JAKARTA, (PRLM).-Pemerintah kesulitan memetakan
kelompok separatis di Papua untuk diajak berdialog dalam rangka mencari
solusi konflik sosial di provinsi ujung timur Indonesia itu. Selain
tersebar di berbagai kelompok yang berbeda, gerakan kemerdekaan Papua
itu juga tidak memiliki komando pusat.
Utusan Pemerintah RI untuk dialog dengan Papua, Farid Hussein
mengatakan hal itu dalam Diskusi bertajuk "Dialog Jakarta-Papua" yang
diselenggarakan di Sekretariat The Indonesian Institute, Jln. Wahid
Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (8/12).
Karakter gerakan merdeka di Papua cukup berbeda dengan Aceh yang di
waktu lalu berada di bawah komando Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga
relatif lebih mudah dalam memulai negosiasi perdamaian.
Di Papua, kelompoknya secara umum terbagi dua, yaitu antara kelompok
politik dan kelompok bersenjata. Kelompok politiknya tersebar di dalam
dan luar negeri. Sementara, kelompok bersenjatanya juga tersebar di
pesisir, pelosok, hutan, dan di beberapa lokasi sulit dijangkau. Selain
itu, Farid juga mengidentifikasi adanya kelompok bersenjata hasil
bentukan.
Saat ini, Tim Utusan Khusus terus memetakan kelompok-kelompok
tersebut untuk kemudian diajak bicara.
Farid mengatakan, akar konflik di
Papua adalah kekecewaan yang sudah menggunung dan bertahan dalam waktu
lama karena ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
"Kecewa berkepanjangan di Papua memunculkan ketidakpercayaan mereka
pada pemerintah. Kecewa karena ketidakadilan ekonomi, sosial, dan hukum.
Yang terjadi di Papua pemerintah tidak ada upaya signifikan untuk
membangun rasa saling percaya. Contoh di Aceh, antara pemerintah dan GAM
sudah saling percaya," ujarnya.
Mantan Ketua DPRD Papua Barat, Jimmy D. Ijie mengatakan di dalam
kelompok Papua merdeka itu terbagi lagi antara yang idealis dan
pragmatis. Berbeda dengan Aceh atau Timor Leste yang terpimpin oleh
Xanana Gusmao.
Menurut dia, kelompok pragmatis lebih besar jumlahnya. "Mereka
kelompok pragmatis itu ramai-ramai jadi makelar politik, kampanye
pilkada, sekarang mereka tidak bicara lagi merdeka. Selain itu,
frekuensi perang antara orang Papua sendiri, di antaranya perang
antarsuku juga masih sering," katanya.
Pada kesempatan itu, turut hadir sebagai pembicara. yaitu Staf Khusus
Presiden di Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat,
Amiruddin Harahap dan Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti.
Menurut Ikrar, apapun upaya yang dilakukan, tidak akan berhasil jika
masih ada niat tidak tulus yang disebut warga Papua sebagai aksi
tipu-tipu. Di antaranya, kebohongan publik masih terus terjadi.
"Contohnya hasil audit investigasi yang menyebutkan bahwa Polri tidak
pernah terima dana dari Freeport sebesar 14 juta USD. Padahal dalam
laporan keuangan Freeport, disebutkan ada 14 juta USD atau sekitar Rp
126 miliar pada tahun 2010 untuk operasi keamanan bersama Polri,"
ujarnya.
Selain itu, Ikrar menyoroti masih tingginya angka kekerasan dengan
pola yang sama seperti dilakukan TNI di masa lalu. Di antaranya Ikrar
menyinggung kematian tiga warga Papua dalam keadaan mata tercongkel dan
ditemukan di dekat Markas Korem. "Kemudian disebutkan bahwa kematian
tiga warga itu tidak ada hubungannya dengan Kongres Papua," ujarnya.
Contoh lain yaitu anggaran APBN sebesar Rp 5 triliun untuk otonomi
khusus Papua itu sesungguhnya tidak besar karena harus dibagi dengan 44
kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat. Dengan demikian, total untuk
masing-masing kabupaten/kota mendapat Rp 52-60 miliar per tahun.
Sementara, biaya membangun jalan di Papua sangat mahal mencapai Rp 5
miliar per kilometer. "Yang penting bukan pembangunan fisik, tapi juga
pembangunan manusia," ucapnya.
Amiruddin menyambut baik munculnya Peraturan Presiden No. 65 Tahun
2011 untuk menyelesaikan masalah Papua. Melalui Perpres tersebut,
terbentuknya UP4B memperjelas tempat terpusat untuk penangangan masalah
Papua.
"Perpres membuat unit ini sebagai langkah baik karena kita tidak bisa
menyelesaikan masalah Papua tanpa ada tempat yang jelas. Sebelumnya,
pejabat Papua harus bolak-balik ke berbagai lembaga di Jakarta dari
mulai BIN sampai DPR," katanya.
Selama dialog berlangsung yang diupayakan tim utusan khusus presiden
yaitu Farid Hussein dan Letjend. Bambang Dharmono, pembangunan dan
pelayanan publik dasar harus dipercepat. Amiruddin menambahkan, upaya
itu di antaranya dengan menambah dana anggaran otonomi khusus Papua
sebesar Rp 5,4 triliun pada tahun 2012 dari sebelumnya Rp 5 triliun pada
tahun 2011.
Sumber: www.pikiran-rakyat.com