Selasa, 27 Desember 2011

Mengkritisi Rancangan Qanun KKR

Oleh Iskandar Norman  | Harian Aceh
Draf qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan draf qanun penamaman modal/investasi, kini mulai diperbincangkan. Beragam rekomendasi kemudian muncul.


Tim Taskfoce Aceh memaparkan hasil temuan dan rekomendasi terkait isu qanun KKR dan qanun penanaman modal di hadapan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada 15 September 2011 lalu. Harian Aceh | IST
Tim Taskfoce Aceh memaparkan hasil temuan dan rekomendasi terkait isu qanun KKR dan qanun penanaman modal di hadapan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada 15 September 2011 lalu. Harian Aceh | IST
Adalah tim taskforce Aceh yang difasilitasi Transisi Foundation yang melakukan hal tersebut. Mereka melalui kerja sama dengan International Republican Institute (IRI) mengeluarkan rekomendasi beserta tanggapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tentang qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan qanun Penanaman Modal.


Direktur Transisi Foundation, Teuku Murdani mengatakan, kedua draf qanun itu telah menjadi bagian dari Proleg dan merupakan dua qanun prioritas untuk dibahas oleh DPRA pada tahun 2011.

Keduanya ditelaah kembali oleh tim taskforce melalui diskusi berkala untuk mengkritisi beberapa bagian penting dari isi qanun yang kemudian menjadi landasan sebuah rekomendasi tim yang disampaikan kepada DPRA.

Keberadaan qanun KKR yang sampai saat ini belum terwujud merupakan bagian penting yang menjadi perhatian tim taskforce Aceh karena merupakan bagian dari amanah Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).

“Dalam pandangan tim ini, qanun KKR pada dasarnya tidak perlu menunggu UU KKR Nasional, karena UUPA sendiri sudah cukup untuk menjadi sebuah landasan hukum bagi lahirnya qanun ini,” jelas Murdani.

Murdani menjelaskan, sebagaimana yang tercantum dalam UUPA pasal 229 ayat (2), KKR di Aceh sangat perlu mendapat penguatan dari UU KKR Nasional. Maka untuk itu tim taskforce Aceh mengusulkan agar DPRA bersama Pemerintah Aceh membentuk tim khusus guna melakukan advokasi dan dorongan kepada pemerintah pusat dan DPR RI agar segera membahas RUU KKR dan dapat dijadikan UU secepatnya supaya rekonsiliasi di Aceh segera terwujud.

“Tim ini juga menilai perlu adanya penekanan lebih terhadap persoalan rekonsiliasi dan reparasi korban dengan tidak mengurangi unsur pengungkapan kebenaran,” lanjutnya.

Masih menurut Murdani, pimpinan DPRA menyambut baik upaya ini sebagai langkah maju dan bagian dari upaya mendorong mekanisme penyusunan regulasi yang melibatkan publik secara luas. DPRA juga menawarkan beberapa inisiasi yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, khususya di bidang penanaman modal, dimana masyarakat akan dilibatkan secara lebih luas khususya dalam hal memberikan kesempatan yang sama untuk bekerja pada perusahan-perusahan investor dengan mengutamakan peduduk setempat.

Tim taskforce Aceh yang terdiri dari partai politik, CSO, akademisi, pelaku dunia usaha dan para pemangku kepentingan lainnya, dibentuk dalam rangka membangun sebuah mekanisme komunikasi yang lebih efektif antara partai politik dan CSO untuk merespon isu publik yang pada akhirnya mampu menjadi landasan sebuah regulasi yang pro publik untuk membantu pemerintah daerah dalam proses pengembangan ekonomi wilayah dan terciptanya kesejahteraan masyarakat.

“Tim ini berharap dapat terus membantu kinerja badan legislasi DPRA Aceh dalam proses penyusunan dan evaluasi legislasi yang sesuai dengan amanat perundang undangan yang mengisyaratkan perlunya keterlibatan publik dalam setiap pembentukan peraturan daerah (qanun),” jelas Murdani.

Rekomendasi Tim Taskforce

Tim Taskforce Aceh berjumlah 14 orang yang terdiri atas perwakilan dari beberapa partai pollitik, diantaranya: Partai Demokrat, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Selain itu juga tergabung beberapa lembaga dan komponen masyarakat Sipil yaitu:Transisi Foundation, Care Aceh, Katahati Institute, Lembaga Peumakmu Nanggroe Aceh (LPNA), Aceh Madani, Center for Conflict Resolution and Peace Studies (CCRPS) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar Raniry, Pusat studi Perdamain dan Resolusi Konflik Unsyiah (CPCRS), Kelompok Perempuan, dan lain lain.

Tim tersebut setelah melakukan serangkaian diskusi yang membahas yakni draf qanun KKR dan draf qanun Penanaman Modal/Investasi. Untuk draf qanun KKR, tim ini memberikan beberapa rekomendasi, di antaranya soal posisi qanun KKR yang lebih dimaksudkan untuk melihat sampai saat ini bagaimana status qanun KKR, apakah sudah dibahas oleh DPRA atau masih di Pemerintah atau mungkin masih dalam wacana.

Tim juga meminta dewan untuk mempelajari secara umum isi draf qanun KKR yang telah disusun oleh masyarakat sipil, dan melihat kemungkinan apa yang perlu disikapi lebih lanjut, melihat kemungkinan-kemungkinan jadi atau tidaknya qanun KKR dibuat di Aceh dalam kaitannya dengan pengesahan Undang-undang KKR di tingkat nasional.

Sementara untuk qanun penanaman modal/investasi, tim taskforce Aceh juga melakukan pengkajian terhadap posisi draft qanun penanaman modal/investasi saat ini.

“Hal ini lebih dimaksudkan untuk melihat sampai saat ini bagaimana statusnya di DPRA. Apakah sudah dibahas oleh DPRA atau masih di pemerintah atau mungkin masih dalam wacana,” jelas Murdani.

Tim taskforce Aceh kata Murdani juga meminta agar Pemerintah Aceh baik eksekutif maupun legislatif membentuk tim khusus melakukan advokasi dan dorongan kepada Pemerintah Pusat serta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) agar segera membahas RUU KKR dan menerbitkannya menjadi UU secepatnya, sehingga rekonsiliasi di Aceh dapat segera terwujud.

“Tim taskforce Aceh bersedia menjadi pihak yang mendorong, mendampingi atau kalau dimungkinkan menjadi pihak yang melakukan advokasi serupa kepada Pemerintah Pusat dan DPR RI,” janji Murdani.

Menurutnya, qanun KKR maupun UU KKR dibutuhkan sebagai bagian mempercepat rekonsiliasi di Aceh. Namun perlu dilakukan pengkajian lebih dalam untuk lebih memahami KKR dan mengurangi kontroversi.

“Salah satunya dengan lebih memperkuat dan memperdalam pembahasan tentang reparasi korban konflik. Tapi sambil menunggu terbitnya UU KKR, Pemerintah Aceh dapat segera menerbitkan qanun KKR dengan dilandaskan amanah UUPA. Pemerintah Aceh juga dapat melakukan upaya dorong langsung ke Pemerintah Pusat agar UU KKR dapat segera diterbitkan,” lanjut Murdani.

Sementara untuk draf qanun penanaman modal (investasi), Murdani mengatakan sebelumnya sudah ada qanun nomor 5 tahun 2009 tentang penanaman modal. Qanun tersebut masuk dalam revisi qanun Prolega tahun 2011.

“Dalam Qanun Nomor 5 tahun 2009, khususnya pasal 8, ada dinyatakan bahwa penanam modal harus merekrut tenaga kerja penduduk Aceh (seluruh Aceh). Menurut Tim Taskforce Aceh, dibutuhkan penjelasan tentang penduduk Aceh untuk lebih menekankan ruang lingkup di kecamatan dan kabupaten,” ungkap Murdani.

Qanun itu kata Murdani juga tidak memperjelas hak atas tanah bagi penanam modal, apakah hal milik atau hak pakai. “Pertanyaannya bgaimana apabila pemodal asing ingin memiliki tanah? Hak atas tanah bagaimana yang diberikan?” tanyanya.

Masih menurut Murdani, qanun tidak memuat peran dan partisipasi luas masyarakat lokal/setempat dalam mekanisme pengelolaan langsung dana cooperate social responsibility (CSR) atau tanggung sosial perusahaan. Yang ada tertulis hanya peran direkrut sebagai tenaga kerja.

Tim taskforce kata Murdani juga mengkritisi qanun penanaman modal tersebut karena tidak memuat kewajiban penanam modal bersama-sama pemerintah untuk melakukan penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam bidang khusus yang dibutuhkan sehingga layak memenuhi kualifikasi penanam modal.

“Misalnya keahlian untuk bekerja dalam bidang minyak dan gas dan lain sebagainya. Qanun itu juga tidak memuat alternatif-alternatif tentang pembebasan lahan. Yang selama ini terjadi, hanya mengganti rugi lahan masyarakat tanpa ada upaya lain misalnya program relokasi, atau sewa pakai tanah atau lahan,” jelasnya.

Karena itu, tim taskforce menawarkan kepada DPRA dan eksekutif Aceh agar menyesuaikan pasal rekrutmen tenaga kerja dari kata-kata penduduk Aceh menjadi penduduk lokal/setempat baik kecamatan maupun kabupaten.

Qanun sebaiknya mengatur secara jelas hak atas tanah yang boleh dimiliki penanam modal adalah hak pakai bukan hak milik dan tidak boleh mengalihkan hak pakai tanpa izin pemerintah.

Tawaran lainnya dari tim taskforce dalam hal pembebasahan lahan untuk investor, qanun diharapkan memuat beberapa alternatif misalnya lahan dikonversi menjadi saham dan atau lahan dikontrakkan/sewa pakai, sehingga masyarakat dapat menikmati hasil jangka panjang. “Kalau sekedar ganti rugi, setelah habis bisa saja kembali untuk mengganggu investasi,” tegas Murdani.

Murdani juga mengharapkan agar qanun tersebut dapat melihat fenomena terkini. Ia mencontohkan saat ini beberapa investor tidak lagi membangun pusat usahanya di Aceh, namun mengeruk dan membawa tanah yang ada untuk dibawa keluar Aceh. “Bisa jadi, ada banyak sumber daya lain dalam tanah tersebut,” duganya.

Tanggapan DPRA
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memberikan tanggapan yang beragam terhadap usul tim taskfoce terkait draf qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan qanun penanaman modal.
Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA, Tgk M Harun misalnya. Baginya KKR bukan hanya masalah Indonesia tapi sudah menjadi masalah dunia sehingga dewan sudah berfikir untuk menyelesaikan qanun KKR.

“Kalaupun melihat kasus Timor Leste yang menggunakan istilah Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), pada dasarnya sama saja dengan KKR. Pada dasarnya draft qanun KKR sudah ada di DPRA dan akan dibahas pada tahun 2012,” jelasnya.

Hal yang sama juga diungkapkan Sekretaris Banleg DPRA, Abdullah Saleh SH. Menurutnya, draft qanun KKR sudah selesai dibahas di Komisi A.
“Draf qanun yang sudah ada ini merupakan masukan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dan sudah kami jadikan sebagai usul inisiatif DPRA. Draft qanun KKR menjadi program Legislasi Aceh tahun 2012 dan DPRA berencana menyelesaikannya menjadi qanun pada tahun 2012,” katanya.

Sementara tentang qanun penanaman modal, Abdullah Saleh mengatakan sudah selesai dibahas oleh Komisi C. Meski demikian Komisi C masih menerima masukan dan kontribusi dari masyarakat.

Tapi Ketua Komisi A, Adnan Beuransah mengatakan pada prinsipnya qanun KKR tidak perlu menunggu diterbitkannya UU KKR di tingkat Nasional karena merupakan anamah MoU dan UU Pemerintahan Aceh.
“Namun untuk memperkuat pembahasan Qanun KKR, kami masih perlu banyak masukan termasuk mempelajari UU KKR yang pernah ada dan dibatalkan oleh MK. DPRA juga merasa perlu untuk mempelajari berbagai contoh KKR yang telah dilaksanakan di dunia seperti KKP di Timor Leste maupun yang di Afrika Selatan,” katanya.

Sementara terkait qanun penanaman modal, ia berharap agar setiap modal yang ditanamkan di Aceh memberi manfaat. Pemerintah Aceh harus mempunyai saham dalam setiap investasi yang ditanam di Aceh.
“Dalam merekrut tenaga kerja, setiap investor harus melakukannya dalam lingkup terkecil terlebih dahulu, gampong, baru kemudian kecamatan dan kabupaten, tujuannya agar masyaralat lokal memiliki kesempatan lebih besar. Kalau tidak ada, investor berkewajiban memberi pelatihan pada masyarakat setempat,” lanjutnya.

Dalam berbagai pertemuan dengan tim taskforce tersebut, pada prinsipnya DPRA sangat menyambut baik masukan dan aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui Tim Taskforce Aceh. Hanya saja, DPRA masih sangat membutuhkan masukan yang lebih khusus misalnya pendampingan dalam menyusun dan mempersiapkan qanun.

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails