- Oleh Safrizal
Pilkada Aceh yang
dijadwalkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) awal 2012 ini ternyata mendapat perhatian
serius semua pihak, tak terkecuali meminta pilkada ditunda dan dilanjutkan.
Sementara ada kepala
daerah yang menahan dana pilkada yang berpendapat bahwa pilkada tidak bisa
dijalankan karna tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh (UUPA).
Aceh.
Jika kita menganalisa terhadap
pilkada yang akan diselenggarakan ini, sangat berbeda dengan pilkada sebelumnya
(2006), pilkada kedua setelah damai ini menjadi perhatian serius Uni Eropa dan jakarta. Terutama
mengenai putusan MK yang mencabut pasal 256 UUPA dengan bunyi ketentuan calon
perorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Wali Kota/Wakil Wali Kota, sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 ayat (1) huruf
d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang ini
diundangkan.
Berdasarkan UUPA yang
dikhususkan untuk Aceh memang tidak bisa diselenggarakan pilkada ini tanpa
berpodoman pada Qanun sebagai turunan UUPA, mengingat qanun tidak mendapat
persetujuan bersama (eksekutif dan legislatif). sehingga KIP Aceh mengadopsi qanun
pilkada lama (Qanun Nomor 7/2006) sebagai payung hukum dan pedoman pelaksanaan
pilkada di Aceh.
Disisi lain tidak mendapat persetujuan bersama, karena calon
jalur independen tidak dimasukan dalam Qanun tersebut sehingga berujung pada pro
dan kontra, sebagaimana putusan MK yang membolehkan jalur independen. Sebelumnya
pada putusan MK yang mencabut pasal 256 juga tidak melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) sebagaimana yang tercantum dalam pasal 269
ayat (3) UUPA dengan bunyi dalam adanya rencana perubahan Undang-Undang ini
dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA.
Harus diketahui
bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
yang berifat provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat
istimewa dan diberikan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang
Gubernur.
Status Provinsi Aceh
saat ini adalah otonomi khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dimana urusan pemerintah pusat terhadap
Aceh meliputi bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal
ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
Selebihnya merupakan kewenangan Aceh dalam melaksanakan semua sektor publik,
yang diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan.
Seharusnya pemerintah
Indonesia yang terlibat langsung dalam proses perdamaian Aceh, yang kemudian
membuat satu komitmen bersama sebagai sebuah proses penyelesaian konflik yang
berkepanjangan di Aceh yang dituangkan dalam Momorandum of Understanding (MoU) sebagai
aplikasi persetujuan dan komitmen perdamaian.
Sehingga dari
aplikasi MoU tersebut, lahir UUPA sebagai implementasi dari persetujuan yang
difasilitasi Crisis Management Initiative – CMI (fasilitator proses negosiasi)
yang dipimpin mantan Presiden Filandia Martti Ahtisaari.
Sementara implementasi
komitmen kedua pihak antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik
Indonesia yang dituangkan dalam UUPA, yang disahkan Presiden Republik Indonesia
Dr. H. Susilo Bambang Yudhyono di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2006.
Kemudian UUPA
tersebut diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2006 oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Hamid Awaluddin, serta dimasukan dalam
lembaran RI tahun 2006 dengan nomor 62.
UUPA tersebut sebagai
pedoman penyelenggaraan pemerintahan Aceh, kecuali lima hal yang menjadi
kewenangan pusat terhadap Aceh seperti yang saya sebutkan diatas tadi.
Namun akhirnya UUPA
tersebut menjadi trik politik pihak tertentu, yang mencoba menjerumuskan Aceh
kedalam pusara kegelapan. Dalam hal ini menurut penulis bahwa mereka (Jakarta)
telah melanggar pada perjanjian sebelumnya, yang bercita-cita untuk menegaskan
komitmen mereka dalam penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh,
berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Namun kejanggalannya ada pada rakyat
Aceh sendiri, sehingga Jakarta memanfaatkan kesempatan tersebut dengan alasan
harus sesuai dengan UUD 1945.
Toh, akhirnya perjanjian
tersebut tidak terlepas dari ajang bisnis pihak tertentu, hal tersebut sangat
jelas nampak menjelang pilkada yang dijadwalkan awal 2012 ini yang tidak
berpedoman pada UUPA.
Menurut hemat penulis,
bila kita sudah punya kapal, untuk apa perlu “raket bak pisang”, pengertiannya
bila kita sudah punya Partai Lokal (parlok) yang dikhususkan dalam MoU dan UUPA
untuk apa perlu Independen.
Pada pilkada 2006 yang dibolehkan
melibatkan calon independen untuk bersama-sama berpesta dalam wadah sistem
demokrasi, sangat jelas bisa dan didukung oleh UUPA, mengingat waktu itu belum
adanya parlok di Aceh. Toh, sekarang parloknya sudah ada, kenapa juga sebagian
rakyat Aceh memperjuangkan jalur independen samapai ke pulau Jawa.
Setelah itu, terjadilah
persepsi-persepsi terhadap Jakarta, yang pada awalnya hanya keluar asap sebagai
tanda sudah terbakar, kemudian keluar api yang sangat besar. Hal tersebut
terlihat pada demontrasi-demontrasi yang dilakukan rakyat sipil terhap jakarta atas
judicial review pasal 256 UUPA dan meminta pilkada ditunda sampai kejelasanya
payung hukum penyelenggaraan pilkada di Aceh.
Mengingat adanya baju sendiri kenapa memakai baju orang lain,
pengertiannya Aceh mempunyai UUPA kenapa harus memakai UU lain.
Wallahu’alam.... Mandumnya
tergantung bak bangsa Aceh keudroe (semua itu tergantung pada bangsa Aceh
sendiri), kemana mau di antarkan Aceh ini, apa kegelapan pusaran atau keterang
benderang ?
* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (UNIMAL) - Aceh