Oleh Iskandar Norman | Harian Aceh
Draf qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan draf qanun
penamaman modal/investasi, kini mulai diperbincangkan. Beragam rekomendasi
kemudian muncul.
Adalah tim taskforce Aceh yang difasilitasi Transisi Foundation yang
melakukan hal tersebut. Mereka melalui kerja sama dengan International
Republican Institute (IRI) mengeluarkan rekomendasi beserta tanggapan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tentang qanun Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan qanun Penanaman Modal.
Direktur Transisi Foundation, Teuku Murdani mengatakan, kedua draf
qanun itu telah menjadi bagian dari Proleg dan merupakan dua qanun
prioritas untuk dibahas oleh DPRA pada tahun 2011.
Keduanya ditelaah kembali oleh tim taskforce melalui diskusi berkala
untuk mengkritisi beberapa bagian penting dari isi qanun yang kemudian
menjadi landasan sebuah rekomendasi tim yang disampaikan kepada DPRA.
Keberadaan qanun KKR yang sampai saat ini belum terwujud merupakan
bagian penting yang menjadi perhatian tim taskforce Aceh karena
merupakan bagian dari amanah Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).
“Dalam pandangan tim ini, qanun KKR pada dasarnya tidak perlu
menunggu UU KKR Nasional, karena UUPA sendiri sudah cukup untuk menjadi
sebuah landasan hukum bagi lahirnya qanun ini,” jelas Murdani.
Murdani menjelaskan, sebagaimana yang tercantum dalam UUPA pasal 229
ayat (2), KKR di Aceh sangat perlu mendapat penguatan dari UU KKR
Nasional. Maka untuk itu tim taskforce Aceh mengusulkan agar DPRA
bersama Pemerintah Aceh membentuk tim khusus guna melakukan advokasi dan
dorongan kepada pemerintah pusat dan DPR RI agar segera membahas RUU
KKR dan dapat dijadikan UU secepatnya supaya rekonsiliasi di Aceh segera
terwujud.
“Tim ini juga menilai perlu adanya penekanan lebih terhadap persoalan
rekonsiliasi dan reparasi korban dengan tidak mengurangi unsur
pengungkapan kebenaran,” lanjutnya.
Masih menurut Murdani, pimpinan DPRA menyambut baik upaya ini sebagai
langkah maju dan bagian dari upaya mendorong mekanisme penyusunan
regulasi yang melibatkan publik secara luas. DPRA juga menawarkan
beberapa inisiasi yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, khususya di bidang penanaman modal, dimana
masyarakat akan dilibatkan secara lebih luas khususya dalam hal
memberikan kesempatan yang sama untuk bekerja pada perusahan-perusahan
investor dengan mengutamakan peduduk setempat.
Tim taskforce Aceh yang terdiri dari partai politik, CSO, akademisi,
pelaku dunia usaha dan para pemangku kepentingan lainnya, dibentuk dalam
rangka membangun sebuah mekanisme komunikasi yang lebih efektif antara
partai politik dan CSO untuk merespon isu publik yang pada akhirnya
mampu menjadi landasan sebuah regulasi yang pro publik untuk membantu
pemerintah daerah dalam proses pengembangan ekonomi wilayah dan
terciptanya kesejahteraan masyarakat.
“Tim ini berharap dapat terus membantu kinerja badan legislasi DPRA
Aceh dalam proses penyusunan dan evaluasi legislasi yang sesuai dengan
amanat perundang undangan yang mengisyaratkan perlunya keterlibatan
publik dalam setiap pembentukan peraturan daerah (qanun),” jelas
Murdani.
Rekomendasi Tim Taskforce
Tim Taskforce Aceh berjumlah 14 orang yang terdiri atas perwakilan
dari beberapa partai pollitik, diantaranya: Partai Demokrat, Partai
Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB).
Selain itu juga tergabung beberapa lembaga dan komponen masyarakat
Sipil yaitu:Transisi Foundation, Care Aceh, Katahati Institute, Lembaga
Peumakmu Nanggroe Aceh (LPNA), Aceh Madani, Center for Conflict
Resolution and Peace Studies (CCRPS) Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Ar Raniry, Pusat studi Perdamain dan Resolusi Konflik Unsyiah (CPCRS),
Kelompok Perempuan, dan lain lain.
Tim tersebut setelah melakukan serangkaian diskusi yang membahas
yakni draf qanun KKR dan draf qanun Penanaman Modal/Investasi. Untuk
draf qanun KKR, tim ini memberikan beberapa rekomendasi, di antaranya
soal posisi qanun KKR yang lebih dimaksudkan untuk melihat sampai saat
ini bagaimana status qanun KKR, apakah sudah dibahas oleh DPRA atau
masih di Pemerintah atau mungkin masih dalam wacana.
Tim juga meminta dewan untuk mempelajari secara umum isi draf qanun
KKR yang telah disusun oleh masyarakat sipil, dan melihat kemungkinan
apa yang perlu disikapi lebih lanjut, melihat kemungkinan-kemungkinan
jadi atau tidaknya qanun KKR dibuat di Aceh dalam kaitannya dengan
pengesahan Undang-undang KKR di tingkat nasional.
Sementara untuk qanun penanaman modal/investasi, tim taskforce Aceh
juga melakukan pengkajian terhadap posisi draft qanun penanaman
modal/investasi saat ini.
“Hal ini lebih dimaksudkan untuk melihat sampai saat ini bagaimana
statusnya di DPRA. Apakah sudah dibahas oleh DPRA atau masih di
pemerintah atau mungkin masih dalam wacana,” jelas Murdani.
Tim taskforce Aceh kata Murdani juga meminta agar Pemerintah Aceh
baik eksekutif maupun legislatif membentuk tim khusus melakukan advokasi
dan dorongan kepada Pemerintah Pusat serta Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI) agar segera membahas RUU KKR dan
menerbitkannya menjadi UU secepatnya, sehingga rekonsiliasi di Aceh
dapat segera terwujud.
“Tim taskforce Aceh bersedia menjadi pihak yang mendorong,
mendampingi atau kalau dimungkinkan menjadi pihak yang melakukan
advokasi serupa kepada Pemerintah Pusat dan DPR RI,” janji Murdani.
Menurutnya, qanun KKR maupun UU KKR dibutuhkan sebagai bagian
mempercepat rekonsiliasi di Aceh. Namun perlu dilakukan pengkajian lebih
dalam untuk lebih memahami KKR dan mengurangi kontroversi.
“Salah satunya dengan lebih memperkuat dan memperdalam pembahasan
tentang reparasi korban konflik. Tapi sambil menunggu terbitnya UU KKR,
Pemerintah Aceh dapat segera menerbitkan qanun KKR dengan dilandaskan
amanah UUPA. Pemerintah Aceh juga dapat melakukan upaya dorong langsung
ke Pemerintah Pusat agar UU KKR dapat segera diterbitkan,” lanjut
Murdani.
Sementara untuk draf qanun penanaman modal (investasi), Murdani
mengatakan sebelumnya sudah ada qanun nomor 5 tahun 2009 tentang
penanaman modal. Qanun tersebut masuk dalam revisi qanun Prolega tahun
2011.
“Dalam Qanun Nomor 5 tahun 2009, khususnya pasal 8, ada dinyatakan
bahwa penanam modal harus merekrut tenaga kerja penduduk Aceh (seluruh
Aceh). Menurut Tim Taskforce Aceh, dibutuhkan penjelasan tentang
penduduk Aceh untuk lebih menekankan ruang lingkup di kecamatan dan
kabupaten,” ungkap Murdani.
Qanun itu kata Murdani juga tidak memperjelas hak atas tanah bagi
penanam modal, apakah hal milik atau hak pakai. “Pertanyaannya bgaimana
apabila pemodal asing ingin memiliki tanah? Hak atas tanah bagaimana
yang diberikan?” tanyanya.
Masih menurut Murdani, qanun tidak memuat peran dan partisipasi luas
masyarakat lokal/setempat dalam mekanisme pengelolaan langsung dana
cooperate social responsibility (CSR) atau tanggung sosial perusahaan.
Yang ada tertulis hanya peran direkrut sebagai tenaga kerja.
Tim taskforce kata Murdani juga mengkritisi qanun penanaman modal
tersebut karena tidak memuat kewajiban penanam modal bersama-sama
pemerintah untuk melakukan penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam
bidang khusus yang dibutuhkan sehingga layak memenuhi kualifikasi
penanam modal.
“Misalnya keahlian untuk bekerja dalam bidang minyak dan gas dan lain
sebagainya. Qanun itu juga tidak memuat alternatif-alternatif tentang
pembebasan lahan. Yang selama ini terjadi, hanya mengganti rugi lahan
masyarakat tanpa ada upaya lain misalnya program relokasi, atau sewa
pakai tanah atau lahan,” jelasnya.
Karena itu, tim taskforce menawarkan kepada DPRA dan eksekutif Aceh
agar menyesuaikan pasal rekrutmen tenaga kerja dari kata-kata penduduk
Aceh menjadi penduduk lokal/setempat baik kecamatan maupun kabupaten.
Qanun sebaiknya mengatur secara jelas hak atas tanah yang boleh
dimiliki penanam modal adalah hak pakai bukan hak milik dan tidak boleh
mengalihkan hak pakai tanpa izin pemerintah.
Tawaran lainnya dari tim taskforce dalam hal pembebasahan lahan untuk
investor, qanun diharapkan memuat beberapa alternatif misalnya lahan
dikonversi menjadi saham dan atau lahan dikontrakkan/sewa pakai,
sehingga masyarakat dapat menikmati hasil jangka panjang. “Kalau sekedar
ganti rugi, setelah habis bisa saja kembali untuk mengganggu
investasi,” tegas Murdani.
Murdani juga mengharapkan agar qanun tersebut dapat melihat fenomena
terkini. Ia mencontohkan saat ini beberapa investor tidak lagi membangun
pusat usahanya di Aceh, namun mengeruk dan membawa tanah yang ada untuk
dibawa keluar Aceh. “Bisa jadi, ada banyak sumber daya lain dalam tanah
tersebut,” duganya.
Tanggapan DPRA
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memberikan tanggapan yang
beragam terhadap usul tim taskfoce terkait draf qanun Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) dan qanun penanaman modal.
Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA, Tgk M Harun misalnya. Baginya
KKR bukan hanya masalah Indonesia tapi sudah menjadi masalah dunia
sehingga dewan sudah berfikir untuk menyelesaikan qanun KKR.
“Kalaupun melihat kasus Timor Leste yang menggunakan istilah Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP), pada dasarnya sama saja dengan KKR.
Pada dasarnya draft qanun KKR sudah ada di DPRA dan akan dibahas pada
tahun 2012,” jelasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Sekretaris Banleg DPRA, Abdullah Saleh
SH. Menurutnya, draft qanun KKR sudah selesai dibahas di Komisi A.
“Draf qanun yang sudah ada ini merupakan masukan dari Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Banda Aceh dan sudah kami jadikan sebagai usul inisiatif
DPRA. Draft qanun KKR menjadi program Legislasi Aceh tahun 2012 dan DPRA
berencana menyelesaikannya menjadi qanun pada tahun 2012,” katanya.
Sementara tentang qanun penanaman modal, Abdullah Saleh mengatakan
sudah selesai dibahas oleh Komisi C. Meski demikian Komisi C masih
menerima masukan dan kontribusi dari masyarakat.
Tapi Ketua Komisi A, Adnan Beuransah mengatakan pada prinsipnya qanun
KKR tidak perlu menunggu diterbitkannya UU KKR di tingkat Nasional
karena merupakan anamah MoU dan UU Pemerintahan Aceh.
“Namun untuk memperkuat pembahasan Qanun KKR, kami masih perlu banyak
masukan termasuk mempelajari UU KKR yang pernah ada dan dibatalkan oleh
MK. DPRA juga merasa perlu untuk mempelajari berbagai contoh KKR yang
telah dilaksanakan di dunia seperti KKP di Timor Leste maupun yang di
Afrika Selatan,” katanya.
Sementara terkait qanun penanaman modal, ia berharap agar setiap
modal yang ditanamkan di Aceh memberi manfaat. Pemerintah Aceh harus
mempunyai saham dalam setiap investasi yang ditanam di Aceh.
“Dalam merekrut tenaga kerja, setiap investor harus melakukannya
dalam lingkup terkecil terlebih dahulu, gampong, baru kemudian kecamatan
dan kabupaten, tujuannya agar masyaralat lokal memiliki kesempatan
lebih besar. Kalau tidak ada, investor berkewajiban memberi pelatihan
pada masyarakat setempat,” lanjutnya.
Dalam berbagai pertemuan dengan tim taskforce tersebut, pada
prinsipnya DPRA sangat menyambut baik masukan dan aspirasi masyarakat
yang disampaikan melalui Tim Taskforce Aceh. Hanya saja, DPRA masih
sangat membutuhkan masukan yang lebih khusus misalnya pendampingan dalam
menyusun dan mempersiapkan qanun.
Sumber: harian-aceh.com