Jumat, 16 Desember 2011

Payung Pilkada 2012

Oleh Otto Syamsuddin Ishak
TIADA yang dinantikan lagi perihal kepastian hukum dalam penyelenggaraan Pilkada Aceh 2012 mendatang. Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Amar Keputusannya, yang pada prinsipnya menguatkan keputusan sela dan hasil judicial review perihal jalur perseorangan. Karena ini sebuah keputusan MK, maka jalur hukum sebagai instrumen untuk penyelesaian kericuhan politik perihak Pilkada telah final, dalam artian sudah tidak ada lagi level yang lebih tinggi lagi di republik ini.

Isi amar keputusan yang sedemikian rupa itu melahirkan tafsir. Pertama, apakah hal itu ada pengaruhnya terhadap para pelaku politik yang sedang bertikai? Agaknya tidak berpengaruh sehingga pertikaian dan kekacauan politik di Aceh akan terus berlanjut hingga pasca Pilkada 2012. Letak perbedaan ikhtiar para pelaku politik, bila sebelumnya menggunakan jalur institusi hukum, maka setelah ada keputusan MK hanya bisa menggunakan kekuatan massa untuk mempengaruhi penyelenggaraan Pilkada.

Kedua, keputusan MK justru memperkuat posisi KIP Aceh dalam penyelenggaraan Pilkada yang bahkan puncaknya sudah diagendakan pada 16 Februari 2012. Kini, yang bisa menyela penyelenggaraan itu terkait dengan tahun anggaran semata. Tentu, hal ini menjadi jalan lain bagi golongan politik dari Partai Aceh yang berada di DPRA hususnya untuk mengintervensi penyelenggaraan Pilkada. Meskipun perihal pertanggungjawaban penggunaan dana APBA oleh KIP, sesuai dengan UUPA, hanyalah kepada Gubernur (Pasal 59; e) sehingga tidak secara langsung ke DPRA, kecuali perihal perkembangan penyelenggaraannya, maka KIP harus secara langsung melaporkannya ke DPRA (Pasal 59; c).

Hal selanjutnya yang krusial adalah Keputusan MK yang berbunyi: “Memerintahkan Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota melanjutkan pelaksanaan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam daerah Provinsi Aceh.”

Di satu pihak, keputusan tersebut merupakan penegasan dari kewenangan KIP, jika tidak bisa dikatakan sebagai keputusan yang berlebihan dikarenakan hal itu memang sudah tercantum pada UUPA (Bab IX). Namun, bunyi keputusan MK tersebut tidak menjawab persoalan dengan payung hukum apakah KIP harus melanjutkan proses penyelenggaraan Pilkada tersebut? Apalagi dengan menimbang setelah ada keputusan Judicial Review MK tentang jalur perseorangan (independen).

Padahal, di dalam UUPA, Bagian Kedua tentang Tahapan Pemilihan; pada Pasal 66, berbunyi sebagaimana berikut ini: “(6) Tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh KIP dengan berpedoman pada qanun.” Bahkan Pasal 73 dengan tegas menyatakan posisi qanun dalam penyelenggaraan pilkada: “Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 diatur lebih lanjut dengan qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.”

Dalam menjalankan amanat MK, maka KIP harus berpegang pada sebuah qanun sebagai panduan umum operasional dari Undang-undang 22 Tahun 2007,dan UUPA sebagai basis panduan khusus dan lebih terperinci. Meskipun di dalam situsnya, KIP tidak mempertimbangkan UUPA, melainkan UU 22/2007, sebagai basis hukum perihal kewenangannya. Jika demikian sikap KIP Aceh terhadap UUPA, maka dengan sendirinya lembaga ini tidak menggunakan qanun sebagai pedoman penyelenggaraan Pilkada 2012 di Aceh. Tentunya hal ini menjadikan KIP telah mengambil sikap politik yang berlawanan terhadap UUPA dalam menyelenggarakan pilkada 2012.

Pada prinsipnya, jika kita mengacu pada UUPA –termasuk setelah adanya Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010 atas judicial review Pasal 256 UUPA—maka penyelenggaraan Pilkada di Aceh khususnya, tetap harus berpedoman pada sebuah qanun. Karena UUPA pada Pasal 1 (21) telah menegaskan bahwa “Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.” Bukankah penyelenggaraan Pilkada merupakan bagian dari hal “mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh”?

Selanjutnya, qanun yang manakah yang menjadi payung hukum dalam penyelenggaraan Pilkada 2012? Apakah KIP dapat menggunakan Qanun Aceh 7/2006 setelah adanya Keputusan MK tentang Pasal 256 UUPA? Jawabannya, tentunya KIP tidak bisa menggunakan Qanun Aceh 7/2006 sebagai payung hukum sebagai konsekuensi logis dari Keputusan MK itu sendiri. Karena Qanun Aceh 7/2006 muatannya masih belum mengadopsi Keputusan MK, yang mana pada Pasal 85C masih tercantum bunyi: “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Qanun ini diundangkan.”

Lalu, selayaknyalah untuk mempertimbangkan yurisprudensi yang muncul dari kelahiran Qanun Aceh 7/2006 itu sendiri. Pada saat itu, partai-partai politik dan elite politik ingin segera menyelenggarakan Pilkada dengan tanpa menunggu kelahiran UUPA. Mereka dapat menggunakan Qanun Nomor 3   Tahun 2005 yang merupakan perubahan dari Qanun Nomor 2 Tahun 2004. Namun, karena situasi politik yang “mengharuskan” Pilkada diselenggarakan berdasarkan pada undang-undang untuk Aceh yang baru, sebagai kelanjutan dari MoU Helsinki, maka lahirlah Qanun Aceh 7/2006 sebagai perubahan dari Qanun 3/2005.

Seturut dengan yurisprudensi tersebut, maka dengan adanya Keputusan MK tentang Pasal 256 UUPA, maka secara prosedural harus dilakukan perubahan terhadap Qanun 7/2006 dengan mengadopsi Keputusan MK tersebut sehingga ada hal-hal yang harus dihapuskan pada Qanun yang baru, sebagaimana juga yang ada pada Qanun 7/2006. Jika dipertimbangkan hal ini, maka konsekuensi logisnya, bahwa KIP tidaklah sebagaimana yang dikatakan oleh Zainal Abidin, yang dengan serta merta dapat memakai Qanun Aceh 7/2006 sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan Pilkada 2012.

Memang prosedur mengikuti yurisprudensi tersebut ada hambatan politiknya setelah DPRA memutuskan untuk menghentikan pembahasan draf Qanun Pilkada pada tingkat Badan Musyawarah. Meskipun demikian bukanlah dengan serta merta kita dapat menggunakan dalih untuk mengisi kekosongan hukum maka dipakai ulang Qanun 7/2006 yang belum mengadopsi konsekuensi-konsekuensi logis dari Keputusan MK tersebut.

Barangkali kita harus memikirkan jalan lain, manakala Qanun 7/2006 tidak bisa dipakai ulang dan DPRA memacetkan diri untuk membahas rancangan perubahan qanun tentang Pilkada, yakni dengan ancang-ancang politik mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Penyelenggaraan Pilkada 2012. Jika Gubernur Irwandi tidak ada keberanian politik untuk mengeluarkan Pergub, maka hal ini dapat dilakukan oleh Plt Gubernur 2012 nantinya.***

* Sosiolog dan Ketua Forum Akademisi Untuk Papua Damai.
 
Sumber kutipan: modusaceh.com 

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails