dalam waktu singkat karena mendapat pemotongan masa tahanan. Jelas ini tidak akan memberi efek jera bagi para koruptor dan tidak efektif untuk membuat pejabat-pejabat berpikir dua kali untuk korupsi.
Pemberantasan korupsi di Indonesia ibarat menjaring ikan dengan jala rapuh. Ikan-ikan kecil akan tersangkut sementara ikan-ikan besar akan dengan mudah menerobos untuk meloloskan diri.
Korupsi terjadi hampir di semua lini atau lembaga negara. Mulai dari Pegawai Negeri Sipil hingga elite-elite politik kelas kakap, mulai dari proyek-proyek kecil hingga ke bidang anggaran negara, penuh praktik-praktik kotor yang tidak bermoral. Korupsi jelas sangat merugikan negara dan berpengaruh besar terhadap pembangunan. Inilah yang kerap diteriakkan pada tanggal 9 Desember yang diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia.
Dengan terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua KPK yang baru, peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia kali ini tentu akan membawa sedikit angin segar. Semua pihak tentu berharap praktik-praktik korupsi yang merugikan negara bisa dikikis dan kasus-kasus terdahulu bisa diselesaikan hingga tuntas dengan menyeret pelaku ke jeruji besi. Abraham Samad, terlepas dari berbagai tudingan yang saat ini tengah ditujukan padanya, tentu menjadi harapan berbagai pihak pada momen peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia kali ini. Tugas untuk membangun kembali kepercayaan publik kepada KPK mutlak perlu dilakukan. Dan Ini hanya bisa diwujudkan kalau pemberantasan korupsi dilakukan tanpa pandang bulu.
Abraham Samad tinggal memilih, apakah ia ingin dielu-elukan masyarakat atau “dicintai” para koruptor. Jika ingin dianggap pahlawan pemberantasan korupsi seperti Antasari Azhar, maka Samad harus benar-benar bekerja maksimal memerangi koruptor.
Sebaliknya, jika ingin “dicintai” para koruptor tentu Samad akan bersedia bernegosiasi untuk melindungi kepentingan para mafia. Kalau Samad mempraktikkan hal yang disebut terakhir ini, maka tak ubahnya ia seperti sedang membersihkan lantai dengan kain bersih tapi memakai sepatu yang kotor.
Akhir kata, yuk kita berants korupsi. Ayu Ting Ting makan terasi, yang penting say no to korupsi!
* Penulis adalah mahasiswa ilmu politik, Unimal.
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina,” pepatah tersebut mengandung makna yang mengharuskan kita belajar sejauh mungkin untuk menuntut ilmu.
Cina memang fenomenal, salah satu yang bisa dipelajari dari Cina adalah tentang bagaimana memberantas korupsi yang efektif. Hukuman mati yang diberlakukan di Cina memang menuai banyak kecaman karena dianggap tidak manusiawi. Namun fakta menunjukkan bahwa hukuman seperti ini sangat ampuh untuk menekan praktik-praktik korupsi.
Pejabat-pejabat negara di Cina harus berpikir dua kali untuk mencuri uang negara. Cina bisa dijadikan contoh dalam hal menghukum koruptor dan Indonesia harus mencontoh Cina dalam hal ilmu memberantas korupsi.
Ketika akan dilantik menjadi perdana menteri Cina, Zhu Rongji dengan lantang mengatakan: “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, 1 buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu.” Itu tak hanya sekadar omong kosong atau pemanis pidato belaka, Zhu Rongji benar-benar memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor. Layaknya seekor singa ganas, Zhu Rongji memberantas koruptor dan memasukkannya ke dalam jeruji besi.
Di tanah air, pemberantasan korupsi menjadi hal sangat penting, pasalnya praktik korupsi begitu parah. Praktik-praktik kotor dalam lembaga negara sepertinya sangat sulit diatasi, bahkan dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi juga dinilai belum dapat menampakkan hasil yang memuaskan. Ketika Antasari Azhar memimpin KPK, lembaga ini begitu ganasnya memerangi koruptor. Namun setelah Antasari Azhar lengser, lembaga penegak hukum ini ibarat macan ompong yang tidak lagi garang.
Problem yang paling serius sebenarnya adalah penuntasan kasus-kasus korupsi. Selama ini banyak kasus-kasus korupsi yang tidak diusut hingga tuntas. Sebutlah skandal Bank Century sebagai salah satu kasus yang sangat fenomenal. Tersangka yang ditangkap hanya “ikan-ikan” kecil, sementara “ikan-ikan” besarnya, jangankan tersentuh hukum, terungkap saja tidak. Ini bukti bahwa KPK tak serius, atau bisa saja dikatakan tebang pilih, dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Maraknya korupsi membuat kasus yang satu tertutupi kasus lainnya. Belum tuntas satu kasus kemudian muncul kasus lain. Menurut analisis data pelaporan korupsi ke KPK, pada tahun 2008 saja tercatat lebih dari 8000 laporan yang masuk. Ini berarti dalam sebulan tidak kurang 660 laporan dan seminggunya tidak kurang dari 185 laporan dan sehari berarti tidak kurang dari 37 laporan yang masuk. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya. Celakanya, tidak semua laporan bisa ditangani atau kasus yang lebih dahulu ada tidak diusut sampai tuntas. KPK seolah lebih “suka” memakai pola moving problem ketimbang solving problem dalam menangani banyaknya kasus korupsi yang bermunculan. Maka tak heran apabila muncul stigma negatif kepada KPK akhir-akhir ini. Banyak pihak menuding pimpinan KPK terlibat negosiasi dengan para mafia yang seharusnya mereka tangani. Alhasil muncul berbagai hujatan atau kritikan-kritikan pedas terhadap institusi penegak hukum ini. Tak hanya itu, karena kesal dengan kinerja yang dianggap tidak maksimal, beberapa pihak malah memplesetkan kepanjangan dari KPK; ada yang menyebutnya sebagai Komisi Pelindung Koruptor, Komisi Pemuas Kepentingan, Komisi Pencari Komisi, dan sebagainya.
Wacana untuk memberikan efek jera pada para koruptor juga menjadi perbincangan hangat dalam agenda pemberantasan korupsi. Pada tes calon pimpinan KPK minggu lalu, misalnya, Mahfud MD menyarankan agar dibuat kebun koruptor di samping kebun binatang. Dalam kebun koruptor tersebut, para terpidana kasus korupsi akan “dipamerkan” layaknya orangutan di kebun binatang. Ide ini sebenarnya sangat menarik, namun ditentang oleh banyak pihak karena dianggap tidak manusiawi. Salah satu yang menentang adalah Abraham Samad, ketua KPK terpilih.
Selain itu, cara lain untuk memberikan efek jera adalah dengan memiskinkan para koruptor. Langkah seperti ini tentu saja dengan cara menyita seluruh aset atau kekayaan para tersangka kasus korupsi untuk dikembalikan kepada negara. Namun sayangnya ini hanya sebatas wacana, tidak ada langkah lebih jauh untuk menerapkannya. Upaya untuk meniru Cina juga sempat bergema. Berbagai demostrasi menuntut hukuman mati bagi para koruptor pernah dilangsungkan. Tak sedikit organisasi-organisasi antikorupsi yang menyerukan agar diberlakukan hukuman mati seperti di Cina. Namun sebagaimana usulan dibuatnya kebun koruptor, usulan hukuman mati ini juga banyak ditentang dengan alasan melanggar Hak Asasi Manusia.
Di Cina, koruptor tidak akan dipenjara lama-lama. Demikian pula halnya dengan koruptor-koruptor di Indonesia. Bedanya, koruptor di Cina, setelah terbukti bersalah, mendekam dalam jeruji besi hanya dalam waktu singkat karena akan segera dieksekusi mati.
Di Indonesia, koruptor menjalani masa tahanan dalam waktu singkat karena mendapat pemotongan masa tahanan. Jelas ini tidak akan memberi efek jera bagi para koruptor dan tidak efektif untuk membuat pejabat-pejabat berpikir dua kali untuk korupsi.
Pemberantasan korupsi di Indonesia ibarat menjaring ikan dengan jala rapuh. Ikan-ikan kecil akan tersangkut sementara ikan-ikan besar akan dengan mudah menerobos untuk meloloskan diri.
Korupsi terjadi hampir di semua lini atau lembaga negara. Mulai dari Pegawai Negeri Sipil hingga elite-elite politik kelas kakap, mulai dari proyek-proyek kecil hingga ke bidang anggaran negara, penuh praktik-praktik kotor yang tidak bermoral. Korupsi jelas sangat merugikan negara dan berpengaruh besar terhadap pembangunan. Inilah yang kerap diteriakkan pada tanggal 9 Desember yang diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia.
Dengan terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua KPK yang baru, peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia kali ini tentu akan membawa sedikit angin segar. Semua pihak tentu berharap praktik-praktik korupsi yang merugikan negara bisa dikikis dan kasus-kasus terdahulu bisa diselesaikan hingga tuntas dengan menyeret pelaku ke jeruji besi. Abraham Samad, terlepas dari berbagai tudingan yang saat ini tengah ditujukan padanya, tentu menjadi harapan berbagai pihak pada momen peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia kali ini. Tugas untuk membangun kembali kepercayaan publik kepada KPK mutlak perlu dilakukan. Dan Ini hanya bisa diwujudkan kalau pemberantasan korupsi dilakukan tanpa pandang bulu.
Abraham Samad tinggal memilih, apakah ia ingin dielu-elukan masyarakat atau “dicintai” para koruptor. Jika ingin dianggap pahlawan pemberantasan korupsi seperti Antasari Azhar, maka Samad harus benar-benar bekerja maksimal memerangi koruptor.
Sebaliknya, jika ingin “dicintai” para koruptor tentu Samad akan bersedia bernegosiasi untuk melindungi kepentingan para mafia. Kalau Samad mempraktikkan hal yang disebut terakhir ini, maka tak ubahnya ia seperti sedang membersihkan lantai dengan kain bersih tapi memakai sepatu yang kotor.
Akhir kata, yuk kita berants korupsi. Ayu Ting Ting makan terasi, yang penting say no to korupsi!
* Penulis adalah mahasiswa ilmu politik, Unimal.
Tulisan ini dimuat di Serambi Indonesia pada 10 Desember 2011