Minggu, 18 Desember 2011

Sulitnya Memahami Putusan MK Tentang Pilkada Aceh

Putusan MK tentang Pilkada Aceh terkait gugatan TA Khalid dan Fadhlullah terhadap KIP sangat sulit dipahami. Penyebabnya karena gugatan mereka terlalu prematur mengingat kewenangan MK untuk memutus terkait dengan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Namun demikian karena UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, maka sesuai dengan kewenangannya MK tetap menerima dan memutus perkara tersebut.


Permasalahan yang gugat oleh TA Khalid dan Fadhlullah disebabkan oleh dasar hukum Penyelenggaraan Pilkada Aceh. Menurut mereka, sesuai dengan UUPA maka penyelenggaraan Pilkada Aceh harus berpedoman pada qanun. Sementara qanun yang ada sekarang sudah tidak relevan lagi akibat dari putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 tentang pembatalkan Pasal 256 UU 11/2006.

Terhadap gugatan mereka, KIP berpendapat bahwa penyelenggaraan Pilkada Aceh yang mereka laksanakan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut KIP, ketentuan pada qanun tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Terhadap ketentuan qanun yang tidak sesuai tersebut, konsekwensinya adalah ketentuan yang ada pada qanun akan batal dengan sendirinya.

Sementara itu, berdasarkan Pasal 235 UUPA, kewenangan membatalkan qanun ada pada pemerintah dan Mahkamah Agung. Tidak ada ketentuan perundang-undangan yang menyatakan bahwa qanun dapat dibatalkan oleh KIP. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, sebagaimana tertulis pada website http://jimly.com/tanyajawab?page=17, EXECUTIVE PREVIEW oleh Pemerintah pusat dibolehkan berdasarkan UU tentang Pemda. Pembatalan oleh pusat dilakukan dg tetap memberi hak utk upaya hukum perlawanan ke MA. Tetapi karena kewenangan pusat tersebut hanya didasarkan atas ketentuan UU, maka UU Pemda itu sendiri tetap dapat diuji konstitusionalitasnya ke MK, mengingat Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa kewenangan utk menguji atau menilai legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU ada di tangan MA, bukan di tangan pemerintah, sedangkan tentang Peraturan Perundang2an menyatakan bahwa Perda berada di bawah hirarki UU, sehingga oleh sebab itu, perda juga termasuk ke dalam objek pengujian oleh MA, bukan oleh lembaga lain.

Keputusan MK
Sesuai dengan batas kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 45A UU Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang menentukan bahwa: “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan”, maka:

1. Putusan Sela
Sesuai dengan yang dimohon oleh TA Khalid dan Fadhlullah yaitu Menetapkan Pemilukada Aceh dihentikan sementara sebelum adanya kepastian hukum yang jelas tentang landasan hukum pelaksanaan Pemilukada Aceh, MK memutus untuk mengabulkannya.

Dalam pertimbangannya MK berpendapat sama dengan pemohon yaitu ketidakpastian hukum pelaksanaan pilkada Aceh. Menimbang bahwa sebagai akibat telah ditetapkannya tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pemilukada di Aceh oleh KIP Aceh; dan terhentinya pembahasan qanun mengenai tata cara pelaksanaan tahapan Pemilukada di Aceh, mengakibatkan adanya pengaturan mengenai Pemilukada di Aceh yang menyebabkan ketidakpastian hukum, selain itu qanun lama yang perlu diubah karena mengandung kekurangsempurnaan, perubahannya pun belum juga berhasil dilakukan bahkan pembahasannya terhenti, sehingga Mahkamah perlu menjatuhkan putusan sela;
Sebelum menjatuhkan putusan akhir, MK memerintahkan Termohon untuk:
  • Membuka kembali pendaftaran pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, untuk memberi kesempatan kepada bakal pasangan calon baru yang belum mendaftar, baik yang diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik, maupun perseorangan, sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak putusan sela ini diucapkan;
  • Menyesuaikan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh, sebagai akibat putusan sela ini;
2. Putusan Akhir
Terkait dengan putusan akhir, MK mengabulkan permohonan KIP yang meminta MK untuk menyatakan tahapan Pemilukada untuk dilanjutkan oleh Termohon. Selanjutnya MK memutus: “Memerintahkan Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota melanjutkan pelaksanaan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam daerah Provinsi Aceh”.
Putusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan:
  • Mahkamah menilai Qanun yang mengatur Pemilukada Aceh, yaitu Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Qanun Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum di Aceh, masih mempunyai kekuatan berlaku secara sah karena belum dicabut atau diganti dengan Qanun yang baru. Selain itu, secara substansial kedua Qanun tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 maupun dengan MoU Helsinki, kecuali terkait beberapa ketentuan sebagaimana telah diuraikan Mahkamah pada pertimbangan sebelumnya;
  • Karena dalam persidangan para Pemohon tidak memberi kepastian atau kejelasan sampai kapan Pemilukada harus ditunda. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian situasi politik, keamanan, serta stabilitas pemerintahan. Selain itu, menurut peraturan perundang-undangan Mahkamah tidak berwenang untuk menentukan jadwal dan berbagai soal teknis lainnya yang terkait dengan Pemilukada. Masalah penjadwalan dan berbagai soal teknis lainnya menjadi kewenangan KIP Aceh untuk menentukan dan mengatur sesuai dengan situasi, kondisi, dan kesiapan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, KIP Aceh sudah menyusun jadwal, tahapan, dan program sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk membatalkan Keputusan KIP a quo adalah tidak tepat karena hal itu berada di luar kewenangan Mahkamah;
  • Mahkamah berpendapat bahwa terdapat beberapa pengadilan yang sesuai dengan kewenangannya untuk mengadili sengketa hukum dalam penyelenggaraan pemilihan umum termasuk Pemilukada. Peradilan tata usaha negara merupakan pengadilan yang berwenang mengadili keputusan penyelenggara pemilihan umum yang bersifat administratif. Peradilan umum merupakan pengadilan yang berwenang mengadili perkara pidana Pemilu. Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam paragraf [3.3] dan paragraf [3.3.1] di atas, berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum termasuk Pemilukada.
Kesimpulan
  1. Pilkada Aceh harus berpedoman pada qanun
  2. Terhadap materi qanun, MK hanya memberi pendapat hukum, tidak berwenang memutus karena kewenangan memutus tentang qanun ada pada lembaga lain yaitu Mahkamah Agung (MA).
  3. Terhadap ketidak sesuaian qanun dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dapat diselesaikan dengan konsensus antar pihak ataupun dengan cara uji materi ke MA.
Sumber kutipan: duniakontraktor.com

 
Design by Safrizal Ilmu Politik UNIMAL | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...; linkwithin_text='Baca Juga:'; Related Posts with Thumbnails