- Mereka Peduli, Mereka pun Belajar
Suasana di ruang diskusi mahasiswa yang difasilitasi Liga Inong Aceh, November 2011. |
Sore itu, ruangan berukuran 3,5 meter X 15 meter dan berada di antara impitan ruko Jalan T Syarief, Banda Aceh, itu riuh rendah. Sekitar 20 mahasiswa duduk di kursi yang ditata memutari dua deret meja persegi yang dirapatkan.
Mereka berdiskusi, berdebat, curhat, dan menimpali satu sama lain. Politik dan dunia mahasiswa dibahas dan dibicarakan secara serius, namun santai. Tak berafiliasi, mereka hanya ingin memahami dan peduli.
"Mahasiswa sekarang cenderung pragmatis. Muncul sebagai korban arus globalisasi di mana mahasiswa menjadi pasif dan mudah ditunggangi," ujar Muhajir, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, saat mencoba menyampaikan keresahannya tentang ketidakpedulian sebagian besar mahasiswa di Aceh terhadap kebobrokan dunia politik saat ini.
Suhendri, mahasiswa FISIP Unsyiah pun menimpali, mahasiswa bangga mengatakan diri agent of change, padahal hanya wayang yang dikontrol oleh pihak tertentu.
Organisasi mahasiswa itu sendiri, sambung Suhendri, juga menghadapi permasalahan seperti eksklusivisme intelektual, kurang menganalisis permasalahan, kurangnya semangat mencerahkan, dan ketidakmampuan untuk menyeimbangkan diri sebagai aktivis intelektual sekaligus aktivis pergerakan.
Para mahasiswa itu juga menyebutkan, masyarakat Aceh terlalu politis dan konsumtif tetapi tidak komunikatif dan tidak solutif. Beberapa hal pemerintah Aceh masih memiliki performa yang rendah seperti, disorientasi pembangunan Aceh, keamanan Aceh yang masih mengkhawatirkan, persoalan penegakkan HAM, birokrasi yang korup, hingga kurangnya pendidikan gratis berkualitas, serta kesejahteraan berbasis kebutuhan lokal.
Itulah sepenggal diskusi hangat mahasiswa di Kantor Liga Inong Aceh, pada suatu sore pertengahan November silam. Ini adalah forum diskusi rutin dari Klub Dialektika, sebuah klub diskusi mahasiswa di Banda Aceh yang difasilitasi Liga Inong Aceh (LINA). Anggotanya adalah para mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Aceh yang berminat dalam kajian sosial dan politik. Mereka umumnya mahasiswa yang aktif di pergerakan kampus.
Adalah Rizki Affiat (27), Manajer Program LINA, penggagas sekaligus mediator klub diskusi bulanan itu. Klub ini sudah berjalan hampir 3 bulan terakhir.
Krisis independensi
Menurut Rizki, latar belakang munculnya Dialektika adalah keprihatinan atas fragmentasi, krisis independensi, dan kurangnya kesadaran kritis mahasiswa Aceh. Pada saat yang sama, situasi politik Aceh kekinian menghadapi polarisasi cukup tajam, yang membuat kiprah mahasiswa menjadi dilematis.
Kisruh Pilkada Aceh telah mempengaruhi proses konsolidasi demokrasi Aceh yang sedang berlangsung. Elemen masyarakat sipil terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan dan afiliasi dengan penguasa. Celakanya, banyak mahasiswa yang terseret.
"Mereka banyak yang berafiliasi ke kelompok tertentu, kehilangan independensi dan kesadaran kritis. Adapula yang berada pada situasi kebingungan atau cenderung memilih diam dalam pragmatisme," papar Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.
Dalam situasi tersebut, lanjut dia, Klub Dialektika mencoba membuka sekat-sekat yang membatasi mahasiswa untuk memperkaya konsep dan nalar kritis mereka, serta memahami saling memahami keberagaman perspektif dan kelompok . Tak hanya berdiskusi, mengkaji politik, mereka juga belajar menyampaikan pemikiran-pemikiran kritis melalui karya tulis.
Diharapkan, klub ini dapat menjadi salah satu referensi bagi basis intelektual dan pergerakan mahasiswa di Aceh. "Kebetulan, rata-rata yang aktif di Dialektika ini adalah mahasiswa yang aktif di dunia pergerakan maha siswa. Dengan begitu, harapan kami nalar kritis dan independen itu nantinya akan tersalur ke aktivitas pergerakan mereka juga," tutur dia.
Menulis
Dalam diskusi, mahasiswa diberi ruang dan waktu yang bebas untuk menyampaikan segala pemikiran dan uneg-unegnya sesuai tema diskusi. Mereka dipersilakan berdebat. Namun, Klub Dialektika selalu menekankan agar mereka tetap saling menghargai pendapat mahasiswa yang lain, mengutamakan kejernihan nalar untuk saling belajar bersama. Sebuah nilai yang sangat penting agar saat mereka menjadi pemimpin mampu mengelola perbedaan dengan baik.
"Kami lalu biasanya menuliskan pemikiran-pemikiran hasil diskusi itu ke blog, facebook group, atau dalam opini di terbitan-terbitan online. Dengan cara itu, teman-teman di sini bisa mengaktualisasikan pemik irannya sambil terus menyosialisasikan kesadaran kritis mereka ke khalayak," papar Rizki.
Dalam diskusi, para mahasiswa mengidentifikasi dan membahas dua isu yang menjadi tema. Tema yang diambil pun tak melulu politik, tapi juga situasi kehidupan mahasiswa, gejala sosial sekitar, dan keseharian. Identifikasi dilakukan secara sederhana yang didasarkan pada apa hal-hal yang paling meresahkan mereka.
Untuk membekali para mahasiswa itu dengan analisis yang tajam dan skil menulis yang baik, LINA juga menggelar pelatihan jurnalistik. Pelatihan itu menghadirkan praktisi dunia jurnalistik di Banda Aceh dan kalangan akademisi yang berkompeten.
Selain pelatihan jurnalistik, LINA juga menggelar kegiatan diskusi rutin tentang fenomena aktual, menghadirkan pembicara-pembicara di bidangnya.
Jabal Husin Sab, mahasiswa Ilmu Politik Unsyiah, menuturkan, bersama komunitas mahasiswanya di kampus, dia mengelola sebuah website yang mengulas pemikiran-pemikiran sosial politik kritis. Di laman itulah dirinya kerap menggoreskan pemikiran-pemikirannya.
"Dengan pelatihan jurnalistik di Dialektika ini saya mendapatkan pemahaman tentang cara menulis dan jurnalisme yang berguna bagi kegiatan penulisan di website saya, Ideas," ujar dia.
Benny Suhada, mahasiswa Unsyiah lainnya, memilih menggunakan jalur opini di media massa mainstream untuk mengungkapkan pemikiran-pemikirannya. Dia berharap dengan diskusi rutin dan pelatihan jurnalistik itu, kemampuan menuliskan opininya kian terasah.
Dengan rangkaian kegiatan itu, mereka mencoba belajar bersama, berpikir kritis, dan mengaktualisasikan diri mereka sebagai mahasiswa. Mereka ingin melibatkan diri dalam pergerakan, peduli apa yang terjadi dengan sekitarnya, dan banyak menulis, seperti halnya Soe Hok Gie.
Sumber kutipan: kompas.com