- MK Panggil DPRA
- Panwas Aceh verifikasi data pemilih
- DPR Aceh Didesak Gunakan Hak Interpelasi untuk Kasus Korupsi Aceh
BANDA ACEH - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, akhirnya
menggunakan hak interpelasi dan hak angket untuk meminta gubernur
sebagai kuasa pemegang anggaran guna menghentikan pencairan dana Pilkada
Aceh.
Dengan penghentian pencairan dana
Pilkada , DPRA telah berupaya menghentikan Pilkada Aceh, melalui Pansus
yang akan dibentuk dalam waktu dekat setelah rapat badan musyawarah
DPRA.
Wakil Ketua Komisi A DPRA Abdullah Saleh kepada wartawan, Rabu
(21/12) sore mengatakan, usulan pansus hak Interpelasi dan hak angket
telah disampaikan melalui surat bersifat penting kepada Ketua DPRA
Hasbi Abdullah.
Menurut Abdullah saleh upaya tersebut dilakukan sehubungan gagalnya
rapat kerja Komisi A DPRA dengan Gubernur Aceh yang disebabkan oleh
ketidak hadiran Irwandi Yusuf pada tanggal 18-24 Oktober 2011 dalam
rangka membicarakan tindak lanjut penghentian dana Pilkada.
“Disamping itu kami juga mengikuti kasus-kasus indikasi korupsi dalam
lingkungan Pemerintah aceh terutama kasus pengadaan CT scan pada RSUZA
dan kasus penjualan asset besi tua pada Dinas BMCK Aceh untuk diselidiki
oleh pansus DPRA,”kata Abdullah Saleh didampingi Adnan Beuransyah di
Media Center kantor DPRA.
Usulan hak Interpelasi dan hak angket ditandatangani oleh 39 anggota
DPRA yang didominasi dari fraksi Partai Aceh dan sejumlah anggota DPRA
dari partai lokal, seperti Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Patriot,
Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai PKPI.
Abdullah Saleh menyebutkan, hasil pansus nantinya akan disampaikan
melalui rapat paripurna di DPRA, apabila sejumlah kasus terbukt
iterindikasi korupsi maka akan direkomendasikan kepada pihak penegak
hukum untuk ditindaklanjuti sampai tuntas.
MK Panggil DPRA
Mahkamah Konstitusi(MK) kembali memanggil DPRA pada Rabu (4/1)
mendatang untuk hadir dalam ruang sidang MK pada agenda pemeriksaan
perbaikan, meskipun DPRA telah mencabut gugatan KIP kepada MK beberapa
hari lalu.
“Saya dan Adnan Beuransyah telah mendapat kuasa oleh Ketua DPRA untuk
menghadiri panggilan MK serta memberikan keterangan atas gugatan DPRA
terhadap KIP, Dalam hal ini DPRA tidak mempercayakan lagi MK.“kata
Abdullah Saleh menambahkan.
Panwas Aceh verifikasi data pemilih
Sementara Panitia Pengawas (Panwas) Provinsi Aceh memverifikasi pemilih pada
pemilihan kepala daerah setempat guna memastikan agar tidak terjadi
manipulasi data.
"Verifikasi dilakukan dengan jalan mengecek langsung setiap pemilih yang namanya tertera di daftar pemilih sementara atau DPS guna memastikan apakah yang bersangkutan benar-benar ada atau fiktif," kata Ketua Panwas Provinsi Aceh Nyak Arief Fadhillah Syah di Banda Aceh.
Pilkada Aceh dijadwalkan para 16 Februari 2012. Pilkada tersebut digelar serentak antara pemilihan gubernur dan wakil gubernur dengan pemilihan 17 bupati/wali kota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Ia mengatakan, verifikasi tersebut masih dilakukan di 23 kabupaten/kota dengan melibatkan Panwas setempat dan pengawas lapangan yang tersebar di seluruh kecamatan di Provinsi Aceh.
Dari laporan sementara, kata dia, ditemukan ada beberapa masalah data pemilih. Masalah tersebut cenderung kepada perpindahan pemilih ke daerah lain. "Seperti di Kota Sabang. Banyak pemilih yang namanya ada di DPS, tetapi setelah dicek, yang bersangkutan sudah pindah ke tempat lain. Masalah ini sudah kami sampaikan ke KIP setempat," katanya.
Masalah itu, kata dia, sudah disampaikan kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Sabang agar mencoret pemilih yang sudah pindah tersebut dari DPS. Selain itu, kata dia, Panwas juga mendatangi seluruh gampong di Provinsi Aceh guna memastikan apakah Daftar Pemilih Sementara ditempel di kantor desa maupun di tempat lainnya atau tidak.
"Kalau tidak, kami akan menyurati KIP setempat agar DPS tersebut segera ditempel. Sejauh ini, kami belum menerima laporan resmi ada gampong yang belum menempel DPS," katanya. Sebelumnya, Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih KIP Aceh Tgk Akmal Abzal mengatakan DPS akan ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada 28 Desember 2011.
Setelah DPT ditetapkan, kata dia, maka yang tidak terdaftar tidak bisa menyalurkan hak politiknya, memilih pasangan calon gubernur maupun bupati/wali kota di daerahnya. "Karena itu kami mengimbau masyarakat melihat apakah nama mereka tercantum dalam daftar pemilih sementara atau DPS. Jika belum, sebaiknya beritahukan kepada petugas setempat untuk dicatatkan," kata Tgk Akmal Abzal.
"Verifikasi dilakukan dengan jalan mengecek langsung setiap pemilih yang namanya tertera di daftar pemilih sementara atau DPS guna memastikan apakah yang bersangkutan benar-benar ada atau fiktif," kata Ketua Panwas Provinsi Aceh Nyak Arief Fadhillah Syah di Banda Aceh.
Pilkada Aceh dijadwalkan para 16 Februari 2012. Pilkada tersebut digelar serentak antara pemilihan gubernur dan wakil gubernur dengan pemilihan 17 bupati/wali kota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Ia mengatakan, verifikasi tersebut masih dilakukan di 23 kabupaten/kota dengan melibatkan Panwas setempat dan pengawas lapangan yang tersebar di seluruh kecamatan di Provinsi Aceh.
Dari laporan sementara, kata dia, ditemukan ada beberapa masalah data pemilih. Masalah tersebut cenderung kepada perpindahan pemilih ke daerah lain. "Seperti di Kota Sabang. Banyak pemilih yang namanya ada di DPS, tetapi setelah dicek, yang bersangkutan sudah pindah ke tempat lain. Masalah ini sudah kami sampaikan ke KIP setempat," katanya.
Masalah itu, kata dia, sudah disampaikan kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Sabang agar mencoret pemilih yang sudah pindah tersebut dari DPS. Selain itu, kata dia, Panwas juga mendatangi seluruh gampong di Provinsi Aceh guna memastikan apakah Daftar Pemilih Sementara ditempel di kantor desa maupun di tempat lainnya atau tidak.
"Kalau tidak, kami akan menyurati KIP setempat agar DPS tersebut segera ditempel. Sejauh ini, kami belum menerima laporan resmi ada gampong yang belum menempel DPS," katanya. Sebelumnya, Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih KIP Aceh Tgk Akmal Abzal mengatakan DPS akan ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada 28 Desember 2011.
Setelah DPT ditetapkan, kata dia, maka yang tidak terdaftar tidak bisa menyalurkan hak politiknya, memilih pasangan calon gubernur maupun bupati/wali kota di daerahnya. "Karena itu kami mengimbau masyarakat melihat apakah nama mereka tercantum dalam daftar pemilih sementara atau DPS. Jika belum, sebaiknya beritahukan kepada petugas setempat untuk dicatatkan," kata Tgk Akmal Abzal.
DPR Aceh Didesak Gunakan Hak Interpelasi untuk Kasus Korupsi Aceh
Disisi lain DPR Aceh didesak untuk mengunakan hak interpelasi terkait sejumlah
kasus dugaan korupsi di Aceh yang diduga melibatkan pejabat di
Pemerintah Provinsi Aceh.
Kasus-kasus tersebut di antaranya
dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan CT scan dan MRI RS Zainal Abidin
Banda Aceh senilai Rp 18 miliar, dan pekerjaan proyek anggaran luncuran
(DPAL) 2009-2010 APBD Aceh Rp 489 miliar.
"Sikap DPR Aceh terkait
kasus-kasus korupsi ini harus jelas. Mereka dapat menggunakan
instrument hak interpelasi untuk menanyakan ini ke Gubernur Aceh. Karena
kerugian negara yang timbul cukup besar. Misalnya kasus CT scan dan
MRI RSZA dan DPAL itu yang kerugian negaranya sekitar Rp 500 miliar,"
ujar Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
Alfian, Rabu (21/12/2011).
Selama ini DPR Aceh hanya kritis untuk
hal-hal yang kaitanya dengan kepentingan politik kekuasaan, terutama
terkait polemik regulasi Pilkada Aceh dengan Gubernur Aceh. Namun,
kekritisan itu belum tampak untuk upaya pemberantasan korupsi di Aceh,
serta upaya pengembangan penyelenggaran pemerintahan yang baik.
Penanganan
sebagian besar kasus korupsi di Ace h sampai saat ini belum jelas.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, mengatakan,
Dari ratusan kasus korupsi yang mencuat sepanjang tahun 2011, ada 18
kasus yang diproses di persidangan. Ironisnya, 6 kasus di antaranya
divonis bebas di pengadilan.
Askhalani juga membeberkan kondisi
korupsi di Aceh dalam kurun waktu selama tiga tahun terhitung sejak
2009-2011. Menurut data itu, pada tahun 2009-2010 terdapat 171 kasus
korupsi yang tercatat di Provinsi Aceh dengan potensi kerugian keuangan
negara menc apai Rp 1,8 triliun.
Secara keseluruhan dari tahun
2009-2010 dan 2011, sebanyak 56 kasus korupsi yang muncul ke publik
tidak ditangani oleh aparat hukum baik di kabupaten/kota maupun di level
provinsi dengan total potensi kerugian negara mencapai Rp 89 miliar.
Askhlani
menyebutkan, ada beberapa kasus menonjol yang hingga kini penanganannya
masih belum tuntas, yaitu: dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan CT
scan dan MRI RS Zainal Abidin Banda Aceh senilai Rp 18 miliar, pekerjaan
proyek anggaran luncuran (DPAL) 2009-2010 APBD Aceh Rp 489 miliar,
korupsi pembangunan rumah dhuafa dalam APBD Aceh 2008 Rp 200 miliar,
pekerjaan penanganan proyek darurat (non-bencana alam) APBD Aceh 2010 Rp
250 miliar, dan prose realisasi hibah di DPKKA dalam APBD Aceh 2010
melalui D inas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kesehatan Hewan, dan
Dinas Pendidikan Aceh senilai Rp 21 miliar.
Wakil Gubernur Aceh
Muhammad Nazar, mendesak agar lembaga terkait penegakan hukum korupsi
menindaklanjutinya. Dengan begitu, ada kejelasan mengenai informasi yang
dihimpun lembaga masyarakat tersebut.
"Kami mengapresiasi lembaga
sipil dengan adanya informasi ini. Supaya itu tak menjadi info liar,
harus ada tindak lanjut," ujar Nazar.
Nazar menambahkan, kasus
korupsi yang masih terjadi di Aceh ini tak lepas dari masih adanya latar
belakang politis yang menyertai setia p perencanaan dan pelaksaan
proyek dana pemerintah. Kepentingan politik dalam proyek itu membuat
begitu mudah terjadi penyelewengan.
Sumber kutipan : beritasore.com - kompas.com dan waspada.co.id