Kamis, 22 Desember 2011

DPRA ajukan interpelasi Hentikan Pilkada Aceh

  • MK Panggil DPRA 
  • Panwas Aceh verifikasi data pemilih
  • DPR Aceh Didesak Gunakan Hak Interpelasi untuk Kasus Korupsi Aceh
BANDA ACEH - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, akhirnya menggunakan hak interpelasi dan hak angket untuk meminta gubernur sebagai kuasa pemegang anggaran guna menghentikan pencairan dana Pilkada Aceh.

Dengan penghentian pencairan dana Pilkada , DPRA telah berupaya menghentikan Pilkada Aceh, melalui Pansus yang akan dibentuk dalam waktu dekat setelah rapat badan musyawarah DPRA.

Wakil Ketua Komisi A DPRA Abdullah Saleh kepada wartawan, Rabu (21/12) sore mengatakan, usulan pansus hak Interpelasi dan hak angket telah disampaikan melalui surat  bersifat penting kepada Ketua DPRA Hasbi Abdullah.

Menurut Abdullah saleh upaya tersebut dilakukan sehubungan gagalnya rapat kerja Komisi A DPRA dengan Gubernur Aceh yang disebabkan oleh ketidak hadiran Irwandi Yusuf pada tanggal 18-24 Oktober 2011 dalam rangka membicarakan tindak lanjut penghentian dana Pilkada.

“Disamping itu kami juga mengikuti kasus-kasus indikasi korupsi dalam lingkungan Pemerintah aceh terutama kasus pengadaan CT scan pada RSUZA dan kasus penjualan asset besi tua pada Dinas BMCK Aceh untuk diselidiki oleh pansus DPRA,”kata Abdullah Saleh didampingi Adnan Beuransyah di Media Center kantor DPRA.

Usulan hak Interpelasi dan hak angket ditandatangani oleh 39 anggota DPRA yang didominasi dari fraksi Partai Aceh dan sejumlah anggota DPRA dari partai lokal, seperti Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Patriot, Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai PKPI.

Abdullah Saleh menyebutkan, hasil pansus nantinya akan disampaikan melalui rapat paripurna di DPRA, apabila sejumlah kasus terbukt iterindikasi korupsi maka akan direkomendasikan kepada pihak penegak hukum untuk ditindaklanjuti sampai tuntas.

MK Panggil DPRA
Mahkamah Konstitusi(MK) kembali memanggil DPRA pada Rabu (4/1) mendatang untuk hadir dalam ruang sidang MK pada agenda pemeriksaan perbaikan, meskipun DPRA telah mencabut gugatan KIP kepada MK beberapa hari lalu.

“Saya dan Adnan Beuransyah telah mendapat kuasa oleh Ketua DPRA untuk menghadiri panggilan MK serta memberikan keterangan atas gugatan DPRA terhadap KIP, Dalam hal ini DPRA tidak mempercayakan lagi MK.“kata Abdullah Saleh menambahkan. 

Panwas Aceh verifikasi data pemilih
Sementara Panitia Pengawas (Panwas) Provinsi Aceh memverifikasi pemilih pada pemilihan kepala daerah setempat guna memastikan agar tidak terjadi manipulasi data.


"Verifikasi dilakukan dengan jalan mengecek langsung setiap pemilih yang namanya tertera di daftar pemilih sementara atau DPS guna memastikan apakah yang bersangkutan benar-benar ada atau fiktif," kata Ketua Panwas Provinsi Aceh Nyak Arief Fadhillah Syah di Banda Aceh.


Pilkada Aceh dijadwalkan para 16 Februari 2012. Pilkada tersebut digelar serentak antara pemilihan gubernur dan wakil gubernur dengan pemilihan 17 bupati/wali kota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.


Ia mengatakan, verifikasi tersebut masih dilakukan di 23 kabupaten/kota dengan melibatkan Panwas setempat dan pengawas lapangan yang tersebar di seluruh kecamatan di Provinsi Aceh.


Dari laporan sementara, kata dia, ditemukan ada beberapa masalah data pemilih. Masalah tersebut cenderung kepada perpindahan pemilih ke daerah lain.  "Seperti di Kota Sabang. Banyak pemilih yang namanya ada di DPS, tetapi setelah dicek, yang bersangkutan sudah pindah ke tempat lain. Masalah ini sudah kami sampaikan ke KIP setempat," katanya.


Masalah itu, kata dia, sudah disampaikan kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Sabang agar mencoret pemilih yang sudah pindah tersebut dari DPS.  Selain itu, kata dia, Panwas juga mendatangi seluruh gampong di Provinsi Aceh guna memastikan apakah Daftar Pemilih Sementara ditempel di kantor desa maupun di tempat lainnya atau tidak.


"Kalau tidak, kami akan menyurati KIP setempat agar DPS tersebut segera ditempel. Sejauh ini, kami belum menerima laporan resmi ada gampong yang belum menempel DPS," katanya. Sebelumnya, Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih KIP Aceh Tgk Akmal Abzal mengatakan DPS akan ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada 28 Desember 2011.


Setelah DPT ditetapkan, kata dia, maka yang tidak terdaftar tidak bisa menyalurkan hak politiknya, memilih pasangan calon gubernur maupun bupati/wali kota di daerahnya.  "Karena itu kami mengimbau masyarakat melihat apakah nama mereka tercantum dalam daftar pemilih sementara atau DPS. Jika belum, sebaiknya beritahukan kepada petugas setempat untuk dicatatkan," kata Tgk Akmal Abzal.

DPR Aceh Didesak Gunakan Hak Interpelasi untuk Kasus Korupsi Aceh 
Disisi lain DPR Aceh didesak untuk mengunakan hak interpelasi terkait sejumlah kasus dugaan korupsi di Aceh yang diduga melibatkan pejabat di Pemerintah Provinsi Aceh.

Kasus-kasus tersebut di antaranya dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan CT scan dan MRI RS Zainal Abidin Banda Aceh senilai Rp 18 miliar, dan pekerjaan proyek anggaran luncuran (DPAL) 2009-2010 APBD Aceh Rp 489 miliar.

"Sikap DPR Aceh terkait kasus-kasus korupsi ini harus jelas. Mereka dapat menggunakan instrument hak interpelasi untuk menanyakan ini ke Gubernur Aceh. Karena kerugian negara yang timbul cukup besar. Misalnya kasus CT scan dan MRI RSZA dan DPAL itu yang kerugian negaranya sekitar Rp 500 miliar," ujar Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, Rabu (21/12/2011).

Selama ini DPR Aceh hanya kritis untuk hal-hal yang kaitanya dengan kepentingan politik kekuasaan, terutama terkait polemik regulasi Pilkada Aceh dengan Gubernur Aceh. Namun, kekritisan itu belum tampak untuk upaya pemberantasan korupsi di Aceh, serta upaya pengembangan penyelenggaran pemerintahan yang baik.
Penanganan sebagian besar kasus korupsi di Ace h sampai saat ini belum jelas. Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, mengatakan, Dari ratusan kasus korupsi yang mencuat sepanjang tahun 2011, ada 18 kasus yang diproses di persidangan. Ironisnya, 6 kasus di antaranya divonis bebas di pengadilan.

Askhalani juga membeberkan kondisi korupsi di Aceh dalam kurun waktu selama tiga tahun terhitung sejak 2009-2011. Menurut data itu, pada tahun 2009-2010 terdapat 171 kasus korupsi yang tercatat di Provinsi Aceh dengan potensi kerugian keuangan negara menc apai Rp 1,8 triliun.

Secara keseluruhan dari tahun 2009-2010 dan 2011, sebanyak 56 kasus korupsi yang muncul ke publik tidak ditangani oleh aparat hukum baik di kabupaten/kota maupun di level provinsi dengan total potensi kerugian negara mencapai Rp 89 miliar.

Askhlani menyebutkan, ada beberapa kasus menonjol yang hingga kini penanganannya masih belum tuntas, yaitu: dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan CT scan dan MRI RS Zainal Abidin Banda Aceh senilai Rp 18 miliar, pekerjaan proyek anggaran luncuran (DPAL) 2009-2010 APBD Aceh Rp 489 miliar, korupsi pembangunan rumah dhuafa dalam APBD Aceh 2008 Rp 200 miliar, pekerjaan penanganan proyek darurat (non-bencana alam) APBD Aceh 2010 Rp 250 miliar, dan prose realisasi hibah di DPKKA dalam APBD Aceh 2010 melalui D inas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kesehatan Hewan, dan Dinas Pendidikan Aceh senilai Rp 21 miliar.

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, mendesak agar lembaga terkait penegakan hukum korupsi menindaklanjutinya. Dengan begitu, ada kejelasan mengenai informasi yang dihimpun lembaga masyarakat tersebut.

"Kami mengapresiasi lembaga sipil dengan adanya informasi ini. Supaya itu tak menjadi info liar, harus ada tindak lanjut," ujar Nazar.

Nazar menambahkan, kasus korupsi yang masih terjadi di Aceh ini tak lepas dari masih adanya latar belakang politis yang menyertai setia p perencanaan dan pelaksaan proyek dana pemerintah. Kepentingan politik dalam proyek itu membuat begitu mudah terjadi penyelewengan.

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails