Jumat, 16 Desember 2011

Isu HAM, agama dan kapitalisme

Radikalisme liberal, ini adalah orang yang menggunakan HAM dengan tujuan menghancurkan norma dan nilai-nilai Pancasila.

Dalam hari-hari belakangan ini ada beberapa peristiwa penting yang menyangkut pelanggaran kemanusiaan. Dari Papua terdengar kabar setidaknya tiga polisi tewas dibunuh. Pembunuhan pertama terjadi 7 November 2011 terhadap AK Dominggus Awes, Kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya yang ditembak mati oleh penyerang yang merampas senjatanya.

Pembunuhan kedua terjadi 3 Desember 2011 di distrik yang sama. Dua anggota Brimob Bripda Feerly dan Bripda Eko tewas dihajar anak panah para penyerang dari perbukitan. Polisi sampai hari ini belum bisa menangkap para pelaku dua pembunuhan tersebut.

Di ujung Timur nusantara ini tengah hangat kasus PT Freeport yang bergayungbersambut dengan jatuhnya korban. Dalam korban jiwa yang melayang, bukan hanya warga sipil, tapi justru aparat penegak hukum, polisi.

Dari Palestina dikabarkan seorang warga sipil Palestina, Mustafa Abdelrazek al-Tamimi, 28. Pria dari desa Nabi Saleh ini mengalami kondisi kritis setelah ditembak langsung di wajahnya dengan tabung gas air mata dari jarak dekat oleh tentara zionis.

Saksi mengatakan, tentara zionis itu berada kurang dari sepuluh meter ketika menembak, menyebabkan kerusakan yang sangat parah di daerah wajahnya. “setengah dari wajahnya rusak berat. Terlihat sangat parah, ia mengeluarkan banyak sekali darah” kata Lazar Simenov, seorang photographer yang berada ditempat kejadian ketika itu.

Nyawa Tamimi akhirnya tak dapat diselamatkan. Dia tewas di ujung senapan zionis Israel. Tapi seperti biasa, tidak ada reaksi dunia yang menggugat aksi biadab itu sebagai suatu pelanggaran Ham Azasi Manusia (HAM).

Isu HAM
Dari berbagai peristiwa kemanusiaan tersebut, sepertinya hanya berhentii pada persoalan hukum semata. Tidak terjadi respons daripara pegiat Hak Azasi Manusia (HAM) seperti sebelum-sebelumnya, khususnya ketika muncul kasus terkait agama seperti kasus aliran sesat Ahmadiyah. Kondisi ini kemudian memunculkan pertanyaan, HAM untuk kepentingan siapa?

Maka tidak mengherankan jika ada yang berpandangan bahwa HAM sesungguhnya hanyalah salah satu instrumen Barat dalam menyebarkan ideologi kapitalismenya. Paham ini lahir dari sekularisme Barat, yang memisahkan agama dalam urusan kehidupan, yang sarat dengan ide kebebasan/liberalisme. Ada pula yang berpendapat bahwa salah satu strategi besar untuk memecah-belah suatu negara seperti NKRI adalah pemanfaatan isu HAM, bukan propaganda melakukan Pemilu yang demokratis.

Kasus lepasnya Timor Timur menjadi contoh adanya campur tangan kepentingan dan kekuatan pihak asing di Indonesia. Sehingga, patut diduga dan diwaspadai bila organisasi internasional dan LSM tertentu berupaya mendorong dan mendukung aksi-aksi separatisme di Papua. Antara lain, dengan menggunakan kedok dan bersembunyi di balik isu HAM dan demokratisasi.

Tidak mengherankan pula jika ada yang berpendapat bahwa bagi sejumlah kalangan liberal radikal, HAM hanya pembenar untuk kepentingan melabrak segala peraturan yang ada. Dalam kehidupan beragama misalnya, HAM diposisikan sebagai hakim untuk menilai suatu agama. Cara pandang seperti inilah yang sekarang coba dikembangkan di perguruan tinggi Indonesia.

Kebebasan agama secara konstitusional dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 29. Tapi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 18 juga disebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”.

Dalam kaitan ini Buya Hamka telah mengemukakan pendapatnya tentang Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), yang ditetapkan PBB, pada 10 Desember 1948. Buya Hamka menulis pendapatnya terhadap DUHAM dalam sebuah artikel berjudul ”Perbandingan Antara Hak-hak Asasi Manusia Deklarasi PBB dan Islam”.

Buya Hamka antara lain berkesimpulan bahwa semua pasal dalam DUHAM itu enak dibaca, meskipun anggota-anggota PBB itu sendiri masih banyak yang belum menjalankannya. Buya Hamka memberi catatan dalam ayat 1 dari pasal 16 dan pasal 18.

Pasal 16 ayat 1 DUHAM berbunyi: Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.

Selanjutnya, Hamka menjelaskan sikapnya: ”Sebab apa saya tidak dapat menerimanya? Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistik. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; Alquran dan Alhadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syari’atnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.”

Radikalisme liberal
Usai acara Seminar Nasional “Mencermati Ideologi Radikal dan Neo PKI Untuk Mengokohkan Pancasila di Surabaya, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Hasyim Muzadi, meminta pemerintah untuk mewaspadai gerakan radikalisme liberal yang mulai merambah ke beberapa negara. Jika radikalisme liberal dibiarkan tumbuh berkembang maka Indonesia akan menjadi negara yang tanpa arah dan tujuan.

Radikalisme liberal, ini adalah orang yang menggunakan HAM dengan tujuan menghancurkan norma dan nilai-nilai Pancasila. Mereka menempatkan norma itu seolah-olah berada di bawah HAM. Padahal HAM itu ada yang terpisah dari ideologi, agama, konstitusi, Undang-Undang dan etika. “Sekarang di balik, mereka mengkampanyekan gerakan anti Tuhan atas nama HAM. Ini benar tidak,” ujarnya KH.Hasyim.

Gerakan radikalisme liberal ini muncul tidak terlepas dari reformasi yang semula bertujuan untuk demokratisasi dan melonggarkan hak asasi. Namun di dalam reformasi itu ditumpangi semua arus. Mulai arus radikal kanan hingga arus radikal kiri.

Pada kenyataannya penegakan HAM seperti persoalan penistaan agama sulit dilakukan, karena HAM seringkali digunakan secara tidak proporsional dan cenderung merugikan Negara berkembang. Isu HAM cenderung dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk mewujudkan keinginan dan kepentingannya.

Penutup
Pada hakikatnya, sebenarnya semua pihak telah menyadari bahwa ada yang ganjil dalam penerapan HAM baik di nusantara maupun di berbagai belahan dunia lainnya semisal di Palestina. Ada standar ganda yang diterapkan para pengusung HAM yang notebene adalah para kapiltalis dunia. Bahwa keganjilan dalam aplikasi HAM itu adalah isyarat dari pelanggengan kapitalisme dunia.

Penulis adalah Mantan Wakil Wali Kota Medan.
(dat03/wapasda)
 

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails